Partai Keadilan Sejahtera (PKS) boleh jadi akan menghadapi jalan terjal, khususnya dalam menghadapi pesta demokrasi tahun 2014 mendatang. Pasalnya, Luthfi Hasan Ishaq (LHI) yang tidak lain adalah Presiden PKS telah dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap terkait rekomendasi kuota impor sapi.
Oleh: Janpatar Simamora, SH., MH
Persoalan ini kian terasa berat bagi PKS karena yang ditetapkan menjadi tersangka adalah pucuk pimpinan partai. Luthfi dijadikan tersangka bersama dua pengusaha dari PT. Indoguna Usaha, Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi. Selain itu, muncul pula nama Ahmad Fathanah yang disebut sebagai orang dekat Luthfi.
Dijadikannya Lutfhi sebagai tersangka oleh KPK tentu tidak serta merta dapat dimaknai bahwa yang bersangkutan benar-benar terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi. Bagaimanapun asas praduga tidak bersalah harus tetap dikedepankan dalam berbagai kasus hukum, termasuk kasus dugaan korupsi yang satu ini. Namun demikian, mengingat tingkat ketelitian dan keprofesionalan yang dijalankan KPK dalam mengendus para koruptor selama ini, maka hampir pasti dapat ditebak ujung dari persoalan yang satu ini.
Selain itu, patut juga dicatat bahwa KPK tidak akan mungkin menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa dibarengi dengan sejumlah alat bukti minimal yang ditentukan oleh undang-undang. Oleh sebab itu, maka tidak mengherankan bila kemudian hampir seluruh perkara korupsi yang ditangani KPK selalu berujung pada vonis bersalah yang dijatuhkan oleh pengadilan. Hanya yang sering menjadi masalah adalah terkait berat ringannya vonis yang harus dipikul para koruptor serta minimnya vonis yang membebankan upaya ganti rugi atau pengembalian uang maupun aset negara selama ini, sehingga sejumlah vonis yang dijatuhkan pengadilan terhadap para koruptor kerap dituding tidak akan melahirkan efek jera di kemudian hari.
Terlepas dari bagaimana kelanjutan kisah kasus dugaan suap impor daging sapi yang melibatkan Presiden PKS kali ini, satu hal yang patut dicatat adalah bahwa kasus ini akan menimbulkan efek luar biasa bagi masa depan PKS dalam perhelatan politik nasional. Efek dimaksud akan kian terasa seiring dengan semakin dekatnya perhelatan demokrasi secara nasional di tanah air. PKS akan menghadapi jalan terjal untuk mengembalikan jati dirinya sebagai partai “bersih” sebagaimana diklaim sejumlah petinggi partainya selama ini.
Akan Kesulitan
Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan PKS akan kesulitan dalam mengembalikan kepercayaan publik terkait munculnya kasus dugaan suap yang menimpa salah satu petingginya itu. Pertama, selama ini PKS selalu mengklaim diri sebagai “partai bersih”. Statement semacam ini tentunya mengandung konsekuensi bahwa partai yang bersangkutan jauh dari berbagai perbuatan tidak mendidik, tidak bermoral dan berbagai tindakan tidak terpuji lainnya. Namun bila kemudian dalam perjalanannya ternyata kader PKS justru terseret dalam persoalan korupsi, bukankah publik akan mempertanyakan nilai kebenaran dari slogan “bersih” yang diusung selama ini?.
Kedua, PKS adalah merupakan salah satu partai yang berlandaskan ajaran agama. Sebagai partai yang mendasarkan segala tindakannya pada ajaran agama, maka semestinya segala aktivitasnya harus didasarkan pada ajaran agama pula. Sampai detik ini, tidak ada satupun agama yang mengamini perbuatan korupsi. Belum lagi bahwa dalam berbagai kesempatan, sejumlah kader PKS selalu mendengung-dengungkan ajaran agama sebagai dasar dalam bersikap dan berperilaku.
Ketiga, persoalan dugaan korupsi kali ini langsung mencapai jantung kekuasaan PKS yang secara otomatis akan melahirkan guncangan dahsyat, baik dalam lingkup internal maupun eksternal. Dalam berbagai kasus korupsi yang melanda parpol selama ini, para pihak yang dijadikan sebagai tersangka selalu dimulai dari kader-kader di tingkat bawah, namun kali ini justru langsung membidik pucuk pimpinan partai.
Keempat, musibah politik yang melanda PKS kali ini terjadi saat detik-detik terakhir menjelang penyelenggaraan pemilu. Situasi ini pada akhirnya akan membuat PKS kesulitan dalam mengembalikan kepercayaan publik karena rentang waktu yang ada sudah sangat terbatas. Belum lagi bila kemudian persoalan ini justru dijadikan sebagai senjata pamungkas bagi parpol lain dalam rangka menggaet dukungan dari para pemilih setia PKS.
Memang harus diakui bahwa sekalipun PKS sedang terbelit dalam sebuah persoalan maha dahsyat, namun seiring dengan sikap ksatria yang dipertontonkan Luthfi pasca penetapan dirinya sebagai tersangka yang dengan tegas menyatakan mundur sebagai presiden partai, maka kemungkinan para simpatisan PKS masih akan tetap menaruh harapan positif terhadap partai yang satu ini. Hanya saja, sikap pengunduran diri dimaksud bukan berarti dengan sendirinya dapat menebus atau bahkan mengubur persoalan yang sedang terjadi.
Bukan Persoalan Baru
Apa yang melanda PKS kali ini bukanlah persoalan baru dalam dunia perpolitikan nasional. Sejumlah parpol juga sudah lebih dulu mengalami nasib yang sama. Tidak sedikit parpol yang kadernya terpaksa harus berurusan dengan KPK dan pengadilan demi mempertanggungjawabkan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Dari sejumlah kasus yang mengemuka, hampir semua pula berhasil dibui menuju kursi pesakitan. Oleh sebab itu, maka tidak mengherankan bila kemudian banyak kalangan menduga bahwa kondisi yang sama akan terjadi dalam kasus dugaan suap impor daging sapi ini.
Belajar dari sejumlah kasus yang melilit parpol, semestinya parpol di tanah air melakukan introspeksi diri. Bagaimanapun sepak terjang parpol selama ini kerap terjerumus dalam ruang kegelapan yang mengarah pada berbagai praktik busuk yang melingkupinya. Persoalan ini oleh banyak kalangan diduga karena manajemen keuangan parpol yang jelas. Bahkan parpol melalui sejumlah kadernya dalam pusaran kekuasaan tidak jarang dijadikan sebagai mesin pendanaan untuk mengisi pundi-pundi keuangan parpol.
Di sisi lain, tentu menjadi harapan semua pihak agar KPK benar-benar bekerja sesuai porsinya serta jauh dari berbagai bentuk intervensi dan pesanan politik berbagai pihak. KPK juga diharapkan tidak menjalankan standar ganda atau upaya tebang pilih dalam penuntasan perkara ini. Kalau memang bukti yang ada sudah cukup kuat untuk mengalamatkan kesalahan kepada sejumlah pihak yang telah dijadikan tersangka, maka proses hukum lebih lanjut seyogianya dijalankan dengan baik demi tegaknya hukum yang mencerminkan rasa keadilan bagi semua pihak.
Penulis adalah Pengajar di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan,
Peserta Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.