25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Simalakama Polisi

Tembak mati terhadap dua tersangka pengedar narkoba di Medan menuai banyak tanggapan. Polisi dianggap sengaja menghilangkan nyawa, melanggar HAM, tidak profesional, hingga tidak bedanya dengan preman. Sementara polisi tetap bertahan dengan prinsip menjalankan tugas. Kenyataan ini jelas membuat polisi bak makan buah simalakama.

DIJAGA: Tiga tersangka narkoba dijaga sejumlah polisi saat pemaparan sejumlah barang bukti Narkoba oleh Bareskrim Mabes Polri  Grand Aston City Hall Medan Hotel, Rabu (24/4) lalu. Jalan Balai Kota Medan, Rabu (24/4). //AMINOER RASYID/SUMUT POS
DIJAGA: Tiga tersangka narkoba dijaga sejumlah polisi saat pemaparan sejumlah barang bukti Narkoba oleh Bareskrim Mabes Polri di Grand Aston City Hall Medan Hotel, Rabu (24/4) lalu.
Jalan Balai Kota Medan, Rabu (24/4). //AMINOER RASYID/SUMUT POS

Adalah Ramadhan P Kesuma (26) dan Selly Satria Aprianto alias Kiki (26), tersangka yang ditembak mati di Grand Aston City Hall Medan Hotel dan di Perumahan Bukit Hijau Reqency, Kecamatan Sunggal. Kepala Divisi Advokasi, HAM dan Tipikor LBH Medan, Irwandi Lubis menduga petugas Direktorat IV Bareskrim Mabes Polri di Medan sengaja menghabisi kedua tersangka dengan menembak dari jarak dekat.

“Kita menduga, ada unsur kesengajaan dalam kejadian ini. Karena kami menemukan banyak keganjilan tewasnya mereka berdua. Di mana keduanya sengaja ditembak dari jarak dekat. Luka tembakannya juga dalam. Kita inginkan agar dilakukan otopsi ulang terhadap dua jenazah. Kita menduga kepolisian sengaja untuk menghilangkan nyawa korban,” ujar Irwandi, Senin (29/4).

Menurut Irwandi, pihaknya telah mengumpulkan bukti-bukti diantaranya pada tubuh Kiki terdapat tujuh luka tembakan dan Ramadhan terdapat empat luka tembakan. Berdasarkan video rekaman peristiwa itu, mereka juga menemukan bahwa pada saat korban diringkus tidak melakukan perlawanan. Meski tangan korban diborgol, tapi polisi tetap melepaskan tembakan ke tubuh korban.

“Dari video yang kami dapat, posisi Ramadhan saat itu tangannya diborgol. Kalaupun si Ramadhan melawan dengan mnggunakan pisau, kenapa langsung ditembakan di tubuhnya. Kenapa bukan kakinya ditembak. Apalagi kita melihat dalam video itu Ramadhan tidak melakukan perlawanan. Korban tidak lari saat dilakukan penyergapan. Tangannya di borgol ke belakang. Tapi tiba-tiba kenapa meninggal sedangkan dia dalam pengawasan polisi begitu dekat. Ini logika awal. Kami sudah simpan videonya,” jelasnya.

“Kalaupun polisi menuduh para pelaku satu diantara nama Kiki memang sebagai pengedar narkotika, tidak ada justifikasi yang membolehkan polisi bertindak membunuh karena ini kejahatan HAM dan serius oleh aparat negara. Kami melihat, tim dari Mabes Polri bertindak sesat dan diluar prosedur hukum dan untuk itu LBH Medan, meyakinkan diri dan mengonsistenkan diri untuk menuntaskan dan mengadvokasi kasus ini secara serius,” tambahnya.
Herdensi, koordinator kontras Sumut, punya pandangan lain. Menurutnya, penembakan pada Ramadhan dan Kiki menunjukkan polisi tak beda dengan preman. “Ada indikasi kepolisian tersebut menggunakan senjata api dengan secara tidak terorganisir. Jadi, kalau polisi itu bekerja tidak terorganisir sekali lagi ia sama juga dengan preman,” ucapnya di sekretaris Kontras Sumut, akhir pekan lalu. “Maksudnya terorganisir ketika polisi bekerja maka dia harus profesional,” tambahnya.

Tak kalah pedas, kritikan muncul dari Kepala  Pusat Studi HAM Universitas Negeri Medan, Majda El Muhtaj. Tindakan polisi menurutnya sudah kelewatan. “ Kejadian ini berpotensi pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM) berat dan perbuatan polisi itu termasuk ekstrem” katanya.

Dia pun meminta Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Pol Sutarman harus mengklarifikasi tindakan yang sudah dilakukan Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Brigadir Jenderal Polisi Arman Depari, di Medan. Apalagi pemberitaan yang beredar saat ini. “Seberapa berat perlawanan terduga sampai harus ditembak mati, Apakah perlawanan dengan menggunakan benda tumpul harus ditembak mati?” tanya Muhtaj.
Ketua Pusham Unimed mengatakan sesuai prinsip hukum, sebelum putusan di pengadilan seseorang belum dikatakan bersalah walaupun sudah berstatus tersangka.

“Teroris sekalipun belum dinyatakan bersalah apabila belum mendapatkan putusan dari majelis hakim. Apalagi 2 orang yang ditembak mati polisi masih status terduga dan dari penjelasan mereka bisa didapat informasi tentang sindikat yang lebih besar,” lanjutnya.

Sesuai Pasal 4 UU No 2 tahun 2002 Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Dan diperkuat dengan Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 8 tahun 2009 Tentang Implementasi prinsip dan penyelenggaraan tugas kepolisian negara Republik Indonesia. “Dengan adanya aturan itu harusnya kepolisian lebih arif dalam melakukan pekerjaannya, apabila bersalah maka akuilah,” tegasnya.
Sebelumnya, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri, Kombes Pol Agus Rianto, menjelaskan operasi yang dilakukan di Medan merupakan pengembangan dari operasi penangkapan yang dilakukan Mabes Polri di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (18/4) lalu. Artinya, polisi tidak sembarangan bertindak.(*)

Kan Sudah Sesuai SOP …

Tembak mati yang dilakukan Direktorat IV Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri terhadap dua orang terduga gembong Narkoba jaringan Malaysia-Indonesian, Selasa (23/4) yang lalu sudah sesuai dengan standart Operasi Prosedur (SOP).

“Kan sudah dijelasi saat jumpa pers, kenapa polisi melakukan penembakan terhadap pelaku,” ungkap Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Raden Heru Prokoso saat dikonfirmasi Sumutpos, Senin (29/4) sore.

Heru menjelaskan dilakukan penembakkan karena pelaku diketahui bernama Ramadhan P Kesumasaat dibekuk di Hotel Grand Aston nomor 1218 mencoba melawan petugas dengan senjata tajam (sajam). Sedangkan pelaku yang lain bernama Selly Satria Aprianto alias Kiki ditembak petugas hingga mati karena melarikan diri dari sergapan petugas.

“Karena melawan petugas, dengan menusukkan pisau atau belati kearah anggota, begitu juga pelaku satu lagi mencoba melarikan diri,”sebut perwira menyandang melati tiga di pundaknya ini.

Untuk dikehui, Direktorat IV Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Mabes Polri saat terjun ke kota terbesar nomor tiga di Indonesia, menurunkan sekitar 11 personil tergabung dalam tim khusus (Timsus) Mabes Polri, kemudian saat tiba di Medan, Tim ini pun melakukan kordinasi dengan Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut dan Satuan Reserse Narkoba Polresta Medan, kedua institusi Polri di Kota Medan ini, juga menerjunkan personil dan bergabung dengan tim dari Mabes Polri, jadi untuk membekuk kedua pelaku ini polisi berjumlah sekitar puluhan personil lengkap menggunakan senjata api (senpi).
Nah, dengan jumlah personel puluhan orang ini, muncul kecurigaan kalau polisi tak mampu mengatasi seorang terduga yang hanya menggunakan senpi. “Coba telepon Mabes Polri, tidak kapasitas kita,” elak Heru saat digelontorkan kecurigaan tadi.

Di sisi lain, Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, memastikan sesuai SOP yang ada, aparat kepolisian memang diperkenankan melepas tembakan ke seorang tersangka dalam sebuah operasi penangkapan.

Namun tidak bisa dilakukan secara sembarangan, apalagi hanya dengan alasan tersangka yang dimaksud melakukan perlawanan. Menurut pria yang juga Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) ini, penembakan hanya bisa dilakukan dalam kondisi tertentu.

“Secara tehnis itu hanya bisa dilakukan jika aparat yang bertugas dalam kondisi berbahaya. Artinya, jika kondisi membahayakan nyawa petugas dan nyawa warga sipil yang ada. Jadi kalau tidak melakukan reaksi, dia (polisi, Red) yang tewas atau masyarakat yang tewas,” ujarnya, kemarin di Jakarta.
Kondisi tersebut menurutnya, juga harus dapat dibuktikan. Tidak bisa hanya dikatakan melawan petugas dengan menggunakan pisau, lantas melepaskan tembakan mematikan hingga tujuh peluru seperti yang terjadi dalam operasi penangkapan bandar narkoba yang dilakukan Mabes Polri di Medan beberapa waktu lalu.

“Jadi selain polisi hanya diperkenankan melumpuhkan, tindakan melepas tembakan tersebut juga harus dalam kondisi yang tidak terbantahkan,” ujarnya.

Karena itu menurut Adrianus, dalam hal ini perlu pembuktian. Apakah benar tersangka tak terbantahkan melakukan pelawanan hingga membahayakan nyawa sang petugas, atau hanya alasan sepihak.

“Kami tentu menjadikan ini entry point untuk masuk. Karena dalam SOP kepolisian itu sudah cukup jelas, ada bagiannya masing-masing,” katanya.
Menurutnya, penyelidikan atas operasi tersebut menjadi tugas Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri untuk menindaklanjutinya. “Namun Kompolnas tentu akan mengawal dalam prosesnya,” ujarnya.

Berbincang lebih jauh, secara ilmu kepolisian menurut Adrianus, kemungkinan tingkat penyelidikan hanya dapat diarahkan terkait disiplin dan kode etik aparat yang ada.

“Kalau penyelidikan atas pidana, itu jelas terbantahkan. Karena penembakan terjadi saat operasi resmi. Berarti jelas ada perintah untuk melakukan operasi dan ada pimpinan yang bertanggungjawab,” katanya.

Sementar itu, apa yang dilakukan oleh polisi mendapat dukungan dari Gerakan Anti Narkoba Indonesia (GAN). Melalui pentolannya, Zulkarnain Nasution, GAN menganggap tembak mati adlah sesuatu yang pantas untuk gembong narkoba. “Kalau memang sudah ada bukti-bukti awal yang memang sudah dipelajari kepolisian kemudian mereka melakukan penangkapan tersangka atau yang diduga menjadi pengedar dan mereka melawan dengan menggunakan senjata-senjata. Maka, pantaslah dilakukan untuk seperti itu (ditembak),” ucap Zulkarnaen.

Ketika banyak yang mengkritik, kenapa GAN mendukung? “Karena kalau bebas banyak masyarakat Indonesia yang terjerumus dengan narkoba karena mereka. Mungkin kalau dia pengedar mungkin sudah banyak, orang meninggal, takut dan gila gara-gara mereka (pengedar dan bandar narkoba),” jelasnya.

Untuk itu, sambung Zulkarnain pantas saja kalau dilakukan penembakan karena pengedar melawan. Dan itu hal yang wajar. “Yang mengetahui penyelidikan itu polisi dan kita tidak tahu, dia seorang bandar atau tidak. Polisi sudah menyelidiki mungkin sudah berbulan-bulan,” tambahnya.
Saat ditanyakan tembak mati itu akan memutus mata rantai informasi untuk ke bandar yang lebih besar lagi, Zulkarnain tak membantahnya. “Tapi, mereka yang sudah tertangkap akan selalu menggunakan  pemutusan informasi, mau mereka diapa-apai tak akan memberikan informasi karena mereka sudah masuk jaringan. Kalau yang mau ngasi keterangan itu biasanya yang tak ikut jaringan seperti kurir yang sering tertangkap itu. Jadi ini seperti kode etik pernarkobaan,” ujarnya tersenyum kecil. (*)

Dua Keluarga Kompak Melapor

Keluarga Ramadhan Puda Kesuma yang tewas ditembak polisi berencana membuat laporan ke Kompolnas di Jakarta.
Sebelumnya, pihak keluarga Kiki, korban tembak mati lainnya, juga telah melapor ke LBH Medan. Keduanya sepakat, apa yang dilakukan polisi kepada anggota keluarga mereka adalah tidak benar.

Hal itu diungkapkan Abang Kandung Ramadhan, Cecep Sulaiman didampingi kedua orangtuanya, Acak Sulaiman (57) dan Suprapti (56), saat ditemui Sumut Pos di kediaman mereka di Jalan Karya Nomo 264 Kelurahan Karang Berombak Kecamatan Medan Barat, Senin (29/4) siang.
Sebelum membuat laporan ke Kompolnas, mereka akan berumbuk terlebih dahulu dengan keluarga Kiki.

“ Hal itu akan terlebih dahulu kita rembukkan, termasuk kepada pihak LBH Medan. Untuk yang berangkat nanti membuat laporan itu, juga akan ditentukan dalam musyawarah itu. Apa mungkin, pihak LBH yang nantinya akan mewakilkan kita untuk membuat laporan itu,” ungkap Cecep.

Untuk kejanggalan yang mereka temukan, Cecep mengaku semakin yakin akan adanya pelanggaran HAM dalam kasus itu. Pasalnya, cecep menyebut kalau pihaknya tidak kunjung menerima laporan dan klarifikasi dari pihak kepolisian atas kematian anggota keluarga mereka itu. Terlebih, sejumlah barang milik Ramadhan berupa 2 unit handphone, 1 unit mobil Xenia warna hitam BK 1034 KI, 1 buah jam tangan merek Alexander Crysti dan 1 unit laptop merek Acer, disebut Cecep belum diketahui keberadaannya.

“Sehari setelah keluarga Kiki melapor ke LBH Medan, kami juga membuat laporan ke sana. Dan saya akan terus siap untuk mengikuti proses itu. Mulai dari kejadian, kami tidak pernah mendapat klarifikasi dan penjelasan dari polisi. Seperti sejumlah barang yang kami ketahui dibawa oleh almarhum saat kejadian, meskipun itu dijadikan barang bukti. Seharusnya ada pemberitahuan pada kami, “ tambah Cecep.

Sementara itu, Acak Sulaiman dan Suprapti mengaku ikhlas dengan kematian anak bungsu dari 6 buah hatinya itu. Namun, keduanya mengaku masih belum bisa menerima dengan cara kepergian anaknya itu ke sisi Ilahi.

“Saya mendukung hukuman mati bagi pengedar narkoba. Namun, semuanya itu harus sesuai prosedur yang berlaku. Kalau seperti ini, apa yang membuktikan kalau anak kami itu sebagai bandar narkoba. Dengan fitnah seperti ini, kesedihan kami terus berlanjut, “ ungkap Acak Sulaiman didampingi isterinya. (*)

Tembak mati terhadap dua tersangka pengedar narkoba di Medan menuai banyak tanggapan. Polisi dianggap sengaja menghilangkan nyawa, melanggar HAM, tidak profesional, hingga tidak bedanya dengan preman. Sementara polisi tetap bertahan dengan prinsip menjalankan tugas. Kenyataan ini jelas membuat polisi bak makan buah simalakama.

DIJAGA: Tiga tersangka narkoba dijaga sejumlah polisi saat pemaparan sejumlah barang bukti Narkoba oleh Bareskrim Mabes Polri  Grand Aston City Hall Medan Hotel, Rabu (24/4) lalu. Jalan Balai Kota Medan, Rabu (24/4). //AMINOER RASYID/SUMUT POS
DIJAGA: Tiga tersangka narkoba dijaga sejumlah polisi saat pemaparan sejumlah barang bukti Narkoba oleh Bareskrim Mabes Polri di Grand Aston City Hall Medan Hotel, Rabu (24/4) lalu.
Jalan Balai Kota Medan, Rabu (24/4). //AMINOER RASYID/SUMUT POS

Adalah Ramadhan P Kesuma (26) dan Selly Satria Aprianto alias Kiki (26), tersangka yang ditembak mati di Grand Aston City Hall Medan Hotel dan di Perumahan Bukit Hijau Reqency, Kecamatan Sunggal. Kepala Divisi Advokasi, HAM dan Tipikor LBH Medan, Irwandi Lubis menduga petugas Direktorat IV Bareskrim Mabes Polri di Medan sengaja menghabisi kedua tersangka dengan menembak dari jarak dekat.

“Kita menduga, ada unsur kesengajaan dalam kejadian ini. Karena kami menemukan banyak keganjilan tewasnya mereka berdua. Di mana keduanya sengaja ditembak dari jarak dekat. Luka tembakannya juga dalam. Kita inginkan agar dilakukan otopsi ulang terhadap dua jenazah. Kita menduga kepolisian sengaja untuk menghilangkan nyawa korban,” ujar Irwandi, Senin (29/4).

Menurut Irwandi, pihaknya telah mengumpulkan bukti-bukti diantaranya pada tubuh Kiki terdapat tujuh luka tembakan dan Ramadhan terdapat empat luka tembakan. Berdasarkan video rekaman peristiwa itu, mereka juga menemukan bahwa pada saat korban diringkus tidak melakukan perlawanan. Meski tangan korban diborgol, tapi polisi tetap melepaskan tembakan ke tubuh korban.

“Dari video yang kami dapat, posisi Ramadhan saat itu tangannya diborgol. Kalaupun si Ramadhan melawan dengan mnggunakan pisau, kenapa langsung ditembakan di tubuhnya. Kenapa bukan kakinya ditembak. Apalagi kita melihat dalam video itu Ramadhan tidak melakukan perlawanan. Korban tidak lari saat dilakukan penyergapan. Tangannya di borgol ke belakang. Tapi tiba-tiba kenapa meninggal sedangkan dia dalam pengawasan polisi begitu dekat. Ini logika awal. Kami sudah simpan videonya,” jelasnya.

“Kalaupun polisi menuduh para pelaku satu diantara nama Kiki memang sebagai pengedar narkotika, tidak ada justifikasi yang membolehkan polisi bertindak membunuh karena ini kejahatan HAM dan serius oleh aparat negara. Kami melihat, tim dari Mabes Polri bertindak sesat dan diluar prosedur hukum dan untuk itu LBH Medan, meyakinkan diri dan mengonsistenkan diri untuk menuntaskan dan mengadvokasi kasus ini secara serius,” tambahnya.
Herdensi, koordinator kontras Sumut, punya pandangan lain. Menurutnya, penembakan pada Ramadhan dan Kiki menunjukkan polisi tak beda dengan preman. “Ada indikasi kepolisian tersebut menggunakan senjata api dengan secara tidak terorganisir. Jadi, kalau polisi itu bekerja tidak terorganisir sekali lagi ia sama juga dengan preman,” ucapnya di sekretaris Kontras Sumut, akhir pekan lalu. “Maksudnya terorganisir ketika polisi bekerja maka dia harus profesional,” tambahnya.

Tak kalah pedas, kritikan muncul dari Kepala  Pusat Studi HAM Universitas Negeri Medan, Majda El Muhtaj. Tindakan polisi menurutnya sudah kelewatan. “ Kejadian ini berpotensi pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM) berat dan perbuatan polisi itu termasuk ekstrem” katanya.

Dia pun meminta Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Pol Sutarman harus mengklarifikasi tindakan yang sudah dilakukan Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Brigadir Jenderal Polisi Arman Depari, di Medan. Apalagi pemberitaan yang beredar saat ini. “Seberapa berat perlawanan terduga sampai harus ditembak mati, Apakah perlawanan dengan menggunakan benda tumpul harus ditembak mati?” tanya Muhtaj.
Ketua Pusham Unimed mengatakan sesuai prinsip hukum, sebelum putusan di pengadilan seseorang belum dikatakan bersalah walaupun sudah berstatus tersangka.

“Teroris sekalipun belum dinyatakan bersalah apabila belum mendapatkan putusan dari majelis hakim. Apalagi 2 orang yang ditembak mati polisi masih status terduga dan dari penjelasan mereka bisa didapat informasi tentang sindikat yang lebih besar,” lanjutnya.

Sesuai Pasal 4 UU No 2 tahun 2002 Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Dan diperkuat dengan Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 8 tahun 2009 Tentang Implementasi prinsip dan penyelenggaraan tugas kepolisian negara Republik Indonesia. “Dengan adanya aturan itu harusnya kepolisian lebih arif dalam melakukan pekerjaannya, apabila bersalah maka akuilah,” tegasnya.
Sebelumnya, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri, Kombes Pol Agus Rianto, menjelaskan operasi yang dilakukan di Medan merupakan pengembangan dari operasi penangkapan yang dilakukan Mabes Polri di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (18/4) lalu. Artinya, polisi tidak sembarangan bertindak.(*)

Kan Sudah Sesuai SOP …

Tembak mati yang dilakukan Direktorat IV Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri terhadap dua orang terduga gembong Narkoba jaringan Malaysia-Indonesian, Selasa (23/4) yang lalu sudah sesuai dengan standart Operasi Prosedur (SOP).

“Kan sudah dijelasi saat jumpa pers, kenapa polisi melakukan penembakan terhadap pelaku,” ungkap Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Raden Heru Prokoso saat dikonfirmasi Sumutpos, Senin (29/4) sore.

Heru menjelaskan dilakukan penembakkan karena pelaku diketahui bernama Ramadhan P Kesumasaat dibekuk di Hotel Grand Aston nomor 1218 mencoba melawan petugas dengan senjata tajam (sajam). Sedangkan pelaku yang lain bernama Selly Satria Aprianto alias Kiki ditembak petugas hingga mati karena melarikan diri dari sergapan petugas.

“Karena melawan petugas, dengan menusukkan pisau atau belati kearah anggota, begitu juga pelaku satu lagi mencoba melarikan diri,”sebut perwira menyandang melati tiga di pundaknya ini.

Untuk dikehui, Direktorat IV Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Mabes Polri saat terjun ke kota terbesar nomor tiga di Indonesia, menurunkan sekitar 11 personil tergabung dalam tim khusus (Timsus) Mabes Polri, kemudian saat tiba di Medan, Tim ini pun melakukan kordinasi dengan Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut dan Satuan Reserse Narkoba Polresta Medan, kedua institusi Polri di Kota Medan ini, juga menerjunkan personil dan bergabung dengan tim dari Mabes Polri, jadi untuk membekuk kedua pelaku ini polisi berjumlah sekitar puluhan personil lengkap menggunakan senjata api (senpi).
Nah, dengan jumlah personel puluhan orang ini, muncul kecurigaan kalau polisi tak mampu mengatasi seorang terduga yang hanya menggunakan senpi. “Coba telepon Mabes Polri, tidak kapasitas kita,” elak Heru saat digelontorkan kecurigaan tadi.

Di sisi lain, Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, memastikan sesuai SOP yang ada, aparat kepolisian memang diperkenankan melepas tembakan ke seorang tersangka dalam sebuah operasi penangkapan.

Namun tidak bisa dilakukan secara sembarangan, apalagi hanya dengan alasan tersangka yang dimaksud melakukan perlawanan. Menurut pria yang juga Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) ini, penembakan hanya bisa dilakukan dalam kondisi tertentu.

“Secara tehnis itu hanya bisa dilakukan jika aparat yang bertugas dalam kondisi berbahaya. Artinya, jika kondisi membahayakan nyawa petugas dan nyawa warga sipil yang ada. Jadi kalau tidak melakukan reaksi, dia (polisi, Red) yang tewas atau masyarakat yang tewas,” ujarnya, kemarin di Jakarta.
Kondisi tersebut menurutnya, juga harus dapat dibuktikan. Tidak bisa hanya dikatakan melawan petugas dengan menggunakan pisau, lantas melepaskan tembakan mematikan hingga tujuh peluru seperti yang terjadi dalam operasi penangkapan bandar narkoba yang dilakukan Mabes Polri di Medan beberapa waktu lalu.

“Jadi selain polisi hanya diperkenankan melumpuhkan, tindakan melepas tembakan tersebut juga harus dalam kondisi yang tidak terbantahkan,” ujarnya.

Karena itu menurut Adrianus, dalam hal ini perlu pembuktian. Apakah benar tersangka tak terbantahkan melakukan pelawanan hingga membahayakan nyawa sang petugas, atau hanya alasan sepihak.

“Kami tentu menjadikan ini entry point untuk masuk. Karena dalam SOP kepolisian itu sudah cukup jelas, ada bagiannya masing-masing,” katanya.
Menurutnya, penyelidikan atas operasi tersebut menjadi tugas Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri untuk menindaklanjutinya. “Namun Kompolnas tentu akan mengawal dalam prosesnya,” ujarnya.

Berbincang lebih jauh, secara ilmu kepolisian menurut Adrianus, kemungkinan tingkat penyelidikan hanya dapat diarahkan terkait disiplin dan kode etik aparat yang ada.

“Kalau penyelidikan atas pidana, itu jelas terbantahkan. Karena penembakan terjadi saat operasi resmi. Berarti jelas ada perintah untuk melakukan operasi dan ada pimpinan yang bertanggungjawab,” katanya.

Sementar itu, apa yang dilakukan oleh polisi mendapat dukungan dari Gerakan Anti Narkoba Indonesia (GAN). Melalui pentolannya, Zulkarnain Nasution, GAN menganggap tembak mati adlah sesuatu yang pantas untuk gembong narkoba. “Kalau memang sudah ada bukti-bukti awal yang memang sudah dipelajari kepolisian kemudian mereka melakukan penangkapan tersangka atau yang diduga menjadi pengedar dan mereka melawan dengan menggunakan senjata-senjata. Maka, pantaslah dilakukan untuk seperti itu (ditembak),” ucap Zulkarnaen.

Ketika banyak yang mengkritik, kenapa GAN mendukung? “Karena kalau bebas banyak masyarakat Indonesia yang terjerumus dengan narkoba karena mereka. Mungkin kalau dia pengedar mungkin sudah banyak, orang meninggal, takut dan gila gara-gara mereka (pengedar dan bandar narkoba),” jelasnya.

Untuk itu, sambung Zulkarnain pantas saja kalau dilakukan penembakan karena pengedar melawan. Dan itu hal yang wajar. “Yang mengetahui penyelidikan itu polisi dan kita tidak tahu, dia seorang bandar atau tidak. Polisi sudah menyelidiki mungkin sudah berbulan-bulan,” tambahnya.
Saat ditanyakan tembak mati itu akan memutus mata rantai informasi untuk ke bandar yang lebih besar lagi, Zulkarnain tak membantahnya. “Tapi, mereka yang sudah tertangkap akan selalu menggunakan  pemutusan informasi, mau mereka diapa-apai tak akan memberikan informasi karena mereka sudah masuk jaringan. Kalau yang mau ngasi keterangan itu biasanya yang tak ikut jaringan seperti kurir yang sering tertangkap itu. Jadi ini seperti kode etik pernarkobaan,” ujarnya tersenyum kecil. (*)

Dua Keluarga Kompak Melapor

Keluarga Ramadhan Puda Kesuma yang tewas ditembak polisi berencana membuat laporan ke Kompolnas di Jakarta.
Sebelumnya, pihak keluarga Kiki, korban tembak mati lainnya, juga telah melapor ke LBH Medan. Keduanya sepakat, apa yang dilakukan polisi kepada anggota keluarga mereka adalah tidak benar.

Hal itu diungkapkan Abang Kandung Ramadhan, Cecep Sulaiman didampingi kedua orangtuanya, Acak Sulaiman (57) dan Suprapti (56), saat ditemui Sumut Pos di kediaman mereka di Jalan Karya Nomo 264 Kelurahan Karang Berombak Kecamatan Medan Barat, Senin (29/4) siang.
Sebelum membuat laporan ke Kompolnas, mereka akan berumbuk terlebih dahulu dengan keluarga Kiki.

“ Hal itu akan terlebih dahulu kita rembukkan, termasuk kepada pihak LBH Medan. Untuk yang berangkat nanti membuat laporan itu, juga akan ditentukan dalam musyawarah itu. Apa mungkin, pihak LBH yang nantinya akan mewakilkan kita untuk membuat laporan itu,” ungkap Cecep.

Untuk kejanggalan yang mereka temukan, Cecep mengaku semakin yakin akan adanya pelanggaran HAM dalam kasus itu. Pasalnya, cecep menyebut kalau pihaknya tidak kunjung menerima laporan dan klarifikasi dari pihak kepolisian atas kematian anggota keluarga mereka itu. Terlebih, sejumlah barang milik Ramadhan berupa 2 unit handphone, 1 unit mobil Xenia warna hitam BK 1034 KI, 1 buah jam tangan merek Alexander Crysti dan 1 unit laptop merek Acer, disebut Cecep belum diketahui keberadaannya.

“Sehari setelah keluarga Kiki melapor ke LBH Medan, kami juga membuat laporan ke sana. Dan saya akan terus siap untuk mengikuti proses itu. Mulai dari kejadian, kami tidak pernah mendapat klarifikasi dan penjelasan dari polisi. Seperti sejumlah barang yang kami ketahui dibawa oleh almarhum saat kejadian, meskipun itu dijadikan barang bukti. Seharusnya ada pemberitahuan pada kami, “ tambah Cecep.

Sementara itu, Acak Sulaiman dan Suprapti mengaku ikhlas dengan kematian anak bungsu dari 6 buah hatinya itu. Namun, keduanya mengaku masih belum bisa menerima dengan cara kepergian anaknya itu ke sisi Ilahi.

“Saya mendukung hukuman mati bagi pengedar narkoba. Namun, semuanya itu harus sesuai prosedur yang berlaku. Kalau seperti ini, apa yang membuktikan kalau anak kami itu sebagai bandar narkoba. Dengan fitnah seperti ini, kesedihan kami terus berlanjut, “ ungkap Acak Sulaiman didampingi isterinya. (*)

Artikel Terkait

Tragedi Akhir Tahun si Logo Merah

Incar Bule karena Hasil Lebih Besar

Baru Mudik Usai Lebaran

Terpopuler

Artikel Terbaru

/