Dua belas bulan kedepan merupakan tahun politik bulan-bulan transisi menjelang Pemilihan Umum legislatif yang digelar pada bulan April 2014, tetapi perlu dicatat bahwa untuk satu tahun ini setidaknya terdapat lima belas kali pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur, belum pemilihan umum kepala daerah seperti Bupati dan Walikota.
Pelaksanaan Pimilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 memiliki peran transisi strategis menuju Pemilu khususnya di luar pulau Jawa yang berpenduduk kurang lebih 13 juta tahun 2014. Patut untuk diperhitungkan menjadi parameter kesuksesan meraup dukungan konstituen sebanyak-banyaknya, lebih daripada itu kemajemukan dan multikulturalnya yang dimiliki mempunyai nilai plus dipanggung politik nasional.Kelebihan provinsi Sumut yang tidak dimiliki oleh provinsi lain dapat menjadi percontohan sistem demokrasi yang lebih bernilai tidak hanya kuantitas semata tetapi kualitas dari substansi demokrasi yang patut diperhitungkan. Menjelang dilangsungkannya pemungutan suara seperti telah ditetapkan dalam program, tahapan, dan jadwal Pilgubsu pada tanggal 07 Maret 2013 menjadi batu uji pembuktian penyelenggaraan terlaksana dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Tanggungjawab penyelenggaraan Pilgubsu tidak semata-mata menjadi urusan Komisi Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas tetapi menjadi tanggungjawab publik atau masyarakat selaku pemegang mandat kedaulatan, untuk membuktikan komitmen berani, jujur, hebat penyelenggaraan Pilgubsu harus mematuhi asas Pemilu dan setiap pengambilan keputusan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Sebagai filosofi dasar keberadaan penyelenggara pemilu meliputi KPU dan Panwas yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri seperti yang diharapkan Pasal 22 E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 keberadaan KPU selaku yang mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan berperan strategis mewujudkan pelaksanaan Pilgubsu setiap lima tahun sekali secara Luber dan Jurdil tetapi, bila tuntutan pelaksanaan tidak dapat terpenuhi selaku KPU dan Panwas sebagai penyelenggara harus siap mempertanggungjawabkan kinerjanya baik dalam regulasi maupun keputusan yang diambil.
Pertanggungjawaban kinerja menunjukan sikap keberanian sebagai penyelenggara Pemilu mempunyai akuntabilitas menghadapi setiap bentuk perlawanan maupun gugatan dapat memberikan jawaban kepada publik. Sikap keberanian KPU dan Panwas yang saat ini ditunggu publik untuk mengambil tindakan tegas apabila didapati dan dijumpai setiap tindak pidana Pemilu maupun pelanggaran administrasi dalam tahapan dan jadwal Pilgubsu yang dilakukan oleh peserta dan atau tim sukses pasangan calon.
Kunci sukses dalam penyelenggaraan Pilgubsu, penyelenggara sudah seharusnya memiliki integrity (integritas/terpercaya) yaitu sikap kejujuran baik kedalam maupun keluar lembaga terkecuali sesuatu yang telah disepakati bersama menjadi kesepatan dari penyelenggara sampai batas waktu yang tidak ditentukan apabila dilanggar menjadi pelanggaran kode etik. Maksud daripada penyelenggara yang jujur menjadikan marwah dan bobot daripada kualitas Pilgubsu dapat dipercaya kemandirian atau independensinya berdampak kepada kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan Pilgubsu terjamin Luber dan Jurdil, meski untuk menuju sebagai lembaga yang terpercaya dalam penyelenggaraan Pilgubsu bukanlah sebuah perkara yang mudah dapat dipastikan godaan dan rintangan siap menghadang KPU dan Panwas maka partisipasi publik sangatlah diperlukan demi terselenggaranya pesta demokrasi yang benar-benar merepresentasikan kedaulatan rakyat.
Sebagai dasar penyelenggaraan Pilgubsu yaitu mengacu UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu, bukan hanya sebatas landasan formal sahnya penyelenggaraan melainkan lebih daripada itu sebagai sistem nilai tegaknya hukum dan keadilan yang mencerminkan dalam nilai-nilai demokrasi yang telah kita sepakati bersama. Kejujuran bukan hanya mutlak tanggung jawab penyelenggara, peserta pasangan calon dan tim sukses berkewajiban memberikan pendidikan politik kepada publik secara jujur dan beradap serta jauh dari praktik-praktik kotor seperti politik uang (mony politik) baik dilakukan secara massif dan terstruktur maupun secara sporadis yang mengakibatkan terciderainya nilai demokrasi oleh kepentingan pragmatis demi mengejar kemenangan yang belum tentu diraih pada akhirnya membawa persoalan dikemudian hari.
Potensi indikasi korupsi politik dalam Pilgubsu bisa jadi ada apabila peraturan tidak ditegakan dan penyelenggara takut membawa temuan dan aduan untuk ditindaklanjuti karena berakibat mengancam jadwal dan tahapan yang pada akhirnya berdampak pada kualitas penyelenggaraan pemilu menurun. Salah satu hal sebagai bentuk pencegahan terjadinya korupsi politik para peserta Pilgubsu yang saat ini menjabat sebagai penyelenggara negara baik Plt Gubernur, Bupati, wakil Bupati dan anggota DPR-RI serta anggota DPRD untuk mengundurkan diri dan atau setidaknya mengambil cuti diluar tanggaung negara setelah ditetapkan sebagai peserta Pilgubsu.
Kekhawatiran terjadinya korupsi politik sangatlah beralasan apabila calon yang bersangkutan masih menduduki jabatan publik, tidak menutup kemungkinan menggunakan fasilitas yang melekat kepadanya demi kepentingan pencalonan sulit untuk dihindarkan dan sulit untuk dipisahkan kapan dia sebagai peserta yang harus kampanye menemui konstituen dengan kapasitas sebagai pejabat publik yang harus melayani kepentingan publik pada akhirnya beda tipis.
Untuk lebih adil dan setara dalam dua bulan masa konsolidasi dan kampanye pasangan calon perserta Pilgubsu akan dikatakan lebih hebat jika Pasangan calon yang saat ini menduduki jabatan publik secara gantle man menyatakan mengundurkan diri kalaupun tidak sanggup, mengambil cuti selama dua bulan menjelang pemungutan suara diluar tanggung jawab negara dan tidak menggunakan fasilitas apapun yang melekat sebagai pejabat publik dapat dinilai sebagai calon pasangan peserta Pilgubsu lebih mengutamakan kepentingan masyarakat secara luas daripada mengejar gengsi kepentingan pribadi yang takut kehilangan jabatan yang selama ini melekat dan telah meninabobokan.
Aturan tentang cuti pejabat publik yang maju sebagai peserta Pemilukada saat kampanye telah diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan KPU meski dalam praktiknya tidak menutup kemungkinan dilanggar. Kalaupun ditemukan biasanya penyelenggara Pemilukada enggan menegur atau memberi sanksi, dengan alasan apabila anggaran tidak di setujui untuk dicairkan bisa jadi menghambat proses, tahapan, dan jadwal yang pada akhirnya KPU dan Panwas tidak dapat berbuat banyak. Untuk itu dibutuhkan keberanian, kejujuran dan kehebatan penyelenggara untuk melakukannya. (*)
Penulis: Pegiat Hukum dan
Kenegaraan Laboratorium Hukum dan Konstitusi USU Medan