25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Kurang Rp10 Ribu pun Petugas Tak Mau

Beruntung bagi truk yang dilindungi yayasan. Mereka tidak mengalami pungutan liar (pungli) yang betul-betul liar. Mereka hanya membayar sesuai ketentuan dari deal yang tercipta antara yayasan dengan petugas. Seperti apa yayasan itu terbentuk?

Joko Gunawan, Labuhanbatu

JEMBATAN TIMBANG: Aktivitas  jembatan timbang I Tanjung morawa, belum lama ini.//BATARA/SUMUT POS
JEMBATAN TIMBANG: Aktivitas di jembatan timbang I Tanjung morawa, belum lama ini.//BATARA/SUMUT POS

Pemilik yayasan ternyata berasal dari berbagai latar belakang. Mulai dari oknum preman hingga oknum aparat berbaju seragam. Bahkan, ada juga oknum Dinas Perhubungan yang secara tidak langsung menjadi pelindung oknum petugas melakukan pungli. Yayasan ini akan mengutip iuran bulanan dari para pengusaha ekspedisi. Lalu, yayasan pun menyetor iuran bulanan pada Dinas Perhubungan Pemprovsu.

“Ya, yang penting aman,” kata sopir yang namanya sengaja disembunyikan itu.

Saya menjadi penasaran, bagaimana petugas tahu sebuah truk termasuk anggota sebuah yayasan. Pasalnya, di Jalan Lintas Sumatera ini kan tidak sedikit truk yang lewat. Sang sopir yang terus saja fokus memandang jalan, tersenyum. Seperti mengejek, dia pun menjelaskan. Untuk mengetahui apakah truk atau salahsatu ekspedisi telah terdaftar di salahsatu yayasan, petugas tidak sulit mencarinya. Caranya, baik di buku speksi maupun Surat Tanda Nomor Kenderaan (STNK) truk, yayasan sudah menerakan stempelnya. Jadi pada awal memasuki timbangan, petugas tinggal melihat yayasan mana dan berapa besaran tarif ‘uang pelicin’ agar sisa muatan tidak dipaksa harus dibongkar.

“Iya juga ya,” bunyi saya menyadari kebodohan pertanyaan tadi. Sang sopir tak lagi senyum dia malah tertawa. Dan, dia pun langsung menunjukkan STNK truknya yang ada di dashboard. Di buku itu, tepatnya di bagian ujung, memang ada stempel sebuah yayasan.

Truk masih melaju pelan. Masih 50 kilometer/jam. Jalanan tidak begitu ramai. Maklum sudah malam. Sopir terlihat mulai ngantuk. Beberapa kali dia menguap dan mengelap mukanya dengan handuk yang tergantung di leher. Untuk mengusir rasa itu dirinya mulai bernyanyi tembang lama dengan suara pelan. Walau tidak sebaik pelantun aslinya, namun sedikit menghibur. Memang selama dirinya membawa truk beroda sepuluh itu, lantunan lagulah sebagai pelawan rasa kantuknya. “Apalagi Dek, musik kita tidak ada, terpaksalah menyanyi sendiri,” sebutnya sambil tertawa.

Tanpa terasa sudah sekitar pukul 24.20 WIB, kami pun berhenti turun minum di salahsatu warung makan dan minum di sekitaran Sentang, Kabupaten Asahan. Perjalanan kami lanjutkan sekitar 01.35 WIB. Setelah perjalanan 2,5 jam lebih, kamipun kembali menemui jembatan timbang, tepatnya di Limapuluh Kabupaten Batubara.

Tak ingin melepaskan kesempatan, saya menawarkan diri menjadi orang yang menyerahkan setoran pada petugas. Sopir itu sempat memandang saya agak lama. Sepertinya dia enggan. Maklum, dia takut terjadi sesuatu. Ya, saya kan wartawan. Namun, setelah saya tegaskan saya tidak akan macam-macam dan banyak bertanya pada petugas, dia pun menyerah. Bahkan, dia menyerahkan handuk kumal yang tergantung di lehernya itu pada saya. “Biar nampak kayak orang truk,” begitu katanya.

Nah, saya ambil surat yang telah diselipi uang Rp80 ribu dari tangan sopir itu. Saya buka surat itu dan saya ambil uang sepuluh ribu. Artinya, uang yang akan saya berikan pada petugas hanya Rp70 ribu. Melihat itu, sang sopir menahan napas. Saya tersenyum dan memberikan sinyal melalui mata saya kalau semuanya akan baik-baik saja.

Truk pun melaju pelan memasuki timbangan. Kami harus mengantre. Di depan kami ada truk lain. Di sisi truk depan terlihat seorang petugas mendekat. Dia berdiri di samping pintu sopir. Mereka berbincang. Truk ditimbang. Sejenak kemudian sembari membawa selembar kertas yang diduga surat sudah membayar biaya Perda, petugas itu masuk ke dalam ruangan yang dihuni sekitar 7 petugas lainnya. Tak lama kemudian, dia kembali menemui sopir yang masih di dalam truk. Secepat itu pula oknum petugas menerima sejumlah uang dan mempersilakan truk tersebut berlalu dan menyarankan truk yang saya tumpangi menaiki timbangan.

Saya menyerahkan surat dengan uang Rp70 ribu tadi. Petugas timbangan memeriksa dan langsung melihat saya dengan tatapan tajam. “Kurang sepuluh ini, mana-mana,” katanya.

“Maaf, Pak,” ucap saya sambil berakting panik. Saya rogoh saku dan mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah yang telah saya pisahkan tadi.
Setelah uang itu berpindah tangan, kami pun dibolehkan pergi. Saya tertawa. Sopir itu pun tertawa. “Padahal kita kelebihan 16 ton ya Bang. Malah sepuluh ribu yang diributkannya,” kata saya, sopir hanya tersenyum. (bersambung)

Beruntung bagi truk yang dilindungi yayasan. Mereka tidak mengalami pungutan liar (pungli) yang betul-betul liar. Mereka hanya membayar sesuai ketentuan dari deal yang tercipta antara yayasan dengan petugas. Seperti apa yayasan itu terbentuk?

Joko Gunawan, Labuhanbatu

JEMBATAN TIMBANG: Aktivitas  jembatan timbang I Tanjung morawa, belum lama ini.//BATARA/SUMUT POS
JEMBATAN TIMBANG: Aktivitas di jembatan timbang I Tanjung morawa, belum lama ini.//BATARA/SUMUT POS

Pemilik yayasan ternyata berasal dari berbagai latar belakang. Mulai dari oknum preman hingga oknum aparat berbaju seragam. Bahkan, ada juga oknum Dinas Perhubungan yang secara tidak langsung menjadi pelindung oknum petugas melakukan pungli. Yayasan ini akan mengutip iuran bulanan dari para pengusaha ekspedisi. Lalu, yayasan pun menyetor iuran bulanan pada Dinas Perhubungan Pemprovsu.

“Ya, yang penting aman,” kata sopir yang namanya sengaja disembunyikan itu.

Saya menjadi penasaran, bagaimana petugas tahu sebuah truk termasuk anggota sebuah yayasan. Pasalnya, di Jalan Lintas Sumatera ini kan tidak sedikit truk yang lewat. Sang sopir yang terus saja fokus memandang jalan, tersenyum. Seperti mengejek, dia pun menjelaskan. Untuk mengetahui apakah truk atau salahsatu ekspedisi telah terdaftar di salahsatu yayasan, petugas tidak sulit mencarinya. Caranya, baik di buku speksi maupun Surat Tanda Nomor Kenderaan (STNK) truk, yayasan sudah menerakan stempelnya. Jadi pada awal memasuki timbangan, petugas tinggal melihat yayasan mana dan berapa besaran tarif ‘uang pelicin’ agar sisa muatan tidak dipaksa harus dibongkar.

“Iya juga ya,” bunyi saya menyadari kebodohan pertanyaan tadi. Sang sopir tak lagi senyum dia malah tertawa. Dan, dia pun langsung menunjukkan STNK truknya yang ada di dashboard. Di buku itu, tepatnya di bagian ujung, memang ada stempel sebuah yayasan.

Truk masih melaju pelan. Masih 50 kilometer/jam. Jalanan tidak begitu ramai. Maklum sudah malam. Sopir terlihat mulai ngantuk. Beberapa kali dia menguap dan mengelap mukanya dengan handuk yang tergantung di leher. Untuk mengusir rasa itu dirinya mulai bernyanyi tembang lama dengan suara pelan. Walau tidak sebaik pelantun aslinya, namun sedikit menghibur. Memang selama dirinya membawa truk beroda sepuluh itu, lantunan lagulah sebagai pelawan rasa kantuknya. “Apalagi Dek, musik kita tidak ada, terpaksalah menyanyi sendiri,” sebutnya sambil tertawa.

Tanpa terasa sudah sekitar pukul 24.20 WIB, kami pun berhenti turun minum di salahsatu warung makan dan minum di sekitaran Sentang, Kabupaten Asahan. Perjalanan kami lanjutkan sekitar 01.35 WIB. Setelah perjalanan 2,5 jam lebih, kamipun kembali menemui jembatan timbang, tepatnya di Limapuluh Kabupaten Batubara.

Tak ingin melepaskan kesempatan, saya menawarkan diri menjadi orang yang menyerahkan setoran pada petugas. Sopir itu sempat memandang saya agak lama. Sepertinya dia enggan. Maklum, dia takut terjadi sesuatu. Ya, saya kan wartawan. Namun, setelah saya tegaskan saya tidak akan macam-macam dan banyak bertanya pada petugas, dia pun menyerah. Bahkan, dia menyerahkan handuk kumal yang tergantung di lehernya itu pada saya. “Biar nampak kayak orang truk,” begitu katanya.

Nah, saya ambil surat yang telah diselipi uang Rp80 ribu dari tangan sopir itu. Saya buka surat itu dan saya ambil uang sepuluh ribu. Artinya, uang yang akan saya berikan pada petugas hanya Rp70 ribu. Melihat itu, sang sopir menahan napas. Saya tersenyum dan memberikan sinyal melalui mata saya kalau semuanya akan baik-baik saja.

Truk pun melaju pelan memasuki timbangan. Kami harus mengantre. Di depan kami ada truk lain. Di sisi truk depan terlihat seorang petugas mendekat. Dia berdiri di samping pintu sopir. Mereka berbincang. Truk ditimbang. Sejenak kemudian sembari membawa selembar kertas yang diduga surat sudah membayar biaya Perda, petugas itu masuk ke dalam ruangan yang dihuni sekitar 7 petugas lainnya. Tak lama kemudian, dia kembali menemui sopir yang masih di dalam truk. Secepat itu pula oknum petugas menerima sejumlah uang dan mempersilakan truk tersebut berlalu dan menyarankan truk yang saya tumpangi menaiki timbangan.

Saya menyerahkan surat dengan uang Rp70 ribu tadi. Petugas timbangan memeriksa dan langsung melihat saya dengan tatapan tajam. “Kurang sepuluh ini, mana-mana,” katanya.

“Maaf, Pak,” ucap saya sambil berakting panik. Saya rogoh saku dan mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah yang telah saya pisahkan tadi.
Setelah uang itu berpindah tangan, kami pun dibolehkan pergi. Saya tertawa. Sopir itu pun tertawa. “Padahal kita kelebihan 16 ton ya Bang. Malah sepuluh ribu yang diributkannya,” kata saya, sopir hanya tersenyum. (bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/