25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Tangisi Kamera Bersejarah Tergeletak Tak Terawat

Ketika itu usianya baru 17 tahun. Namun, Inen Rusnan merupakan salah seorang saksi sejarah yang mengabadikan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 18-24 April 1955 di Bandung. Dalam peringatan ke-58 tahun ini, Kemenlu menyematkan penghargaan kepada Inen sebagai fotografer termuda pada peristiwa bersejarah tersebut.

NORA SAMPURNA, Jakarta

FOTOGRAFER: Inen Rusnan, fotografer Konfrensi Asia Afrika saat ditemui belum lama ini.// Nora Sampurna/JAWA POS /jpnn
FOTOGRAFER: Inen Rusnan, fotografer Konfrensi Asia Afrika saat ditemui belum lama ini.// Nora Sampurna/JAWA POS /jpnn

Puluhan foto terpajang rapi di dinding ruang tamu kediamannya di gang sempit kawasan Hegar Asih, Cipaganti, Bandung. Tanpa pemiliknya banyak bercerita, foto-foto itu sudah mampu berkisah tentang sejarah kehidupan seorang Inen Rusnan sebagai fotografer. Ada foto Gedung Merdeka yang menjadi lokasi Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955, foto Bung Karno saat acara kenegaraan, Jenderal AH Nasution, serta tokoh-tokoh nasional lainnya.
Yang paling membekas adalah peristiwa KAA 1955. Pertemuan tersebut mempunyai makna penting dalam percaturan geopolitik kala itu. Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia, ketika itu mengirimkan wakilnya. Inen, yang saat itu bekerja di James Photo, menjadi salah seorang fotografer yang mengabadikan momen tersebut.

Di usianya yang relatif muda Inen cukup beruntung bisa mengabadikan pertemuan yang dihadiri tokoh-tokoh negara dunia ketiga yang cukup diperhitungkan di masa itu. Sebut saja Perdana Menteri (PM) India Jawaharlal Nehru, PM Sri Lanka John Kotelawala, PM Pakistan Muhammad Ali Bogra, dan PM Myanmar U Nu.

Sambil duduk santai di ruang tamu rumahnya, Rabu (24/4) lalu, Inen kembali mengenang perjalanan hidup yang turut mengantarkannya menjadi fotografer. Dia lahir di Sumedang, Jawa Barat, 28 Agustus 1937. Pada 1946, dengan berjalan kaki dia menuju Bandung. Di sana Inen kecil ingin bersekolah. Namun, orangtuanya tidak mampu membiayai. “Pilihannya waktu itu, kalau mau sekolah, mencari orangtua angkat yang bersedia membiayai,” kata anak ketiga dari tujuh bersaudara tersebut.

Ada seorang paman yang menjadi guru di Batu Loceng, sebuah kampung di Lembang, Jawa Barat. Lokasinya jauh dari tempat tinggal Inen. Untuk sampai ke sekolah, dia harus menempuh perjalanan enam jam. Kemudian, Inen mendapatkan orangtua asuh, yakni keluarga asal Belanda yang baik hati. Inen disekolahkan hingga kelas 2 SMP. Ketika Ny Tanti, orangtua angkat Inen meninggal dunia, keluarga tersebut kembali ke Belanda.

Keinginan Inen untuk mencari ilmu tidak berhenti sampai di situ. Suatu hari pada 1954, seorang tetangga bernama James meminta tolong kepada Inen untuk mengambilkan air. James yang keturunan Pakistan itu memiliki usaha pemotretan. “Dari dimintai tolong mengambilkan air, saya lantas diminta membantu mencuci film. Dari beliau saya belajar fotografi,” cerita Inen yang kini sudah mempunyai 17 cucu itu.

Berbekal ketekunannya bekerja, Inen dipercaya James untuk mendampingi dalam pemotretan suatu even. James juga menjadikan Inen sebagai anak angkat. Bahkan, James pula yang menikahkan Inen dengan sang istri, Dedeh Kurniasih, pada 5 Oktober 1964.

Karakter Inen yang ramah dan lincah membuat karirnya terus menanjak hingga ditugasi mengabadikan peristiwa KAA. “Prinsip saya, sekali diperintah, laksanakan. Jangan sampai dua kali diperintah,” ucapnya.

Inen masih ingat, ketika kecil, dirinya bercita-cita menjadi pengawal Bung Karno. Cita-cita Inen memang tidak kesampaian. Namun, dia cukup berbangga mendapat kesempatan berdekatan dengan orang nomor satu di Indonesia ketika itu, dan juga banyak tokoh lainnya.

Saat memotret KAA, Inen menggunakan kamera Leica F3. Itu adalah kamera yang dia gunakan sejak 1954 hingga 1966. Ketika memotret sebuah acara, Inen setidaknya membawa 10 hingga 20 rol film. Jumlah yang cukup banyak untuk seorang fotografer profesional ketika itu.

Bagi Inen, memotret even besar yang dihadiri tokoh-tokoh kenegaraan tidak membuatnya gugup. Namun, dia merasa tidak tenang jika hanya membawa sedikit rol film. “Saya lebih tegang kalau rol film nggak cukup,” ucapnya.

Apalagi untuk momen besar seperti KAA, yang semua wakil negara peserta KAA harus diambil gambarnya. “Foto-foto itu juga dibawa pulang peserta ke negara masing-masing. Bangga rasanya,” tutur Inen latnas tersenyum, mengenang peristiwa bersejarah itu. Selain KAA 1955, Inen memotret peristiwa penting lain. Misalnya, sidang MPRS pertama, kedua, dan ketiga.

Pada 1966 Inen membeli kamera sendiri. Kamera pertama disimpan oleh keluarga James. “Kamera yang saya beli sama persis dengan kamera pertama,” kata Inen.

Suatu hari pada 2003, tepatnya 20 Juni, Inen dan keluarga tertimpa musibah. Rumah-rumah petak yang bangunannya menempel di kediaman Inen terbakar. Ruang di lantai atas tempat menyimpan dokumen foto dan kamera, ikut dilalap api. Inen dan sang istri buru-buru menyelamatkan hartanya tersebut.

“Saya hanya bisa mengambil kamera Bapak yang sudah terbakar, serta klise pelantikan Pak Danny yang masih utuh,” ucap Dedeh, istri Inen, yang mendampingi sang suami selama berbincang dengan Jawa Pos (grup Sumut Pos). Danny yang dimaksud adalah Danny Setiawan, gubernur Jawa Barat periode 2003-2008. Beberapa hari sebelum kebakaran terjadi, Inen mendapat tugas memotret pelantikan tersebut. Akibat musibah itu, Inen kehilangan banyak dokumen foto. Masih beruntung, klise dan foto KAA disimpan di ruang tamu yang terletak di bagian depan rumah sehingga tidak ikut terbakar.
Mendapati kamera kesayangannya terbakar, Inen begitu terpukul. Hingga kini dia masih menyimpan rangka kamera tersebut. Juga kartu pers yang dia kumpulkan setiap bertugas. Peristiwa kedua yang membuatnya terpukul, bahkan lebih parah, adalah pada 2005. Ketika itu Inen mulai dikenali sebagai salah seorang pelaku sejarah dalam KAA. Sebelumnya, dia tidak bercerita secara luas.

Menjelang peringatan ke-50 KAA pada tahun tersebut, Inen lantas berusaha mencari lagi kamera bersejarah yang dia gunakan untuk memotret KAA 1955. Setelah James wafat pada 1970, kamera tersebut disimpan oleh anak-anaknya. Ketika istri Inen mencari di rumah keluarga tersebut, dia mendapati kamera itu tergeletak di dapur di dekat gentong air. Kondisinya tak terawat. Berdebu, lecet di beberapa bagian. “Sedih melihatnya. Mungkin orang lain tidak tahu betapa berharga kamera itu yang sudah seperti darah daging Bapak. Kamera itu saya bawa pulang dan dibersihkan oleh Bapak sambil menangis,” cerita Dedeh. Dia pun tak kuasa menahan air mata saat mengisahkan kejadian itu. Inen yang duduk di dekatnya tampak berkaca-kaca.
Kamera bersejarah tersebut akhirnya diserahkan ke Museum Asia Afrika untuk disimpan. Selain kamera, enlarger atau alat pencetak foto yang dia gunakan juga disimpan di sana. “Sekarang sudah lega, kamera itu sudah diletakkan di tempat yang layak,” ungkap Inen. “Kalau kangen, saya tinggal datang ke sana, melihatnya. Setelah itu pulang,” lanjut ayah enam anak tersebut.

Inen begitu mencintai profesinya sebagai fotografer. Dia pernah bekerja sama dengan beberapa media. Misalnya, Pikiran Rakyat, Bandung Post, Mandala, serta Harian Karya. Meski usianya tak lagi muda, dia masih aktif memotret di berbagai even. Antara lain, Hari Juang Siliwangi dan Hari TNI. “Selama foto saya dianggap layak, saya akan terus memotret. Saya bilang ke teman-teman, kalau memang sudah tidak layak, katakan, saya akan berhenti (memotret),” kata Inen yang hingga kini masih setia menggunakan kamera film. Dia pernah mencoba kamera digital, namun hatinya tetap lebih sreg dengan kamera film.

Pria yang ke mana-mana naik angkot dan berjalan kaki itu mempunyai prinsip dan etika yang terus dia pegang. Menjadi fotografer memiliki kebebasan dalam meliput, namun harus tetap bertanggung jawab. “Kalau sudah dapat foto, cukup. Berikan tempat untuk fotografer lain. Sama-sama bertugas, jangan menghalangi fotografer lain,” ujarnya. Itulah yang membuat dia disegani di kalangan pewarta foto.

Penghargaan sebagai fotografer termuda yang diserahkan pada peringatan ke-58 KAA tahun ini diserahkan oleh Wamenlu Wardana di Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung, Jumat (19/4).

Bagi Inen pribadi, yang terpenting adalah penghargaan atas sejarah bangsa. Dia berharap generasi mendatang tidak melupakan sejarah bangsanya. Suatu hari nanti Inen ingin membuat pameran foto-foto karyanya yang berisi perjalanan sejarah tanah air. Dia menyampaikan keinginan tersebut saat dikunjungi Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda Selasa (23/4) lalu. Ayi meresponsnya dengan menyatakan siap memberikan dukungan. Rencananya, pameran foto karya Inen dilangsungkan pada hari jadi Kota Bandung, 25 September mendatang. (*)

Ketika itu usianya baru 17 tahun. Namun, Inen Rusnan merupakan salah seorang saksi sejarah yang mengabadikan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 18-24 April 1955 di Bandung. Dalam peringatan ke-58 tahun ini, Kemenlu menyematkan penghargaan kepada Inen sebagai fotografer termuda pada peristiwa bersejarah tersebut.

NORA SAMPURNA, Jakarta

FOTOGRAFER: Inen Rusnan, fotografer Konfrensi Asia Afrika saat ditemui belum lama ini.// Nora Sampurna/JAWA POS /jpnn
FOTOGRAFER: Inen Rusnan, fotografer Konfrensi Asia Afrika saat ditemui belum lama ini.// Nora Sampurna/JAWA POS /jpnn

Puluhan foto terpajang rapi di dinding ruang tamu kediamannya di gang sempit kawasan Hegar Asih, Cipaganti, Bandung. Tanpa pemiliknya banyak bercerita, foto-foto itu sudah mampu berkisah tentang sejarah kehidupan seorang Inen Rusnan sebagai fotografer. Ada foto Gedung Merdeka yang menjadi lokasi Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955, foto Bung Karno saat acara kenegaraan, Jenderal AH Nasution, serta tokoh-tokoh nasional lainnya.
Yang paling membekas adalah peristiwa KAA 1955. Pertemuan tersebut mempunyai makna penting dalam percaturan geopolitik kala itu. Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia, ketika itu mengirimkan wakilnya. Inen, yang saat itu bekerja di James Photo, menjadi salah seorang fotografer yang mengabadikan momen tersebut.

Di usianya yang relatif muda Inen cukup beruntung bisa mengabadikan pertemuan yang dihadiri tokoh-tokoh negara dunia ketiga yang cukup diperhitungkan di masa itu. Sebut saja Perdana Menteri (PM) India Jawaharlal Nehru, PM Sri Lanka John Kotelawala, PM Pakistan Muhammad Ali Bogra, dan PM Myanmar U Nu.

Sambil duduk santai di ruang tamu rumahnya, Rabu (24/4) lalu, Inen kembali mengenang perjalanan hidup yang turut mengantarkannya menjadi fotografer. Dia lahir di Sumedang, Jawa Barat, 28 Agustus 1937. Pada 1946, dengan berjalan kaki dia menuju Bandung. Di sana Inen kecil ingin bersekolah. Namun, orangtuanya tidak mampu membiayai. “Pilihannya waktu itu, kalau mau sekolah, mencari orangtua angkat yang bersedia membiayai,” kata anak ketiga dari tujuh bersaudara tersebut.

Ada seorang paman yang menjadi guru di Batu Loceng, sebuah kampung di Lembang, Jawa Barat. Lokasinya jauh dari tempat tinggal Inen. Untuk sampai ke sekolah, dia harus menempuh perjalanan enam jam. Kemudian, Inen mendapatkan orangtua asuh, yakni keluarga asal Belanda yang baik hati. Inen disekolahkan hingga kelas 2 SMP. Ketika Ny Tanti, orangtua angkat Inen meninggal dunia, keluarga tersebut kembali ke Belanda.

Keinginan Inen untuk mencari ilmu tidak berhenti sampai di situ. Suatu hari pada 1954, seorang tetangga bernama James meminta tolong kepada Inen untuk mengambilkan air. James yang keturunan Pakistan itu memiliki usaha pemotretan. “Dari dimintai tolong mengambilkan air, saya lantas diminta membantu mencuci film. Dari beliau saya belajar fotografi,” cerita Inen yang kini sudah mempunyai 17 cucu itu.

Berbekal ketekunannya bekerja, Inen dipercaya James untuk mendampingi dalam pemotretan suatu even. James juga menjadikan Inen sebagai anak angkat. Bahkan, James pula yang menikahkan Inen dengan sang istri, Dedeh Kurniasih, pada 5 Oktober 1964.

Karakter Inen yang ramah dan lincah membuat karirnya terus menanjak hingga ditugasi mengabadikan peristiwa KAA. “Prinsip saya, sekali diperintah, laksanakan. Jangan sampai dua kali diperintah,” ucapnya.

Inen masih ingat, ketika kecil, dirinya bercita-cita menjadi pengawal Bung Karno. Cita-cita Inen memang tidak kesampaian. Namun, dia cukup berbangga mendapat kesempatan berdekatan dengan orang nomor satu di Indonesia ketika itu, dan juga banyak tokoh lainnya.

Saat memotret KAA, Inen menggunakan kamera Leica F3. Itu adalah kamera yang dia gunakan sejak 1954 hingga 1966. Ketika memotret sebuah acara, Inen setidaknya membawa 10 hingga 20 rol film. Jumlah yang cukup banyak untuk seorang fotografer profesional ketika itu.

Bagi Inen, memotret even besar yang dihadiri tokoh-tokoh kenegaraan tidak membuatnya gugup. Namun, dia merasa tidak tenang jika hanya membawa sedikit rol film. “Saya lebih tegang kalau rol film nggak cukup,” ucapnya.

Apalagi untuk momen besar seperti KAA, yang semua wakil negara peserta KAA harus diambil gambarnya. “Foto-foto itu juga dibawa pulang peserta ke negara masing-masing. Bangga rasanya,” tutur Inen latnas tersenyum, mengenang peristiwa bersejarah itu. Selain KAA 1955, Inen memotret peristiwa penting lain. Misalnya, sidang MPRS pertama, kedua, dan ketiga.

Pada 1966 Inen membeli kamera sendiri. Kamera pertama disimpan oleh keluarga James. “Kamera yang saya beli sama persis dengan kamera pertama,” kata Inen.

Suatu hari pada 2003, tepatnya 20 Juni, Inen dan keluarga tertimpa musibah. Rumah-rumah petak yang bangunannya menempel di kediaman Inen terbakar. Ruang di lantai atas tempat menyimpan dokumen foto dan kamera, ikut dilalap api. Inen dan sang istri buru-buru menyelamatkan hartanya tersebut.

“Saya hanya bisa mengambil kamera Bapak yang sudah terbakar, serta klise pelantikan Pak Danny yang masih utuh,” ucap Dedeh, istri Inen, yang mendampingi sang suami selama berbincang dengan Jawa Pos (grup Sumut Pos). Danny yang dimaksud adalah Danny Setiawan, gubernur Jawa Barat periode 2003-2008. Beberapa hari sebelum kebakaran terjadi, Inen mendapat tugas memotret pelantikan tersebut. Akibat musibah itu, Inen kehilangan banyak dokumen foto. Masih beruntung, klise dan foto KAA disimpan di ruang tamu yang terletak di bagian depan rumah sehingga tidak ikut terbakar.
Mendapati kamera kesayangannya terbakar, Inen begitu terpukul. Hingga kini dia masih menyimpan rangka kamera tersebut. Juga kartu pers yang dia kumpulkan setiap bertugas. Peristiwa kedua yang membuatnya terpukul, bahkan lebih parah, adalah pada 2005. Ketika itu Inen mulai dikenali sebagai salah seorang pelaku sejarah dalam KAA. Sebelumnya, dia tidak bercerita secara luas.

Menjelang peringatan ke-50 KAA pada tahun tersebut, Inen lantas berusaha mencari lagi kamera bersejarah yang dia gunakan untuk memotret KAA 1955. Setelah James wafat pada 1970, kamera tersebut disimpan oleh anak-anaknya. Ketika istri Inen mencari di rumah keluarga tersebut, dia mendapati kamera itu tergeletak di dapur di dekat gentong air. Kondisinya tak terawat. Berdebu, lecet di beberapa bagian. “Sedih melihatnya. Mungkin orang lain tidak tahu betapa berharga kamera itu yang sudah seperti darah daging Bapak. Kamera itu saya bawa pulang dan dibersihkan oleh Bapak sambil menangis,” cerita Dedeh. Dia pun tak kuasa menahan air mata saat mengisahkan kejadian itu. Inen yang duduk di dekatnya tampak berkaca-kaca.
Kamera bersejarah tersebut akhirnya diserahkan ke Museum Asia Afrika untuk disimpan. Selain kamera, enlarger atau alat pencetak foto yang dia gunakan juga disimpan di sana. “Sekarang sudah lega, kamera itu sudah diletakkan di tempat yang layak,” ungkap Inen. “Kalau kangen, saya tinggal datang ke sana, melihatnya. Setelah itu pulang,” lanjut ayah enam anak tersebut.

Inen begitu mencintai profesinya sebagai fotografer. Dia pernah bekerja sama dengan beberapa media. Misalnya, Pikiran Rakyat, Bandung Post, Mandala, serta Harian Karya. Meski usianya tak lagi muda, dia masih aktif memotret di berbagai even. Antara lain, Hari Juang Siliwangi dan Hari TNI. “Selama foto saya dianggap layak, saya akan terus memotret. Saya bilang ke teman-teman, kalau memang sudah tidak layak, katakan, saya akan berhenti (memotret),” kata Inen yang hingga kini masih setia menggunakan kamera film. Dia pernah mencoba kamera digital, namun hatinya tetap lebih sreg dengan kamera film.

Pria yang ke mana-mana naik angkot dan berjalan kaki itu mempunyai prinsip dan etika yang terus dia pegang. Menjadi fotografer memiliki kebebasan dalam meliput, namun harus tetap bertanggung jawab. “Kalau sudah dapat foto, cukup. Berikan tempat untuk fotografer lain. Sama-sama bertugas, jangan menghalangi fotografer lain,” ujarnya. Itulah yang membuat dia disegani di kalangan pewarta foto.

Penghargaan sebagai fotografer termuda yang diserahkan pada peringatan ke-58 KAA tahun ini diserahkan oleh Wamenlu Wardana di Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung, Jumat (19/4).

Bagi Inen pribadi, yang terpenting adalah penghargaan atas sejarah bangsa. Dia berharap generasi mendatang tidak melupakan sejarah bangsanya. Suatu hari nanti Inen ingin membuat pameran foto-foto karyanya yang berisi perjalanan sejarah tanah air. Dia menyampaikan keinginan tersebut saat dikunjungi Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda Selasa (23/4) lalu. Ayi meresponsnya dengan menyatakan siap memberikan dukungan. Rencananya, pameran foto karya Inen dilangsungkan pada hari jadi Kota Bandung, 25 September mendatang. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/