Jo Seng Bie, wartawan senior dari Kantor Berita Antara Batam, pada bulan Desember lalu, tersenyum sumringah. Senyum itu mengembang, setelah ia mendatangi beberapa pengusaha muda yang mengikuti Batam Pos Entrepreneur Award ke 1.”Mereka itu, orang-orang berdaulat. “ cetusnya.
Jo Seng Bie benar. Mereka itu memang telah berdaulat,atas apa yang dipunyainya. Berdaulat untuk menentukan ekspresi diri apapun bentuknya. Selama diterima pasar dan tidak merugikan orang lain, sah-sah saja. Dan justru perlu. Berdaulat memberikan emphatic kepada orang lain. Memberi gaji.
enciptakan lapangan kerja. Menyelesaikan masalah pengangguran. Bisa mensejahterakan diri sendiri dan orang lain. Menyembuhkan ekonomi. Menggerak roda dan pertumbuhan ekonomi.
Sayangnya, jumlah orang-orang yang seperti ini sangat sedikit di Kepri, juga Indonesia. Makanya ekonomi belum gesit melangkah. Yang terbanyak adalah orang-orang yang tidak berdaulat, dependent. Tergantung pada orang lain. Pada orang-orang yang berdaulat. Menjadi orang gajian. Mulai dari petani.
ebanyakan mereka sesungguhnya bukan petani lagi. tidak memiliki tanah, sawah maupun ladang sendiri. Melainkan menjadi buruh tani, mengerjakan dan mengolah sawah, kebun dan ladang orang lain. Nelayan juga tidak lagi memiliki sampan dan jaring sendiri. Menjadi buruh pada kapal-kapal nelayan.
Apalagi yang berkenaan dengan dunia profesionalitas. Umumnya, kita menjadi pekerja.Menjadi dependent. Yang ditentukan jumlah rezeki dalam bentuk upah dari orang-orang yang berdaulat setiap bulan. Dan jumlahnya, 98, 44 % dari total penduduk. Mayoritas penduduk.
Pertanyaan besarnya, kenapa?
Karena para orangtua turun temurun kebanyakan mendidik menjadi orang-orang dependent. Lingkungan juga. Agung B Waluyo, Direktur program Universitas Ciputra Entrepreneurship Centre, mengatakan begini:”Adakah orangtua yang mengatakan, kalau kamu selesai kuliah, bingkai ijazahmu dan gantung di dinding.
Cukup jadi pajangan. Dan kamu buka usaha yang tidak perlu syarat ijazah melamarnya. Karena tidak perlu dilamar, melainkan dibangun, dimulai.”
Mungkin sebagian kecil dari golongan Tionghoa, ada yang melakukannya. Bagi mereka, pendidikan formal guna memberikan wawasan dan pola berpikir. Selain memang harus sekolah. Tapi mereka sudah memberikan edukasi yang lebih efektif, yakni mentoring untuk tujuan menjadi orang berdaulat, mentoring menjadi pengusaha. Dalam bahasa Dahlan Iskan, penularan.
Bagaimana bentuknya? Para orang tua Tionghoa yang umumnya memiliki usaha, membawa anak-anak mereka terlibat di bisnis mereka. Mulai dari tahapan tidak sengaja hingga bahkan di sengaja dilibatkan. Yang tidak sengaja, bisa dilihat kebiasaan mereka, mengajak anaknya ke toko. Di tempat itu, anak-anak tadi akan melihat bagaimana pelanggan datang ke toko.
Bagaimana melakukan tawar menawar. Bagaimana melakukan jual beli. “Dan ketika orangtuanya tidak sedang di toko, atau pergi ke toilet misalnya, sang anak mau tidak mau ketika ada pembeli datang, mengambil alih melayani. “
Cara-cara itu berawal dari kagok. Karena sering, menjadi terbiasa. Dan pada tahap tertentu, mereka memang sengaja dilibatkan dalam bisnis, karena penularan sudah dilakukan. Dan proses ini dilalui tidak satu atau dua tahun, melainkan bertahun-tahun, sampai mereka dewasa. Butuh belasan tahun.
alimin Djohan pemilik Repuplik Kopi dengan 3 kedai kopi di Medan, mengatakan, “Awal saya tahu bisnis, dari mengepel kedai kopi orangtua saya.Ketika usia sekolah dasar.”
Namun, orang-orang tua Tionghoa seperti ini pun, jumlahnya makin berkurang. Mereka pun, mulai tidak melakukan proses alamiah penularan bisnis kepada anak-anak mereka. Anak-anak Tionghoa pun, sekarang ini lebih disibukkan oleh mata pelajaran di sekolah akademik mereka.
Alhasil para Koko dan Encim-encim sekarang pun, berkerut kening nelangsa,” Anak saya lebih memilih cari kerja di tempat orang lain, daripada meneruskan bisnis yang saya kelola..”
Begitulah.
Apalagi orang-orangtua kita yang terlanur bermental dependent karena pengalaman hidupnya turun temurun menjadi pekerja. Penularan yang mereka lakukan, penularan menjadi orang dependent.
Sebabnya takut menghadapi resiko. Hampir semua orang mengatakan Bisnis itu beresiko. Pendapat itu benar sekali. Seperti halnya hidup itu sendiri pun beresiko. Dan apa kah kita bisa menjawab apa dalam hidup ini benar-benar bebas resiko?
Dan resiko dihindari juga benar. Namun apakah karena bisnis beresiko apakah lalu kita menghindari berbisnis? Pemahaman ini muncul karena kita tidak dididik dan ditularkan pola piker untuk menghadapi resiko. Caranya? Saya juga tidak menyarankan, suapa nekad saja buka usaha, resiko urusan belakangan.
Ini juga pola piker yang kurang realistis. Hulunya, adalah bangkrut. Syukur jika memiliki mental baja, bisa kembali membangun usaha. Sayangnya lagi, orang-orang yang tahan banting dari bangkrut meneruskan usaha tidak juga banyak.
Yang realistis adalah, pahami resiko yang akan dihadapi. Seorang yang berjiwa entrepreneur setelah memahaminya, tidak akan mundur. Melain lebih siap, karena akan mencari, menemukan dan membuat terobosan lalu melahirkan inovasi untuk menangani resiko.
Lalu, apakah melalui pendidikan menjadi solusi untuk melahirkan orang orang berdaulat?
Dahlan Iskan mengatakan,”Saya tidak percaya pendidikan adalah jawaban menjadikan orang pengusaha. Banyak fakultas ekonomi dan bisnis, ketika tamat, justru menjadi mengurus bisnis orang lain, menjadi pekerja. Saya lebih percaya penularan, dan latihan.”
Presiden UCEC Antonius Tanan mengatakan, “Tamat sekolah dan kuliah, hanya baru menyelesaikan sekolah akademik. Belum menyelesaikan sekolah kehidupan. Belum menjadi orang berdaulat atas masa depannya.”
Mari kita lihat, setiap tahun, sekolah maupun perguruan tinggi terus menghasilkan lulusan. Dengan mindset menjadi orang-orang dependent. Yang membutuhkan orang-orang berdaulat untuk membuka kesempatan kerja.
Pendidikan membentuk generasi dependent.Tidak mampu membuka lapangan kerja untuk dirinya sendiri, apalagi orang lain.Dan untuk bisa menjadi orang-orang dependet ini pun, bergulat dengan kompetisi yang luar biasa ketatnya.
ereka sulit menembus orang-orang berdaulat, agar menerima mereka, memberi upah tiap bulan. Tahun 2012 lalu, jumlah pengangguran terdidik saraja dan diploma, 2,5 juta orang. Dan akan meningkat terus jumlahnya, seiring tahun, seiring lulusan yang terus dilahirkan sekolah maupun perguruan tinggi.
Lalu apa jalan keluarnya?
Sebarkan entrepreneurship untuk semua orang. Untuk para orang berdaulat pemula dan calon orang berdaulat. Untuk anak-anak mereka. Untuk orang-orang yang mau ditulari menjadi berdaulat. Untuk government, agar lebih berorientasi melahirkan kebijkan membangun iklim usaha yang sehat.
Untuk dunia akademisi, agar menggodok kurikulum bermindset entrepreneurship, dan melahirkan generasi kreatif mampu melahirkan inovasi dan mendorong menjadi orang berdaulat. Dan untuk social figure.
Agar mampu memiliki mindset entrepreneurship, lalu dengan pengaruhnya, menularkan secara efektif kepada orang banyak. Perbanyak entrepreneurship centre, yang akan menjadi think thank penularan dan pengembangan entrepreneurship.
Lalu siapa orang berdaulat itu? Pengusaha yang jeli menciptakan peluang bisnis, melakukan inovasi dan cermat menangani resiko, yang kemudian menjadikannya entrepreneur. (*)
Penulis: GM Batam Pos
Entrepreneur School Grup