26 C
Medan
Friday, December 27, 2024
spot_img

Sutiyoso: TNI Pengangguran Tingkat Tinggi

JAKARTA- TNI AD boleh saja menyebut serangan ke Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman, tidak direncanakan. Namun, pernyataan yang bertolak belakang justru muncul dari mantan Danjen Kopassus Letjen (Pur) Sutiyoso. Dia menyebut jika serangan tersebut sangat mungkin direncanakan meski dalam waktu singkat.

Dugaan itu disampaikan Sutiyoso dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, kemarin(6/4). Sebagai orang yang lama mengabdi di korps baret merah, Sutiyoso mengaku memahami keputusan balas dendam sejumlah oknum kopassus kepada empat tahanan di Lapas tersebut.

Menurut dia, jiwa korsa atau esprit de corps ditanamkan begitu kuat di Kopassus. Semangat itu sangat penting bagi prajurit, karena berkaitan erat dengan loyalitas dalam hal bela Negara. “Kalau lalu jiwa corsa digunakan secara berlebihan seperti kasus Cebongan, itu salah. Tapi tetap harus ditumbuhkembangkan,” terang mantan Gubernur DKI Jakarta itu Usai memutuskan balas dendam, Bintara U tidak langsung terjun. Dia memilih mengajak beberapa rekannya ikut beraksi dan berbagi tugas. Misalnya untuk pengadaan senjata, tidak menutup kemungkinan mereka mengambilnya dari gudang.

Sutiyoso menuturkan, setiap malam, jika tidak ada latihan, senjata digudangkan dan untuk mengambilnya ada prosedur. Bisa saja prosedur dilanggar para pelaku. “Mungkin saja mereka bekerja sama dengan bintara penjaga gudang. Di gudang itu ada granat, senjata api, rompi,” terangnya.  Kemudian, untuk polemik seputar surat bon, Sutiyoso mengatakan bisa saja yang dibawa itu memang kertas berkop Polda Daerah Istimewa Jogjakarta. Mereka tidak mendapatkannya secara resmi, namun melalui kenalan sesama bintara di Polda DIJ.

Nyatanya, hingga kini belum ada bukti konkret apakah surat bon itu asli atau palsu.

Menurut Sutiyoso, dengan adanya peristiwa Cebongan, mestinya semua pihak mulai mengevaluasi diri. Bagi TNI, kontrol perwira atas anak buahnya harus ditingkatkan. Begitu juga polisi dan KemenkumHAM.

Sutiyoso tidak menampik jika hulu permasalahan antara TNI dan Polri tidak lepas dari TAP MPR Nomor 6 tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri. Sebelum pemisahan, TNI terutama AD memegang banyak peran strategis di pertahanan dan keamanan, bahkan politik. Setelah dipisah, fungsi TNI hanya sebatas pertahanan.

Perubahan fungsi menimbulkan tekanan psikologis terhadap TNI AD. Sebagai alat pertahanan, TNI baru akan berfungsi jika diserang.

Tapi, di era reformasi tidak pernah ada serangan yang membahayakan kedaulatan negara. “Akhirnya mereka (TNI) menjadi pengangguran tingkat tinggi,” lanjut pria 68 tahun itu.

TNI AD memiliki unit 81 untuk mengantisipasi aksi terorisme. Namun, fungsinya digantikan Densus 88 Antiteror Mabes Polri yang lahir belakangan. Dalam menghadapi separatis di hutan belantara pun, Polri yang pegang kendali. Padahal, gaya separatis itu adalah gaya perang.

TNI AD, terlebih Kopassus, sudah sangat terlatih untuk menghadapi teroris maupun separatis. Mereka bahkan sampai dikirim berlatih di negara maju demi meningkatkan kemampuan. Namun, hasil latihan keras tersebut tidak pernah teraplikasikan karena yang turun menghadapi separatis tetap saja Polri.

Karenanya, dia menyarankan sebagian fungsi keamanan dikembalikan lagi ke TNI AD. Misalnya memberantas teroris dan separatis. (byu/dyn/jpnn)

JAKARTA- TNI AD boleh saja menyebut serangan ke Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman, tidak direncanakan. Namun, pernyataan yang bertolak belakang justru muncul dari mantan Danjen Kopassus Letjen (Pur) Sutiyoso. Dia menyebut jika serangan tersebut sangat mungkin direncanakan meski dalam waktu singkat.

Dugaan itu disampaikan Sutiyoso dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, kemarin(6/4). Sebagai orang yang lama mengabdi di korps baret merah, Sutiyoso mengaku memahami keputusan balas dendam sejumlah oknum kopassus kepada empat tahanan di Lapas tersebut.

Menurut dia, jiwa korsa atau esprit de corps ditanamkan begitu kuat di Kopassus. Semangat itu sangat penting bagi prajurit, karena berkaitan erat dengan loyalitas dalam hal bela Negara. “Kalau lalu jiwa corsa digunakan secara berlebihan seperti kasus Cebongan, itu salah. Tapi tetap harus ditumbuhkembangkan,” terang mantan Gubernur DKI Jakarta itu Usai memutuskan balas dendam, Bintara U tidak langsung terjun. Dia memilih mengajak beberapa rekannya ikut beraksi dan berbagi tugas. Misalnya untuk pengadaan senjata, tidak menutup kemungkinan mereka mengambilnya dari gudang.

Sutiyoso menuturkan, setiap malam, jika tidak ada latihan, senjata digudangkan dan untuk mengambilnya ada prosedur. Bisa saja prosedur dilanggar para pelaku. “Mungkin saja mereka bekerja sama dengan bintara penjaga gudang. Di gudang itu ada granat, senjata api, rompi,” terangnya.  Kemudian, untuk polemik seputar surat bon, Sutiyoso mengatakan bisa saja yang dibawa itu memang kertas berkop Polda Daerah Istimewa Jogjakarta. Mereka tidak mendapatkannya secara resmi, namun melalui kenalan sesama bintara di Polda DIJ.

Nyatanya, hingga kini belum ada bukti konkret apakah surat bon itu asli atau palsu.

Menurut Sutiyoso, dengan adanya peristiwa Cebongan, mestinya semua pihak mulai mengevaluasi diri. Bagi TNI, kontrol perwira atas anak buahnya harus ditingkatkan. Begitu juga polisi dan KemenkumHAM.

Sutiyoso tidak menampik jika hulu permasalahan antara TNI dan Polri tidak lepas dari TAP MPR Nomor 6 tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri. Sebelum pemisahan, TNI terutama AD memegang banyak peran strategis di pertahanan dan keamanan, bahkan politik. Setelah dipisah, fungsi TNI hanya sebatas pertahanan.

Perubahan fungsi menimbulkan tekanan psikologis terhadap TNI AD. Sebagai alat pertahanan, TNI baru akan berfungsi jika diserang.

Tapi, di era reformasi tidak pernah ada serangan yang membahayakan kedaulatan negara. “Akhirnya mereka (TNI) menjadi pengangguran tingkat tinggi,” lanjut pria 68 tahun itu.

TNI AD memiliki unit 81 untuk mengantisipasi aksi terorisme. Namun, fungsinya digantikan Densus 88 Antiteror Mabes Polri yang lahir belakangan. Dalam menghadapi separatis di hutan belantara pun, Polri yang pegang kendali. Padahal, gaya separatis itu adalah gaya perang.

TNI AD, terlebih Kopassus, sudah sangat terlatih untuk menghadapi teroris maupun separatis. Mereka bahkan sampai dikirim berlatih di negara maju demi meningkatkan kemampuan. Namun, hasil latihan keras tersebut tidak pernah teraplikasikan karena yang turun menghadapi separatis tetap saja Polri.

Karenanya, dia menyarankan sebagian fungsi keamanan dikembalikan lagi ke TNI AD. Misalnya memberantas teroris dan separatis. (byu/dyn/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/