25 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Buron yang Menghasilkan Panja

Telah lahir: Panja Ketenagakerjaan BUMN di Komisi IX DPR RI. Itulah kesimpulan rapat kerja Komisi IX DPR dengan menteri tenaga kerja dan transmigrasi serta menteri BUMN tanggal 10 April lalu.

Saya senang dengan lahirnya panja itu. Dengan panja, pembahasan masalah ketenagakerjaan di BUMN akan sangat mendalam. Panja tentu akan mendengarkan banyak pihak yang pantas didengar: tokoh-tokoh serikat pekerja, manajemen BUMN yang rugi, BUMN kecil, BUMN besar, BUMN yang mempraktikkan sistem ketenagakerjaan yang baik dan yang kurang baik, serta banyak pihak lagi.

DPR, khususnya komisi IX, tentu lembaga yang sangat kritis yang bisa menyerap berbagai realitas di lapangan. Baik realitas tenaga kerja yang harus kian sejahtera maupun realitas perusahaan yang harus dijaga pertumbuhan dan sustainability-nya.

Saya sendiri menyesal sempat terlalu lama jadi “buron” komisi IX. Ternyata komisi itu sangat dinamis. Anggota-anggotanya mengesankan. Banyak dokternya (saya lupa bahwa komisi IX adalah komisi yang juga mengurus kesehatan), intelektualnya, dan begitu banyak wanitanya: cantik-cantik dan cerdas-cerdas.

Ada Wakil Ketua Nova Riyanti Yusuf yang dokter ahli kesehatan jiwa, ada Karolin Margret Natasa yang juga dokter, ada Chusnunia Chalim yang ustadah, dan banyak lagi. Dan jangan lupa ketuanya sendiri: Ribka Tjiptaning yang juga dokter. Bahkan, ada dokter Dinajani Mahdi yang bergelar profesor, doktor, dan enam gelar mentereng lain.

Tentu saya tahu apa yang harus dibahas hari itu: outsourcing atau alih daya. Ketika saya menjadi Dirut PLN, saya kaget: begitu banyak karyawan outsourcing-nya. Ke mana-mana, ke seluruh Indonesia, saya bertemu dan bergaul dengan mereka.

Saya tahu apa yang mereka alami: Gaji jauh lebih kecil (jika dibandingkan dengan karyawan tetap), tidak jelas berapa lama akan bekerja di situ (karena bisa saja tahun berikutnya kontraknya tidak diperpanjang), dan yang paling utama mereka merasa diperlakukan tidak adil: Mereka merasa bekerja lebih keras daripada karyawan tetap, tapi gajinya jauh lebih kecil.

Tahun pertama di PLN, saya sudah langsung bisa merumuskan tiga hal strategis itu. Saya merencanakan untuk dicarikan jalan keluar di tahun ketiga masa jabatan saya. Tahun pertama, saya harus memprioritaskan program mengatasi krisis listrik di seluruh Indonesia.

Tahun kedua, saya harus mengatasi daftar tunggu yang jumlahnya jutaan. Sampai-sampai harus dua kali melakukan program “sehari satu juta sambungan”. Itu sekaligus mengatasi problem percaloan yang sudah mendarah-mendaging. Tahun ketiga, rencana saya, menyelesaikan outsourcing dan melahirkan mobil listrik.

Tidak disangka-sangka saya harus meninggalkan PLN sebelum genap dua tahun menjabat Dirut. Saya harus menjadi menteri meski sudah berusaha untuk bisa tetap di PLN setahun lagi.

Waktu itu saya ingin ada perbaikan sistem tender untuk perusahaan alih daya. Jangan mempertandingkan harga murah, tapi kualitas pekerjaan. Bahkan, gaji minimal sudah harus dipersyaratkan dalam dokumen tender.

Saya juga selalu mengajak karyawan tetap untuk bekerja lebih keras. “Jangan sampai teman-teman outsourcing mengatakan karyawan tetap itu gajinya besar, tapi tidak mau kerja keras,” kata saya.

Kini dengan dibentuknya Panja Ketenagakerjaan BUMN oleh komisi IX, soal-soal itu akan bisa didalami lebih komprehensif. Sistem ketenagakerjaan di BUMN memang tidak seragam. Bergantung tiap-tiap BUMN. Apalagi, BUMN itu memang aneka ria: Bidang usahanya sangat luas. Industri bajanya tidak bisa disamakan dengan industri perbankan, penerbangan, perkebunan, dan seterusnya. Masing-masing mempunyai karakteristiknya sendiri.
Sambil menunggu hasil Panja Ketenagakerjaan Komisi IX DPR, semua BUMN harus menyiapkan perubahan-perubahan yang mungkin harus terjadi. Tentu tidak tahun ini. Sebab, sistem anggarannya sudah tidak memungkinkan untuk direvisi. Lebih baik dan lebih siap kalau disiapkan untuk dimulai tahun depan.

Semua persoalan, semua pengalaman, dan semua pemikiran harus disiapkan untuk kelancaran kerja panja komisi IX. Inilah tahun kerja keras para direktur SDM di tiap-tiap BUMN. Kalau perlu, kurangi sedikit fasilitas direksi untuk yang satu ini.

Tapi, saya juga bisa membayangkan sulitnya BUMN-BUMN kecil yang masih serbasulit. Jangankan memikirkan itu, karyawan tetapnya sendiri saja masih jauh dari sejahtera. Bahkan, ada BUMN yang baru tahun lalu bisa membayar karyawan tetapnya dengan gaji tetap.
Itulah realitas perusahaan: Yang besar sulit dengan kebesarannya, yang kecil sulit dengan kekecilannya, dan yang sulit kian sulit dengan kesulitannya.  Paling enak adalah orang yang bisa menikmati segala kesulitan itu. (*)

Telah lahir: Panja Ketenagakerjaan BUMN di Komisi IX DPR RI. Itulah kesimpulan rapat kerja Komisi IX DPR dengan menteri tenaga kerja dan transmigrasi serta menteri BUMN tanggal 10 April lalu.

Saya senang dengan lahirnya panja itu. Dengan panja, pembahasan masalah ketenagakerjaan di BUMN akan sangat mendalam. Panja tentu akan mendengarkan banyak pihak yang pantas didengar: tokoh-tokoh serikat pekerja, manajemen BUMN yang rugi, BUMN kecil, BUMN besar, BUMN yang mempraktikkan sistem ketenagakerjaan yang baik dan yang kurang baik, serta banyak pihak lagi.

DPR, khususnya komisi IX, tentu lembaga yang sangat kritis yang bisa menyerap berbagai realitas di lapangan. Baik realitas tenaga kerja yang harus kian sejahtera maupun realitas perusahaan yang harus dijaga pertumbuhan dan sustainability-nya.

Saya sendiri menyesal sempat terlalu lama jadi “buron” komisi IX. Ternyata komisi itu sangat dinamis. Anggota-anggotanya mengesankan. Banyak dokternya (saya lupa bahwa komisi IX adalah komisi yang juga mengurus kesehatan), intelektualnya, dan begitu banyak wanitanya: cantik-cantik dan cerdas-cerdas.

Ada Wakil Ketua Nova Riyanti Yusuf yang dokter ahli kesehatan jiwa, ada Karolin Margret Natasa yang juga dokter, ada Chusnunia Chalim yang ustadah, dan banyak lagi. Dan jangan lupa ketuanya sendiri: Ribka Tjiptaning yang juga dokter. Bahkan, ada dokter Dinajani Mahdi yang bergelar profesor, doktor, dan enam gelar mentereng lain.

Tentu saya tahu apa yang harus dibahas hari itu: outsourcing atau alih daya. Ketika saya menjadi Dirut PLN, saya kaget: begitu banyak karyawan outsourcing-nya. Ke mana-mana, ke seluruh Indonesia, saya bertemu dan bergaul dengan mereka.

Saya tahu apa yang mereka alami: Gaji jauh lebih kecil (jika dibandingkan dengan karyawan tetap), tidak jelas berapa lama akan bekerja di situ (karena bisa saja tahun berikutnya kontraknya tidak diperpanjang), dan yang paling utama mereka merasa diperlakukan tidak adil: Mereka merasa bekerja lebih keras daripada karyawan tetap, tapi gajinya jauh lebih kecil.

Tahun pertama di PLN, saya sudah langsung bisa merumuskan tiga hal strategis itu. Saya merencanakan untuk dicarikan jalan keluar di tahun ketiga masa jabatan saya. Tahun pertama, saya harus memprioritaskan program mengatasi krisis listrik di seluruh Indonesia.

Tahun kedua, saya harus mengatasi daftar tunggu yang jumlahnya jutaan. Sampai-sampai harus dua kali melakukan program “sehari satu juta sambungan”. Itu sekaligus mengatasi problem percaloan yang sudah mendarah-mendaging. Tahun ketiga, rencana saya, menyelesaikan outsourcing dan melahirkan mobil listrik.

Tidak disangka-sangka saya harus meninggalkan PLN sebelum genap dua tahun menjabat Dirut. Saya harus menjadi menteri meski sudah berusaha untuk bisa tetap di PLN setahun lagi.

Waktu itu saya ingin ada perbaikan sistem tender untuk perusahaan alih daya. Jangan mempertandingkan harga murah, tapi kualitas pekerjaan. Bahkan, gaji minimal sudah harus dipersyaratkan dalam dokumen tender.

Saya juga selalu mengajak karyawan tetap untuk bekerja lebih keras. “Jangan sampai teman-teman outsourcing mengatakan karyawan tetap itu gajinya besar, tapi tidak mau kerja keras,” kata saya.

Kini dengan dibentuknya Panja Ketenagakerjaan BUMN oleh komisi IX, soal-soal itu akan bisa didalami lebih komprehensif. Sistem ketenagakerjaan di BUMN memang tidak seragam. Bergantung tiap-tiap BUMN. Apalagi, BUMN itu memang aneka ria: Bidang usahanya sangat luas. Industri bajanya tidak bisa disamakan dengan industri perbankan, penerbangan, perkebunan, dan seterusnya. Masing-masing mempunyai karakteristiknya sendiri.
Sambil menunggu hasil Panja Ketenagakerjaan Komisi IX DPR, semua BUMN harus menyiapkan perubahan-perubahan yang mungkin harus terjadi. Tentu tidak tahun ini. Sebab, sistem anggarannya sudah tidak memungkinkan untuk direvisi. Lebih baik dan lebih siap kalau disiapkan untuk dimulai tahun depan.

Semua persoalan, semua pengalaman, dan semua pemikiran harus disiapkan untuk kelancaran kerja panja komisi IX. Inilah tahun kerja keras para direktur SDM di tiap-tiap BUMN. Kalau perlu, kurangi sedikit fasilitas direksi untuk yang satu ini.

Tapi, saya juga bisa membayangkan sulitnya BUMN-BUMN kecil yang masih serbasulit. Jangankan memikirkan itu, karyawan tetapnya sendiri saja masih jauh dari sejahtera. Bahkan, ada BUMN yang baru tahun lalu bisa membayar karyawan tetapnya dengan gaji tetap.
Itulah realitas perusahaan: Yang besar sulit dengan kebesarannya, yang kecil sulit dengan kekecilannya, dan yang sulit kian sulit dengan kesulitannya.  Paling enak adalah orang yang bisa menikmati segala kesulitan itu. (*)

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/