Menang Gambar, Kalah Cerita
Komik Indonesia hingga kini belum juga bangkit dari serbuan karya serupa asal luar negeri. Masa keemasan Si Buta dari Gua Hantu, Panji Tengkorak hingga Gundala Putra Petir sudah lama lewat. Padahal, dari segi kualitas visual, komikus nusantara saat ini boleh dibilang tidak kalah dengan komik asing. Sayang, dari segi cerita, komik Indonesia masih belum punya kekuatan.
“Anak-anak komik sekarang secara visual sudah jauh berkembang. Secara visual mereka sudah sangat jago. Tapi soal mengolah cerita masih kurang,” kata kartunis sekaligus komikus, Muhamad ‘Mice’ Misrad, kepada Indopos (grup Sumut Pos), kemarin.
Mice menyebut, salah satu kelemahan utama komikus Indonesia saat ini adalah membingkai cerita yang memiliki kedekatan dengan pembaca umum. Tanpa cerita yang menarik, sebuah komik akan sulit untuk diterima di hati banyak orang. Repotnya, untuk membuat sebuah cerita yang bisa diterima orang banyak juga bukan perkara mudah.
Menurut Mice, cerita yang berasal dari persoalan sehari-hari adalah salah satu persoalan menarik untuk jadi alur kisah dalam komik. “Cerita harus membumi. Berangkat dari persoalan sehari-hari si sekitar kita dan berurusan dengan hajat orang banyak,” sambungnya. Tanpa itu, sangat sulit komik Indonesia bisa kembali berjaya seperti dulu. Empati kepada lingkungan Mice sebut sebagai salah satu cara menyerap kisah di sekitar keseharian.
“Jangan terlalu asyik dengan dunia sendiri dan merasa cukup membanggakan karya kepada sesama komikus,” tambahnya.
Saat ini, Mice menambahkan, Indonesia memiliki banyak komikus muda dan bertalenta. Sayangnya, usaha untuk menjalin komunikasi dengan pembaca melalui cerita masih kurang. Akibatnya, komik Indonesia memiliki kekuatan pincang akibat hanya menang secara visual semata. Paduan antara visualisasi gambar yang hebat dan didukung cerita kuat boleh disebut sebagai syarat kekuatan utama eksistensi komik di mana saja, bukan hanya di Indonesia.
Di Jepang misalnya. Komik-komik Jepang yang rata-rata dibuat hitam putih secara visual termasuk begitu-begitu melulu. Tokoh-tokohnya bermata lebar, sedikit bulat. Wajah pada tokoh-tokoh komik Jepang hampir mirip antara laki-laki dan perempuan. Hanya tatanan rambut dan baju saja membedakan. Dari karakter tokoh Chinmi dalam Kungfu Boy karya Takesi Maekawa, Conan Edogawa alias Sinichi Kudo dalam Dektektif Conan karya Aoyama Gosho, hingga lima gadis pemilik kekuatan super dalam Sailormoon karya Naoko Takeuchi memiliki kemiripan wajah dengan perbedaan rambut dan postur tubuh, termasuk pakaian.
Tetapi, soal cerita, komik-komik asal negeri matahari terbit harus diakui punya kelebihan. Tentang Chinmi dalam Kungfu Boy yang belajar ilmu beladiri di Shaolin dan petualangannya bertemu banyak kawan maupun lawan dan jurus-jurus baru sangat asyik diikuti. Simak pula cerita dekektif Sinichi Kudo yang tubuhnya mengecil lalu berubah identitas menjadi Conan Edogawa. Pada setiap ceritanya, kelompok detektif anak-anak pimpinan Conan selalu berkisah tentang pengungkapan kasus kriminal. Mulai dari pencurian oleh Kid hingga beragam pembunuhan, lengkap dengan analisa ala detektif sungguhan.
Cerita yang menarik pada komik Jepang terbukti mampu menjadi daya tarik walau kualitas visual tidak semenarik kisahnya. Terkepas dari gempuran komik asing, saat ini tidak sedikit pegiat komik beserta komunitasnya yang terus berkarya tanpa memusingkan pasar. ’’Banyak teman-teman yang memilih indie. Membuat komik sendiri karena memang masih sulit untuk bersaing langsung dengan komik luar negeri,’’ kata Dien Yogha, kartunis yang juga komikus indie.
Menurutnya, tidak sedikit pula komikus Indonesia yang malah berkarya di negeri seberang. Bahkan, komik Indonesia oleh Jepang setidaknya juga diakui kehebatannya. Komik Lima Menit Sebelum Siaran karya Muhammad Fathanatul Haq dan Ockto Baringbing misalnya. Komik tentang kisah di balik studio televisi ini bahkan meraih penghargaan Silver pada International Manga Award ke-6 di Jepang pekan lalu. Yogha mengakui, era kini sudah berbeda dengan masa-masa Si Buta dari Gua Hantu. Saat ini, industri komik Indonesia boleh disebut sudah menggeliat walau masih kalah jauh dengan Jepang.
’’Banyak juga teman-teman yang membuat komik secara spontan lalu diunggah ke media sosial. Itu adalah bagian dari kreativitas teman-teman untuk tetap berkarya,’’ tambahnya. Ada juga yang kemudian menerbitkan komik secara digital. Yogha tidak menyalahkan industri yang belum melirik komik sebagai sebuah kekuatan di pasar. Menurutnya, dilihat dari segi bisnis, komik karya anak negeri memang masih kalah dengan komik asing.
Selain sebagai buku bergambar berisi jalinan cerita, komik juga lazim digunakan sebagai media pendidikan. Seperti yang dilakukan guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Prof drg Etty Indriati PhD misalnya. Akademisi ini sempat melahirkan komik berjudul Warisan Budaya dan Manusia Purba Indonesia Sangiran pada 2009 lalu. Komik setebal 48 halaman itu berisi tentang sosok manusia purba di Sangiran dan perdaban pra sejarah di sekitarnya.
“Saya ingin memopulerkan bidang paleoantropologi dengan komik. Dengan cara ini pula, diharapkan anak-anak mau mencintai khazanah kepurbakalaan,” terang lulusan Fakultas Kedokteran Gigi UGM 1987 itu.
Komik karya Etty bercerita tentang manusia purba homo erectus. Di dalamnya diberi ilustrasi gambar, foto, serta sedikit cerita. Agar ringan dan mudah dipahami, komik itu tidak banyak membahas perjalanan manusia purba yang dulu tinggal di Sangiran. Komik tersebut lebih banyak membahas hal yang sifatnya sederhana seperti membedakan antara fosil cangkang kura-kura purba dan tulang tengkorak manusia purba. (tir/jpnn)