26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tinggalkan Kampung Halaman, Putu jadi Guru Gamelan

Warga Indonesia yang Eksis di Media Massa Negeri Sakura (1)

Mengabdi bertahun-tahun di negeri orang sebenarnya bukan pilihan Putu Gede Setiawan. Namun, tragedi di tanah air memicunya untuk merantau jauh dari kampung halaman. Meski kini sukses menjadi guru gamelan Bali-Indonesia di Jepang, dia tetap rindu pulang.

BERBAGI CERITA: Putu Gede Setiawan saat diwawancarai  Tokyo.//Henny Galla/Jawa Pos/jpnn
BERBAGI CERITA: Putu Gede Setiawan saat diwawancarai di Tokyo.//Henny Galla/Jawa Pos/jpnn

Seorang jurnalis televisi NHK BS-1 Jepang melangkah masuk ke sebuah ruang padat dengan pernak-pernik khas Pulau Dewata. Di pintunya tertempel stiker besar bertuliskan Visit Indonesia.

“Shitsureishimasu! (maaf mengganggu),” sapa si jurnalis. Dia pun disambut seorang pria dengan senyum mengembang. Si pria itu mengenakan sepasang baju dan sarung adat, serta mengikatkan udeng di kepala.

Dalam tayangan televisi yang diunggah ke situs berbagi video Youtube itu, jurnalis berkulit putih tersebut bertanya kepada si pria bernama I Putu Gede Setiawan tentang cara membaca dan menjelaskan kalender Bali. Maklum, si jurnalis yang warga Jepang tentu tak mengerti beberapa istilah kalender Bali, seperti Tahun Caka dan Wuku.

Di Negeri Matahari Terbit, eksistensi Putu -panggilan akrabnya- memang cukup diakui. Beberapa kali dirinya diwawancara media Jepang untuk sharing pengalaman dan pengetahuan tentang Indonesia. Ya, setidaknya hampir satu dasawarsa Putu mengabdikan diri sebagai pendidik. Memang dia tak menjadi pengajar dalam pendidikan formal Jepang. Tetapi, dia satu-satunya guru asal Indonesia di pusat pendidikan alat musik tradisional gamelan Bali terbesar di Otonomori, Tokyo, Jepang.

Akhir pekan lalu, di tengah kesibukannya mengajar, dia masih menyempatkan diri untuk bertemu Jawa Pos (grup Sumut Pos)di sebuah teras kafe kopi di kawasan Shibuya, Tokyo. Putu pun sangat antusias bercerita meski angin dingin di ibu kota Jepang itu menembus sela-sela sweter tebal yang dikenakannya. Dia memulai ceritanya dengan suasana Pulau Dewata yang mencekam saat tragedi bom Bali pada 2002. Putu kala itu masih bekerja di sebuah hotel di Jalan Legian. Posisinya sebagai manajer di hotel tersebut sudah terbilang tinggi, hingga akhirnya harus rela dilepaskan.

“Pasca bom, Bali jadi sepi,” ungkapnya. Tak hanya membunuh dan melukai korban serta keluarganya, aksi teroris saat itu mencederai iklim bisnis di Bali. Angka kunjungan turis asing pun melemah dalam tempo singkat. Padahal, pariwisata adalah sumber pemasukan utama para penduduk pulau Seribu Pura itu. Hampir setahun Putu terlilit rantai krisis ekonomi. Akhirnya, dia mendapat masukan dari sang istri, Miki Tsukazaki (39).

Miki yang merupakan warga Jepang menyarankannya untuk pindah kerja serta tinggal di Jepang. Namun, itu bukan pilihan mudah. Apalagi, Putu adalah anak laki-laki satu-satunya di antara dua saudara perempuannya. Dalam tradisi Bali, anak laki-laki satu-satunya di dalam keluarga diharapkan tak pergi jauh dan lama dari orang tua.

Kendati demikian, Putu tetap melaksanakan ide sang istri yang dinikahi pada 2001 itu. Berangkatlah Putu bersama Miki ke Jepang pada Oktober 2003. Saat tiba di sana, ada satu hal yang meresahkan dirinya. “Saya tak lancar bahasa Jepang. Kalaupun Inggris, tetap diterjemahkan pada huruf katakana, sehingga pelafalannya beda,” ungkapnya lantas tertawa.

Setelah menjejakkan kaki di Tokyo, kali pertama yang dia pikirkan adalah cara mendapatkan pekerjaan yang menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Karena susah, hampir sebulan dia menganggur. Akhirnya dia mendapat pekerjaan mulai menjadi pramusaji di restoran Tiongkok, klub tempat artis Jepang ngumpul, sampai di sebuah hotel di kawasan Shinjuku. Semuanya bertahan empat tahun hingga 2007. Sampai akhirnya dia berkarir di bidang logistik divisi importasi.

Di sela waktu yang padat sebagai pekerja, dia mengabdikan diri pada gamelan. Di Otonomori, Putu mengajarkan gamelan Bali kepada masyarakat setempat. Putra pasangan Oka Yadnyawati (60) dan I Made Rai Sukada (62) itu memang berbakat dalam seni gamelan sejak anak-anak. Alunan gamelan yang sering terdengar dari teras rumah membuatnya cepat menyatu dengan feel gamelan. “Kakek saya, Megok, lihai memainkan gamelan. Dia salah satu seniman dan pemusik di Bali meski namanya tak begitu terdengar di luar,” terang pria asal Desa Mundu, sekitar 15 menit dari Tanah Lot tersebut.

Layaknya sang kakek, sejak remaja Putu bahkan sudah dipercaya mengajarkan kendang, gender, suling, jigog, kenong, dan instrumen gamelan lain kepada anak-anak muda di Banjar. Bahkan, saat duduk di bangku kuliah, dia mampu mengolaborasikan seni gamelan Bali dengan aliran black metal. Tugas akhirnya di jurusan karawitan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar, itu dinamai dengan Sekarat! “Karena, saya sebenarnya lebih suka musik metal dan rock daripada gamelan,” sebutnya sembari menunjukkan daftar musik di ponselnya.

Bakatnya memainkan gamelan pun dimaksimalkan di Jepang. Dia mengajar maksimal lima jam seminggu di Otonomori. Kala itu, dia dibayar 6.000 yen (sekitar Rp620 ribu) per dua jam. Seiring berjalannya waktu, ternyata banyak sekali yang berminat. Mulai anak-anak usia SD dan SMP, hingga dewasa sekitar 40-50 tahun. Kebanyakan, terang Putu, yang suka gamelan adalah mereka yang pernah belajar beberapa saat di Bali. “Untuk anak-anak, kebanyakan orang tuanya yang pernah ke Bali,” jelas pria kelahiran 9 Juni 1975 itu.

Bagi Putu, mengajarkan gamelan kepada masyarakat Jepang memang lebih susah dibandingkan pemuda-pemuda Banjar di kampung halamannya. Gap budaya membuat respons kepekaan terhadap melodi dan gerakan tangan saat memukul instrumen gamelan tak cepat sinkron. Walau begitu, kualitas masyarakat Jepang yang pintar dan kritis membuatnya tak begitu berat untuk mengajar. Jika rajin menghadiri kelas, sekitar dua bulan saja para murid sudah bisa menyinkronisasi kedua tangan dan melodi.

Putu mengakui, dirinya justru benar-benar merasa belajar gamelan saat di Jepang. Sebelum mengajar, dia mempersiapkan betul bahan-bahan ajarannya. Sebab, jika tidak bisa menjawab pertanyaan para siswanya, dirinyalah yang dimarahi siswa. “Lho yang benar kan begini, Pak, bukan begitu. Bapak ini bagaimana, tidak bisa menjawab pertanyaan,” ungkap Putu sambil menirukan gaya para murid yang protes.

Kopi telah berkurang separo gelas saat Putu menjelaskan betapa tingginya antusiasme murid-murid gamelan di Jepang. Bahkan, setiap Otonomori mengadakan workshop gamelan Bali tiga bulan sekali, selalu saja ada kelas murid baru. Sebelumnya, Otonomori hanya buka beberapa hari dalam sepekan. Namun, karena besarnya gairah masyarakat Jepang terhadap gamelan Bali, Otonomori pun buka setiap hari. Saat ini di Otonomori ada lima guru seni, empat pengajar gamelan dan satu guru tari Bali. Pada Jumat, Putu dipercaya mengajarkan special class, yang semua muridnya sangat pintar bermain gamelan. “Kelas musik yang rumit,” akunya.

Seorang guru tentu saja punya kebanggaan besar saat muridnya berhasil. Beberapa siswa Putu yang telah lulus banyak yang konsisten dengan jalur seni gamelan. Bahkan, ada yang membentuk band gamelan keliling dunia. “Saya bangga mereka menggunakan gamelan sebagai jati diri sekaligus karir, meski mereka orang Jepang. Banyak orang Jepang yang serius dengan gamelan,” terangnya.

Kendati kesuksesan telah diperoleh, ayah Amaki (9) dan Mirei (4,)itu berencana merampungkan aktivitasnya di Jepang. Dia kangen tanah air. Rindu akan desiran ombak dan wangi bunga kamboja. “Saya berencana pulang. Ingin menyeriusi bidang desain,” tandasnya sembari menyeruput kopi terakhir. (*)

Warga Indonesia yang Eksis di Media Massa Negeri Sakura (1)

Mengabdi bertahun-tahun di negeri orang sebenarnya bukan pilihan Putu Gede Setiawan. Namun, tragedi di tanah air memicunya untuk merantau jauh dari kampung halaman. Meski kini sukses menjadi guru gamelan Bali-Indonesia di Jepang, dia tetap rindu pulang.

BERBAGI CERITA: Putu Gede Setiawan saat diwawancarai  Tokyo.//Henny Galla/Jawa Pos/jpnn
BERBAGI CERITA: Putu Gede Setiawan saat diwawancarai di Tokyo.//Henny Galla/Jawa Pos/jpnn

Seorang jurnalis televisi NHK BS-1 Jepang melangkah masuk ke sebuah ruang padat dengan pernak-pernik khas Pulau Dewata. Di pintunya tertempel stiker besar bertuliskan Visit Indonesia.

“Shitsureishimasu! (maaf mengganggu),” sapa si jurnalis. Dia pun disambut seorang pria dengan senyum mengembang. Si pria itu mengenakan sepasang baju dan sarung adat, serta mengikatkan udeng di kepala.

Dalam tayangan televisi yang diunggah ke situs berbagi video Youtube itu, jurnalis berkulit putih tersebut bertanya kepada si pria bernama I Putu Gede Setiawan tentang cara membaca dan menjelaskan kalender Bali. Maklum, si jurnalis yang warga Jepang tentu tak mengerti beberapa istilah kalender Bali, seperti Tahun Caka dan Wuku.

Di Negeri Matahari Terbit, eksistensi Putu -panggilan akrabnya- memang cukup diakui. Beberapa kali dirinya diwawancara media Jepang untuk sharing pengalaman dan pengetahuan tentang Indonesia. Ya, setidaknya hampir satu dasawarsa Putu mengabdikan diri sebagai pendidik. Memang dia tak menjadi pengajar dalam pendidikan formal Jepang. Tetapi, dia satu-satunya guru asal Indonesia di pusat pendidikan alat musik tradisional gamelan Bali terbesar di Otonomori, Tokyo, Jepang.

Akhir pekan lalu, di tengah kesibukannya mengajar, dia masih menyempatkan diri untuk bertemu Jawa Pos (grup Sumut Pos)di sebuah teras kafe kopi di kawasan Shibuya, Tokyo. Putu pun sangat antusias bercerita meski angin dingin di ibu kota Jepang itu menembus sela-sela sweter tebal yang dikenakannya. Dia memulai ceritanya dengan suasana Pulau Dewata yang mencekam saat tragedi bom Bali pada 2002. Putu kala itu masih bekerja di sebuah hotel di Jalan Legian. Posisinya sebagai manajer di hotel tersebut sudah terbilang tinggi, hingga akhirnya harus rela dilepaskan.

“Pasca bom, Bali jadi sepi,” ungkapnya. Tak hanya membunuh dan melukai korban serta keluarganya, aksi teroris saat itu mencederai iklim bisnis di Bali. Angka kunjungan turis asing pun melemah dalam tempo singkat. Padahal, pariwisata adalah sumber pemasukan utama para penduduk pulau Seribu Pura itu. Hampir setahun Putu terlilit rantai krisis ekonomi. Akhirnya, dia mendapat masukan dari sang istri, Miki Tsukazaki (39).

Miki yang merupakan warga Jepang menyarankannya untuk pindah kerja serta tinggal di Jepang. Namun, itu bukan pilihan mudah. Apalagi, Putu adalah anak laki-laki satu-satunya di antara dua saudara perempuannya. Dalam tradisi Bali, anak laki-laki satu-satunya di dalam keluarga diharapkan tak pergi jauh dan lama dari orang tua.

Kendati demikian, Putu tetap melaksanakan ide sang istri yang dinikahi pada 2001 itu. Berangkatlah Putu bersama Miki ke Jepang pada Oktober 2003. Saat tiba di sana, ada satu hal yang meresahkan dirinya. “Saya tak lancar bahasa Jepang. Kalaupun Inggris, tetap diterjemahkan pada huruf katakana, sehingga pelafalannya beda,” ungkapnya lantas tertawa.

Setelah menjejakkan kaki di Tokyo, kali pertama yang dia pikirkan adalah cara mendapatkan pekerjaan yang menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Karena susah, hampir sebulan dia menganggur. Akhirnya dia mendapat pekerjaan mulai menjadi pramusaji di restoran Tiongkok, klub tempat artis Jepang ngumpul, sampai di sebuah hotel di kawasan Shinjuku. Semuanya bertahan empat tahun hingga 2007. Sampai akhirnya dia berkarir di bidang logistik divisi importasi.

Di sela waktu yang padat sebagai pekerja, dia mengabdikan diri pada gamelan. Di Otonomori, Putu mengajarkan gamelan Bali kepada masyarakat setempat. Putra pasangan Oka Yadnyawati (60) dan I Made Rai Sukada (62) itu memang berbakat dalam seni gamelan sejak anak-anak. Alunan gamelan yang sering terdengar dari teras rumah membuatnya cepat menyatu dengan feel gamelan. “Kakek saya, Megok, lihai memainkan gamelan. Dia salah satu seniman dan pemusik di Bali meski namanya tak begitu terdengar di luar,” terang pria asal Desa Mundu, sekitar 15 menit dari Tanah Lot tersebut.

Layaknya sang kakek, sejak remaja Putu bahkan sudah dipercaya mengajarkan kendang, gender, suling, jigog, kenong, dan instrumen gamelan lain kepada anak-anak muda di Banjar. Bahkan, saat duduk di bangku kuliah, dia mampu mengolaborasikan seni gamelan Bali dengan aliran black metal. Tugas akhirnya di jurusan karawitan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar, itu dinamai dengan Sekarat! “Karena, saya sebenarnya lebih suka musik metal dan rock daripada gamelan,” sebutnya sembari menunjukkan daftar musik di ponselnya.

Bakatnya memainkan gamelan pun dimaksimalkan di Jepang. Dia mengajar maksimal lima jam seminggu di Otonomori. Kala itu, dia dibayar 6.000 yen (sekitar Rp620 ribu) per dua jam. Seiring berjalannya waktu, ternyata banyak sekali yang berminat. Mulai anak-anak usia SD dan SMP, hingga dewasa sekitar 40-50 tahun. Kebanyakan, terang Putu, yang suka gamelan adalah mereka yang pernah belajar beberapa saat di Bali. “Untuk anak-anak, kebanyakan orang tuanya yang pernah ke Bali,” jelas pria kelahiran 9 Juni 1975 itu.

Bagi Putu, mengajarkan gamelan kepada masyarakat Jepang memang lebih susah dibandingkan pemuda-pemuda Banjar di kampung halamannya. Gap budaya membuat respons kepekaan terhadap melodi dan gerakan tangan saat memukul instrumen gamelan tak cepat sinkron. Walau begitu, kualitas masyarakat Jepang yang pintar dan kritis membuatnya tak begitu berat untuk mengajar. Jika rajin menghadiri kelas, sekitar dua bulan saja para murid sudah bisa menyinkronisasi kedua tangan dan melodi.

Putu mengakui, dirinya justru benar-benar merasa belajar gamelan saat di Jepang. Sebelum mengajar, dia mempersiapkan betul bahan-bahan ajarannya. Sebab, jika tidak bisa menjawab pertanyaan para siswanya, dirinyalah yang dimarahi siswa. “Lho yang benar kan begini, Pak, bukan begitu. Bapak ini bagaimana, tidak bisa menjawab pertanyaan,” ungkap Putu sambil menirukan gaya para murid yang protes.

Kopi telah berkurang separo gelas saat Putu menjelaskan betapa tingginya antusiasme murid-murid gamelan di Jepang. Bahkan, setiap Otonomori mengadakan workshop gamelan Bali tiga bulan sekali, selalu saja ada kelas murid baru. Sebelumnya, Otonomori hanya buka beberapa hari dalam sepekan. Namun, karena besarnya gairah masyarakat Jepang terhadap gamelan Bali, Otonomori pun buka setiap hari. Saat ini di Otonomori ada lima guru seni, empat pengajar gamelan dan satu guru tari Bali. Pada Jumat, Putu dipercaya mengajarkan special class, yang semua muridnya sangat pintar bermain gamelan. “Kelas musik yang rumit,” akunya.

Seorang guru tentu saja punya kebanggaan besar saat muridnya berhasil. Beberapa siswa Putu yang telah lulus banyak yang konsisten dengan jalur seni gamelan. Bahkan, ada yang membentuk band gamelan keliling dunia. “Saya bangga mereka menggunakan gamelan sebagai jati diri sekaligus karir, meski mereka orang Jepang. Banyak orang Jepang yang serius dengan gamelan,” terangnya.

Kendati kesuksesan telah diperoleh, ayah Amaki (9) dan Mirei (4,)itu berencana merampungkan aktivitasnya di Jepang. Dia kangen tanah air. Rindu akan desiran ombak dan wangi bunga kamboja. “Saya berencana pulang. Ingin menyeriusi bidang desain,” tandasnya sembari menyeruput kopi terakhir. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/