25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Ingin Sekolah Tinggi, Berharap Tidak jadi Pemulung

Anak-anak Pengais Sampah dari TPA di Tebingtinggi

Puluhan anak yang masih belia berada di tempat pembuangan akhir (TPA) di Jalan Baja Kota Tebingtinggi. Mereka mengais, dan memilah-milah sampah yang ada di TPA. Kadang menggunakan tangan, kadang menggunakan alat garukan.

Anak-anak itu sepertinya tidak mengenal kotor. Mereka terus mencari satu persatu benda yang ada di tumpukkan sampah. Kendati panasnya matahari begitu menyengat, namun tidak menyurutkan semangat mereka untuk bekerja.

Melihatnya, seolah-olah mereka sedang bermain. “Woi itu truk baru datang,” teriak salah seorang bocah pengais sampah itu. Dia berlari menuju truk pengangkut sampah yang baru tiba di TPA. Langkahnya diiringi rekan-rekan lainnya. Mereka berebut mendekati truk yang baru tiba. “Pak, pak, ini sampah dari rumah sakit ya?” kata beberapa anak kepada sopir truk sampah itu. “Ya, ya,” jawab si sopir.

Menurut anak-anak itu, sampah dari rumah sakit banyak plastik yang bisa dijual dengan harga tingga.
“Kami berharap dapat rezeki jika truk sampah dari rumah sakit, ibarat truk pengankut emas,” ungkap Albert (9) pelajar kelas III Sekolah Dasar (SD) Negeri ini kepada Sumut Pos, Minggu (6/1).

Bocah yang bermukim di Jalan Baja Kecamatan Padanghilir Kota Tebingtinggi ini mengaku tidak jijik dengan pekerjaannya itu, karena sudah terbiasa. Albert juga tidak takut tertular penyakit atau kuman dari sampah-sampah tersebut. “Awalnya saya jijik, lama kelamaan sudah terbiasa, kalau sakit karena kuman sampah, saya rasa gak pernah,” akunya.

Kata Albert pekerjaan ini dia lakoni untuk membantu orangtuanya.

“Saya sudah tiga tahun mencari sampah plastik di TPA ini untuk membantu kebutuhan rumah tangga ibu, uang selebihnya saya tabung,” bilang Albert.
Ternyata orangtua Albert tidak jauh berbeda dengan profesi orangtuanya.

Ibu dan bapak Albert berprofesi sebagai pemulung. Tenda-tenda kecil berdiri di tengah-tengah TPA.

“Untuk menghilangkan penat dari terik sinar matahari, sambil menunggu truk sampah datang, kami istirahat di gubuk-gubuk kecil bersama teman-teman,”ujarnya.

Albert berkeinginan nasib keluarganya bias berubah. Dia ingin seperti anak-anak lainnya dapat berlibur bersama keluarga di mall dan pusat perbelanjaan.

“Kepingin lah pak, sampai sekarang belum pernah berlibur jalan-jalan ke tempat pusat-pusat perbelanjaan dan liburan bersama keluarga,” ujar Albert yang bercita-cita ingin jadi polisi ini.

Begitu juga Alfin (13) pelajar SMP Negeri di Kota Tebingtinggi. Alfin mengaku sejak SD hingga SMP waktunya banyak untuk mencari sampah plastik.”Usai pulang sekolah saya cari sampah, pak,” bilang Alfin.
Alfin mengaku tidak malu dengan pekerjaanya itu, kendati teman-temannya sudah tau profesinya itu. “Enggak malu, yang penting aku bisa sekolah dan tidak menyusahkan orang tua,” tuturnya.
Keuntungan Alfin dari mencari sampah plastik itu berkisar Rp15.000. Hanys saja, sampah plastik yang dicarinya itu tidak dapat langsung dijual. Kata Alfin, sampah plastik itu terlebih dulu dipisah dan dibersihkan lalu dijual. Biasanya sampah plastik yang cepat laku dijual, menurut Alfin, seperti plastik atom, besi bekas, botol dan cup air mineral. Kalau sampah palstik asoi harus dicuci dulu menggunakan air dan dijemur hingga kering baru bisa ditolak ke agen.
“Terkadang untuk sampah plastik dibayar perkilonya Rp3.5000 dan untuk plastik asoi kresek dibayar Rp8.000 kering,” ungkap Alfin.
Pekerjaany ini, kata Alfin tidak mengganggu sekolahnya, karena yang dilakukannya usia pulang sekolah. Belajar pada malam hari seusai pulang dari TPA. Biasanya pulang kerumah pada jam 18.00 WIB, mandi dan langsung belajar. “Lebih penting belajar, kalau besar nanti, saya tidak mau jadi pemulung lagi, adik-adikku tidak boleh jadi pemulung dan cukup aku saja,”cetus Alfin. (mag-3)

Anak-anak Pengais Sampah dari TPA di Tebingtinggi

Puluhan anak yang masih belia berada di tempat pembuangan akhir (TPA) di Jalan Baja Kota Tebingtinggi. Mereka mengais, dan memilah-milah sampah yang ada di TPA. Kadang menggunakan tangan, kadang menggunakan alat garukan.

Anak-anak itu sepertinya tidak mengenal kotor. Mereka terus mencari satu persatu benda yang ada di tumpukkan sampah. Kendati panasnya matahari begitu menyengat, namun tidak menyurutkan semangat mereka untuk bekerja.

Melihatnya, seolah-olah mereka sedang bermain. “Woi itu truk baru datang,” teriak salah seorang bocah pengais sampah itu. Dia berlari menuju truk pengangkut sampah yang baru tiba di TPA. Langkahnya diiringi rekan-rekan lainnya. Mereka berebut mendekati truk yang baru tiba. “Pak, pak, ini sampah dari rumah sakit ya?” kata beberapa anak kepada sopir truk sampah itu. “Ya, ya,” jawab si sopir.

Menurut anak-anak itu, sampah dari rumah sakit banyak plastik yang bisa dijual dengan harga tingga.
“Kami berharap dapat rezeki jika truk sampah dari rumah sakit, ibarat truk pengankut emas,” ungkap Albert (9) pelajar kelas III Sekolah Dasar (SD) Negeri ini kepada Sumut Pos, Minggu (6/1).

Bocah yang bermukim di Jalan Baja Kecamatan Padanghilir Kota Tebingtinggi ini mengaku tidak jijik dengan pekerjaannya itu, karena sudah terbiasa. Albert juga tidak takut tertular penyakit atau kuman dari sampah-sampah tersebut. “Awalnya saya jijik, lama kelamaan sudah terbiasa, kalau sakit karena kuman sampah, saya rasa gak pernah,” akunya.

Kata Albert pekerjaan ini dia lakoni untuk membantu orangtuanya.

“Saya sudah tiga tahun mencari sampah plastik di TPA ini untuk membantu kebutuhan rumah tangga ibu, uang selebihnya saya tabung,” bilang Albert.
Ternyata orangtua Albert tidak jauh berbeda dengan profesi orangtuanya.

Ibu dan bapak Albert berprofesi sebagai pemulung. Tenda-tenda kecil berdiri di tengah-tengah TPA.

“Untuk menghilangkan penat dari terik sinar matahari, sambil menunggu truk sampah datang, kami istirahat di gubuk-gubuk kecil bersama teman-teman,”ujarnya.

Albert berkeinginan nasib keluarganya bias berubah. Dia ingin seperti anak-anak lainnya dapat berlibur bersama keluarga di mall dan pusat perbelanjaan.

“Kepingin lah pak, sampai sekarang belum pernah berlibur jalan-jalan ke tempat pusat-pusat perbelanjaan dan liburan bersama keluarga,” ujar Albert yang bercita-cita ingin jadi polisi ini.

Begitu juga Alfin (13) pelajar SMP Negeri di Kota Tebingtinggi. Alfin mengaku sejak SD hingga SMP waktunya banyak untuk mencari sampah plastik.”Usai pulang sekolah saya cari sampah, pak,” bilang Alfin.
Alfin mengaku tidak malu dengan pekerjaanya itu, kendati teman-temannya sudah tau profesinya itu. “Enggak malu, yang penting aku bisa sekolah dan tidak menyusahkan orang tua,” tuturnya.
Keuntungan Alfin dari mencari sampah plastik itu berkisar Rp15.000. Hanys saja, sampah plastik yang dicarinya itu tidak dapat langsung dijual. Kata Alfin, sampah plastik itu terlebih dulu dipisah dan dibersihkan lalu dijual. Biasanya sampah plastik yang cepat laku dijual, menurut Alfin, seperti plastik atom, besi bekas, botol dan cup air mineral. Kalau sampah palstik asoi harus dicuci dulu menggunakan air dan dijemur hingga kering baru bisa ditolak ke agen.
“Terkadang untuk sampah plastik dibayar perkilonya Rp3.5000 dan untuk plastik asoi kresek dibayar Rp8.000 kering,” ungkap Alfin.
Pekerjaany ini, kata Alfin tidak mengganggu sekolahnya, karena yang dilakukannya usia pulang sekolah. Belajar pada malam hari seusai pulang dari TPA. Biasanya pulang kerumah pada jam 18.00 WIB, mandi dan langsung belajar. “Lebih penting belajar, kalau besar nanti, saya tidak mau jadi pemulung lagi, adik-adikku tidak boleh jadi pemulung dan cukup aku saja,”cetus Alfin. (mag-3)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/