24 C
Medan
Wednesday, November 27, 2024
spot_img

Setahun Lahir 5.200 Bayi Tuli

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan secara serius menekan angka gangguan pendengaran dan ketulian. Targetnya, pada 2030 penduduk Indonesia bebas dari ancaman gangguan pendengaran melalui program Sound Hearing 2030. Sebab, saat ini, setiap tahun 5.200 bayi lahir tuli.

ANAK: Aktivitas sejumlah anak  Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan Medan, beberapa waktu lalu. Menurut data WHO, 32 juta anak-anak  dunia mengalami gangguan pendengaran. //ANDRI GINTING/SUMUT POS
ANAK: Aktivitas sejumlah anak di Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan Medan, beberapa waktu lalu. Menurut data WHO, 32 juta anak-anak di dunia mengalami gangguan pendengaran. //ANDRI GINTING/SUMUT POS

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah program itu bisa berjalan maksimal? Sementara, sejumlah fakta mengejutkan datang dari sejumlah penelitian, baik penelitian di luar negeri maupun di Indonesia sendiri.

WHO merilis data yang mencengangkan soal gangguan pendengaran dan ketulian. Bahwa 360 juta atau sekitar 5,3 persen penduduk dunia terkena gangguan pendengaran. Setengahnya atau sekitar 180 juta penderitan gangguan pendengaran ada di Asia Tenggara dan sekitar 9 juta lebih ada di Indonesia.

Dari total 360 juta itu, sekitar 328 juta atau 91 persen di antaranya adalah orang dewasa. Dan 32 juta atau sekitar 9 persennya adalah anak-anak.
Menurut Wamenkes Ali Gufron Mukti dalam acara peringatan Hari Kesehatan Telinga dan Pendengaran (HKTP) 2013, dengan jumlah yang demikian besar, berarti 15 dari 300 orang di Indonesia diperkirakan menderita pendengaran sampai ketulian.

“Maka itu, kami secara khusus membentuk Komisi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) untuk secara langsung melakukan advokasi, komunikasi, dan sosialisasi soal pentingnya menjaga kesehatan telinga dan pendengaran,” ulasnya di Jakarta, Rabu (6/3) lalu.

Sementara itu, berdasarkan hasil temuan di lapangan, Ketua Komnas PGPKT dr Damayanti Soetjipto menguraikan sejumlah fakta menarik.

Bahwa berdasarkan Survei Kesehatan Indera Pendengaran, menunjukkan adanya prevalensi penyakit telinga yang cukup tinggi, yaitu 18,5 persen, gangguan pendengaran 16,8 persen, dan ketulian berat 0,4 persen.

“Yang membuat miris adalah adanya fakta bahwa populasi tertinggi yang berisiko justru di kelompok usia sekolah. Dengan usia rata-rata 7-18 tahun,” ulasnya. Kemudian, dia juga mengungkapkan adanya data WHO yang menyebutkan bayi lahir tuli (tuli congenital) berkisar 0,1-0,2 persen.

Dengan persentase demikian dan dibandingkan dengan angka kelahiran di Indonesia yang sekitar 2,6 persen per tahun, maka bisa diperkirakan, bahwa setiap tahunnya akan ada 5200 bayi tuli di Indonesia. “Karena tidak mendengar, bayi-bayi ini berisiko gangguan komunikasi karena sulit berbicara, gangguan pendidikan, bermuara pada penurunan kualitas SDM Indonesia,” paparnya.

Dengan fakta-fakta yang demikian, Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Kemenkes dr HR Dedi Kuswenda, MKes menyarankan, agar orangtua tanggap melakukan pendeteksian dini gangguan pendengaran sesaat pasca kelahiran bayi.

“Deteksi dini bisa dilakukan sesaat setelah bayi lahir. Diperiksa pendengarannya dengan alat OAE (Otoacoustic Emmision). Jika ada kelainan, pemeriksaan lanjut dengan BERA (Automates ABR),” jelasnya singkat.

Secara detil, dr Ronny Suwento dari Pusat Kesehatan Telinga dan Gangguan Komunikasi mengungkapkan, bahwa sebaiknya sebelum berusia 6 bulan bayi sudah harus dilakukan manipulasi, agar selanjutnya bisa mendengar dan belajar bicara secara normal. Itu sebabnya, dia menyarankan skrining dilakukan pada semua bayi yang baru lahir di setiap Rumah Sakit.

Deteksi dini bayi lahir tuli (tuli congenital) bisa melalui tiga tahapan. Yaitu skrining pendengaran bayi (newborn hearing screening), Universal Newborn Hearing Screening (UNHS), dan Early Hearing Detection-Intervention (EHDI).
Apakah semua bayi berisiko mengalami gangguan pendengaran” “Sebenarnya tidak semua. Hanya, jika ada keluarga yang mempunya riwayat tuli sensorineural sejak lahir, maka bayi itu bisa berisiko dan sebaiknya diperiksakan,” ulasnya.

Bayi berisiko lainnya adalah, jika terjadi infeksi masa hamil TORCHS, jika terdapat kelahiran kraniofasial termasuk kel pinna dan liang telinga, BBLR (berat badan lahir rendah/ prematur), dan mengidap meningitis bakterialis. Maka itu, sambungnya, pemeriksaan harus dilakukan secara berkesinambungan.

Ibu hamil, kata dia harus memeriksakan kehamilan dengan rutin. Pasca melahirkan, sebaiknya melakukan deteksi dini melalui skrining pendengaran. “Selama tiga bulan didiagnosa, lalu dilihat setelah 6 bulan melalui rehabilitasi dengar dan wicara,” sarannya.(sic/jpnn)

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan secara serius menekan angka gangguan pendengaran dan ketulian. Targetnya, pada 2030 penduduk Indonesia bebas dari ancaman gangguan pendengaran melalui program Sound Hearing 2030. Sebab, saat ini, setiap tahun 5.200 bayi lahir tuli.

ANAK: Aktivitas sejumlah anak  Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan Medan, beberapa waktu lalu. Menurut data WHO, 32 juta anak-anak  dunia mengalami gangguan pendengaran. //ANDRI GINTING/SUMUT POS
ANAK: Aktivitas sejumlah anak di Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan Medan, beberapa waktu lalu. Menurut data WHO, 32 juta anak-anak di dunia mengalami gangguan pendengaran. //ANDRI GINTING/SUMUT POS

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah program itu bisa berjalan maksimal? Sementara, sejumlah fakta mengejutkan datang dari sejumlah penelitian, baik penelitian di luar negeri maupun di Indonesia sendiri.

WHO merilis data yang mencengangkan soal gangguan pendengaran dan ketulian. Bahwa 360 juta atau sekitar 5,3 persen penduduk dunia terkena gangguan pendengaran. Setengahnya atau sekitar 180 juta penderitan gangguan pendengaran ada di Asia Tenggara dan sekitar 9 juta lebih ada di Indonesia.

Dari total 360 juta itu, sekitar 328 juta atau 91 persen di antaranya adalah orang dewasa. Dan 32 juta atau sekitar 9 persennya adalah anak-anak.
Menurut Wamenkes Ali Gufron Mukti dalam acara peringatan Hari Kesehatan Telinga dan Pendengaran (HKTP) 2013, dengan jumlah yang demikian besar, berarti 15 dari 300 orang di Indonesia diperkirakan menderita pendengaran sampai ketulian.

“Maka itu, kami secara khusus membentuk Komisi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) untuk secara langsung melakukan advokasi, komunikasi, dan sosialisasi soal pentingnya menjaga kesehatan telinga dan pendengaran,” ulasnya di Jakarta, Rabu (6/3) lalu.

Sementara itu, berdasarkan hasil temuan di lapangan, Ketua Komnas PGPKT dr Damayanti Soetjipto menguraikan sejumlah fakta menarik.

Bahwa berdasarkan Survei Kesehatan Indera Pendengaran, menunjukkan adanya prevalensi penyakit telinga yang cukup tinggi, yaitu 18,5 persen, gangguan pendengaran 16,8 persen, dan ketulian berat 0,4 persen.

“Yang membuat miris adalah adanya fakta bahwa populasi tertinggi yang berisiko justru di kelompok usia sekolah. Dengan usia rata-rata 7-18 tahun,” ulasnya. Kemudian, dia juga mengungkapkan adanya data WHO yang menyebutkan bayi lahir tuli (tuli congenital) berkisar 0,1-0,2 persen.

Dengan persentase demikian dan dibandingkan dengan angka kelahiran di Indonesia yang sekitar 2,6 persen per tahun, maka bisa diperkirakan, bahwa setiap tahunnya akan ada 5200 bayi tuli di Indonesia. “Karena tidak mendengar, bayi-bayi ini berisiko gangguan komunikasi karena sulit berbicara, gangguan pendidikan, bermuara pada penurunan kualitas SDM Indonesia,” paparnya.

Dengan fakta-fakta yang demikian, Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Kemenkes dr HR Dedi Kuswenda, MKes menyarankan, agar orangtua tanggap melakukan pendeteksian dini gangguan pendengaran sesaat pasca kelahiran bayi.

“Deteksi dini bisa dilakukan sesaat setelah bayi lahir. Diperiksa pendengarannya dengan alat OAE (Otoacoustic Emmision). Jika ada kelainan, pemeriksaan lanjut dengan BERA (Automates ABR),” jelasnya singkat.

Secara detil, dr Ronny Suwento dari Pusat Kesehatan Telinga dan Gangguan Komunikasi mengungkapkan, bahwa sebaiknya sebelum berusia 6 bulan bayi sudah harus dilakukan manipulasi, agar selanjutnya bisa mendengar dan belajar bicara secara normal. Itu sebabnya, dia menyarankan skrining dilakukan pada semua bayi yang baru lahir di setiap Rumah Sakit.

Deteksi dini bayi lahir tuli (tuli congenital) bisa melalui tiga tahapan. Yaitu skrining pendengaran bayi (newborn hearing screening), Universal Newborn Hearing Screening (UNHS), dan Early Hearing Detection-Intervention (EHDI).
Apakah semua bayi berisiko mengalami gangguan pendengaran” “Sebenarnya tidak semua. Hanya, jika ada keluarga yang mempunya riwayat tuli sensorineural sejak lahir, maka bayi itu bisa berisiko dan sebaiknya diperiksakan,” ulasnya.

Bayi berisiko lainnya adalah, jika terjadi infeksi masa hamil TORCHS, jika terdapat kelahiran kraniofasial termasuk kel pinna dan liang telinga, BBLR (berat badan lahir rendah/ prematur), dan mengidap meningitis bakterialis. Maka itu, sambungnya, pemeriksaan harus dilakukan secara berkesinambungan.

Ibu hamil, kata dia harus memeriksakan kehamilan dengan rutin. Pasca melahirkan, sebaiknya melakukan deteksi dini melalui skrining pendengaran. “Selama tiga bulan didiagnosa, lalu dilihat setelah 6 bulan melalui rehabilitasi dengar dan wicara,” sarannya.(sic/jpnn)

Artikel Terkait

Tragedi Akhir Tahun si Logo Merah

Incar Bule karena Hasil Lebih Besar

Baru Mudik Usai Lebaran

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/