Dua lembaga keagamaan Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang mewakili Protestan dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) yang mewakili Katolik baru-baru ini sepakat untuk meningkatkan kerjasama ekumenis.
Kerjasama ekumenis ini disemangati gerakan ekumenis dalam menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan, HAM, konstitusi dan hukum, kekerasan, dan hal-hal yang terkait dengan kehidupan gerejawi dan teologis.
Dalam rangka kerjasama ekumenis antara PGI dan KWI tersebut, Sabtu (2/2) di gedung KWI diadakan percakapan ekumenis setelah 50 tahun Konsiili Vatikan II. Acara tersebut digagas bersama-sama antara Komisi Teologi PGI dan Komisi Teologi KWI dengan mengundang saudara-saudari seiman dari teolog Injili dan teolog Karismatik.
Dalam sambutan acaranya, Ketua Umum PGI, Pdt Dr AA Yewangoe mengaku gembira dengan diadakannya percakapan ekumenis antara Komisi Teologi PGI dan Komisi Teologi KWI ini. Dia berharap percakapan dan diskusi teolgis seperti ini terus dikembangkan dan diperdalam, sehingga percakapan seputar Konsili Vatikan II di mana Konsili Varikan II itu semula tidak diharapkan, akan mampu menerjemahkan providensia Allah.
Melanjutkan Yewangoe, Romo Eddy Purwanto, Sekretaris Eksekutif KWI, menyatakan pihaknya berkeinginan supaya pertemuan ini tidak hanya berhenti pada oikumene dalam dialog, tetapi terus berlanjut ke oikoumene dalam aksi.
Sementara itu, Pdt Dr Martin L Sinaga selaku moderator dari pihak Prostestan merangkumkan apa yang telah diperbincangkan beberapa jam tersebut.
“Di Indonesia kerjasama ekumenis pasca Konsili Vatikan II bermuara pada program yang disebut SODEPAXI (tahun 1970-an), dan selain telah membangun saling pengertian antargereja, juga telah menyumbang kepada masyarakat prinsip ‘pembangunan manusia seutuhnya’. Proses ini tentu tidak bisa dipisahkan dari keterbukaan ekumenis dan perspektif teologis.”
Menimpali rangkuman dari Martin, Romo Benny Susetyo (moderator) mengajak semua yang hadir untuk meletakkan Gereja-gereja di Indonesia dalam konteks Indonesia, sehingga menemukan ciri khas teologi dari Indonesia. Lebih daripada itu, Gereja bisa terlibat di dunia, bersama-bersama sebagai satu tubuh Kristus melakukan advokasi masalah-masalah kemanusiaan, bicara tentang hak-hak konstitusional, soal pembangunan, dan konstitusi Indonesia.
Di sisi lain, salah satu pesan utama dalam Persidangan Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia PGI yang digelar di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 24-28 Januari 2013 lalu adalah peran aktif gereja untuk berbela rasa bersama masyarakat adat dalam mempertahankan haknya atas tanah.
Hal ini disampaikan Sekretaris Umum PGI Pendeta Gomar Gultom yang menyerukan kesadaran gereja terhadap perjuangan mempertahankan hak jemaat seperti hak tanah adat. “Banyak konflik agraria dan krisis SDA yang tidak dipedulikan oleh gereja,” kata Gomar kepada wartawan di Jakarta, Selasa (5/2).
Gomar memandang bahwa gereja memiliki dua peran penting dalam mengatasi ketidakadilan pengelolaan lahan khususnya tanah adat. Pertama, di tataran hukum, gereja harus ikut mengadvokasi hak masyarakat adat terkait sertifikat tanah.
Salah satu usul konkret adalah gereja diminta menelusuri sejarah tanah adat sebagai dasar hukum kepemilikan masyarakat atas tanah. Kedua, gereja bisa membangun soliditas diantara masyarakat adat untuk bersatu memperjuangkan tanah mereka.
Untuk itulah dirinya memandang perlu peran gereja sebagai penyambung lidah masyarakat adat. Umumnya, masyarakat adat tidak memahami hak-hak mereka sehingga takut bersuara. “Masyarakat juga seringkali terpecah belah sehingga penting untuk menyatukan mereka,” ujarnya.
Hingga saat ini masih ditemui ragam kasus di masyarakat dimana sengketa tanah terjadi karena ahli waris tidak mempunyai sertifikat karena ketidakmengertian administrasi dan juga minimnya kesadaran banyak pihak untuk memberikan penyadaran dan juga pengetahun. Sehinga seringkali timbul gejolak yang mengakibatkan konflik horisontal, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan marginalisasi atas masyarakat setempat.(jc/tom)