27 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Sejarawan: Ultah yang Menyesatkan

Di sisi lain, hari pertama memasuki bulan Juli, telah menjadi hari yang sakral bagi kota Medan. Pasalnya, tepat 1 Juli tahun 1590 dijadikan sebagai tanggal, bulan dan tahun kelahirannya kota Medan, sehingga usia kota Medan saat ini adalah 423, sungguh kota yang sangat tua.

Usia yang sudah tua ini pun ditentang oleh sejarawan kota Medan. Penetapan itu harus dilakukan peninjauan ulang. Hal ini diungkapkan langsung oleh Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (PUSSIS-Unimed), Dr Phil Ichwan Azhari kepada Sumut Pos, Jumat (28/6).

Lanjut Ichwan, sebelumnya perayaan hari jadi kota Medan ditetapkan pada tanggal 1 April 1909 berdasarkan penetapan Kota Medan sebagai Gemeenteraad atau dewan kota oleh pemerintah Kolonial Belanda, namun dan pada taun 1975 semuanya diubah. “Diawal 1970-an dicoba merumuskan hari jadi Kota Medan yang tidak berbau Belanda. Mereka ingin mengingkari kalau kota ini ciptaan Belanda. Fakta hari jadi sebuah kota dalam pengertian modern di dalam hikayat itu jelas tidak ada. Fakta yang tidak ada, diadaadakan. Ulang Tahun kota Medan jadi menyesatkan,” katanya.

Untuk merubah itu, maka dibentuklah panitia peneliti hari jadi kota Medan, maka dicari tanggal yang tidak berbau dengan kolonial Belanda. “Berdasarkan dokumen PUSSIS Unimed, upaya untuk mengganti hari jadi kota Medan itu dilakukan melalui seminar tanggal 27-29 maret 1971. Seminar itu kemudian membentuk panitia peneliti Hari jadi kota Medan. Nah, panitia inilah yang kemudian mengambil teks tradisional yang memang tidak diketahui siapa penulisnya, yakni Riwayat Hamparan Perak dan inilah yang menjadi bahan untuk mencari hari jadi Kota Medan,” ujarnya.

Namun sayangnya, tambah Ichwan, panitia penelitian tersebut galau dan mereka tidak menggunakan kajian kritis atas sebuah teks tradisional, apakah teks yang menyimpan fakta sejarah tersebut sebenarnya sebuah wacana sejarah. “Panitia ‘gak memikirkan di belakang hari akan timbul masalah yang pelik ketika paradoks dalam teks ini dibuka orang satu persatu. Dari teks itu, dikatakan bahwa pendiri Kota Medan adalah Guru Patimpus, orang karo yang bermarga Sembiring. Namun saat ini ada bantahan berdasarkan teks yang lama, bahwa Guru Patimpus itu bukan marga Sembiring melainkan marga Sinambela, keturunan Singamangaraja,” katanya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh panitia penelitian yang diketuai oleh MA Harahap dan di sahkan oleh DPRD SK No 91Pim/DPRD/74 pada 15 Maret 1975 ini, dikatakan Ichwan harus dikaji ulang. “Melalui teks yang sama, Guru Patimpus itu adalah Timpus anak dari Tuan Si Raja Hita yang merupakan keturunan Raja Sisingamangaraja di Bakkarah. Panitia hari jadi kota Medan telah menanyakan langsung kepada keturunan Sisingamangaraja dan mereka menjawab bahwa tak ada keturunan Sisingamangaraja yang mengarah ke Guru Patimpus. Padahal sebenarnya metode analis wacana dalam sejarah dapat dipakai untuk memahami, kenapa Guru Patimpus yang ada di akhir teks muncul sebagai ulama besar islam, tapi dibagian awal dikaitkan dengan Sisingamangaraja dari Bakarah,” ujar Ichwan lulusan S3 di Universitet Hamburg Jerman ini.

Selanjutnya, dalam penelitian itu, lanjut Ichwan, pertemuan Datuk kota Bangun dengan Guru Patimpus sebagai momentum awal didirikannya Kampung Medan, maka penggunaan tahun 1590 adalah tidak tepat karena Medan sudah ada sebelum Patimpus datang. Kutipan dalam teks itu sendiri yang membantah.

“Seperti ini isinya, tiada berapa lama antaranya maka ia pun pindahlah membuat kampung ke Medan, dan dengan takdir Tuhan pada suatu hari ia lagi tinggal menebas Medan itu bersama-sama dengan anak bininya….., tiada berapa lamanya antaranya hamillah perempuan itu, maka Guru Patimpus pun sudah siap membuat rumahnya dan kampungnya di Medan,” ujar Ichwan membacakan teks tersebut yang sudah ia susun dalam sebuah buku Asal-Usul Kota Medan dalam Riwayat Hamparan Perak.

Dari teks di atas, tambah Ichwan, secara jelas tersirat bahwa daerah Medan itu telah ada sebelum kampung-kampung itu didirikan. “Mengenai tanggal penentuan hari jadi kota Medan, sepertinya panitia galau itu hanya berspekulasi, meraba-raba hari dan tanggal dan menganggap kampung yang didirikan Guru Patimpus dan tahunnya berdasarkan batu nisan yang sudah berada di museum, yang diyakini sebagai makam Imam Siddik yang bertuliskan tahun 1590, padahal jelas pertemuan Guru Patimpus dengan Datuk Kota Bangun terjadi sebelum Datuk kota Bangun alias Imam Siddik meninggal dunia 1590. Kenapa tahun meninggalnya Imam Saddik yang dijadikan tahun pendirian kota,” katanya.

Tambahnya, jika alasan menolak 1 April 1909 karena alasan buatan Belanda, sebenarnya masih ada tanggal lain yang lebih layak, misalnya pindahnya Ibukota Asisten Residen Deli dari Labuhan ke Medan yakni 1879 atau tanggal dipindahkannya Ibukota Residen Sumatera Timur dari Bangkalis ke Medan, yakni 1 Maret 1887 atau pindahnya Istana Kesultanan Deli dari Labuhan ke Medan, 18 Mei 1891.

“Kampung tidak mungkin berevolusi menjadi sebuah kota jika tidak ada faktor-faktor luar yang mendukungnya, seperti ratusan kampung yang sampai sekarang tetap menjadi kampung dan tidak berevolusi menjadi sebuah kota. Kalau pun Guru Patimpus dikatakan menjadi tokoh pendirinya, toh makam Guru Patimpus ada di Hamparan Perak dan tidak terawat. Bahkan tidak ada tanda-tanda peninggalan dari Guru Patimpus di kota Medan. Kita sama saja melakukan penghinaan kepada Guru Patimpus. Medan ada karena industri besar,” ujarnya.

Tambahnya, Guru Patimpus lebih tepat dikatak sebagai perintis bukan pendiri, itu juga sebagai perintis kampung Medan untuk menjadi ramai. “Okelah kalau mau dikatakan ia sebagai pendiri, meskipun ia hanya perintis Medan menjadi ramia. Tapi seharusnya tanggalnya itu, kita seperti merayakan hari ulangtahun Tahayul. Kalau bisa digantilah, biasa kok suatu kota ganti hari jadinya,” katanya.
Untuk perubahan kota Medan sendiri, lanjutnya, sampai saat ini terlihat Medan seperti kota tak beradab, sedang dalam proses penghancuran sejarah. “Kita lihat saja, semua tempat-tempat bersejarah di kota Medan sampai saat ini lama kelamaan habis,” katanya.
Untuk pusat kota Medan, dahulunya dibangun dengan replika Eropa, namun satu per satu hilang replika Eropa tersebut di Medan, jelas perubahan yang radikal. “Kita menghasilkan kota yang tak beradab sekarang ini. Replika eropa itu ada bank, kantor pos, stasiun, lapangan, deretan pertokohan atau di Medan itu Kesawan dan dibelakangnya ada sungai. Namun semua hampir musnah, bayangkan balai kota saja digadaikan sampai 30 tahun ke Hotel Aston. Lapangan bekas perjuangan mau dijadikan lahan parkir. Inilah ciri-ciri kota yang berkembang dan tak beradab,” katanya.

Diharapkannya, 50 tahun ke depan ada pemimpin yang peduli dengan sejarah dan akan membangun banyak replika bangunan sejarah. “Nanti, generasi penerus kita, itu bangunan Aston atau lainnya, 30 tahun lagi itu harus dihancurkan. Kalau bangunan, masih bisa dibangun lagi dengan mirip, arsiteknya , tapi bayangkan pohon-pohon besar yang sengaja didatangkan dari Eropa di lapangan Merdeka itu hancur, tidak bisa kita tanam lagi, butuh waktu yang lama,” katanya.

“Medan sedang dalam proses penghancuran sejarah hingga akhirnya tidak ada kisah yang tersisa. Medan sebuah kota yang tak berkarakter, membunuh masa lalunya. Bahkan tanggal lahirnyapun menyesatkan,” ujarnya.

Sekarang ini kita kembali mengenang Kota Medan tapi tanpa cerita, tanpa sejarah, karena orang-orang didalamnya sedang sibuk menghancurkan masa lalunya. Tak ada lagi kenangan, perayaan sekedar perayaan. Tak ada lagi yang dapat dihadiahkan oleh kota Medan kepada generasi penerus, kita tiap tahun tidak lagi mengenang sisi tingginya peradaban kota ini, karena memori kita disesatkan untuk mengenang sebuah kampung yang absurd. (put/gus/mag-10)

Di sisi lain, hari pertama memasuki bulan Juli, telah menjadi hari yang sakral bagi kota Medan. Pasalnya, tepat 1 Juli tahun 1590 dijadikan sebagai tanggal, bulan dan tahun kelahirannya kota Medan, sehingga usia kota Medan saat ini adalah 423, sungguh kota yang sangat tua.

Usia yang sudah tua ini pun ditentang oleh sejarawan kota Medan. Penetapan itu harus dilakukan peninjauan ulang. Hal ini diungkapkan langsung oleh Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (PUSSIS-Unimed), Dr Phil Ichwan Azhari kepada Sumut Pos, Jumat (28/6).

Lanjut Ichwan, sebelumnya perayaan hari jadi kota Medan ditetapkan pada tanggal 1 April 1909 berdasarkan penetapan Kota Medan sebagai Gemeenteraad atau dewan kota oleh pemerintah Kolonial Belanda, namun dan pada taun 1975 semuanya diubah. “Diawal 1970-an dicoba merumuskan hari jadi Kota Medan yang tidak berbau Belanda. Mereka ingin mengingkari kalau kota ini ciptaan Belanda. Fakta hari jadi sebuah kota dalam pengertian modern di dalam hikayat itu jelas tidak ada. Fakta yang tidak ada, diadaadakan. Ulang Tahun kota Medan jadi menyesatkan,” katanya.

Untuk merubah itu, maka dibentuklah panitia peneliti hari jadi kota Medan, maka dicari tanggal yang tidak berbau dengan kolonial Belanda. “Berdasarkan dokumen PUSSIS Unimed, upaya untuk mengganti hari jadi kota Medan itu dilakukan melalui seminar tanggal 27-29 maret 1971. Seminar itu kemudian membentuk panitia peneliti Hari jadi kota Medan. Nah, panitia inilah yang kemudian mengambil teks tradisional yang memang tidak diketahui siapa penulisnya, yakni Riwayat Hamparan Perak dan inilah yang menjadi bahan untuk mencari hari jadi Kota Medan,” ujarnya.

Namun sayangnya, tambah Ichwan, panitia penelitian tersebut galau dan mereka tidak menggunakan kajian kritis atas sebuah teks tradisional, apakah teks yang menyimpan fakta sejarah tersebut sebenarnya sebuah wacana sejarah. “Panitia ‘gak memikirkan di belakang hari akan timbul masalah yang pelik ketika paradoks dalam teks ini dibuka orang satu persatu. Dari teks itu, dikatakan bahwa pendiri Kota Medan adalah Guru Patimpus, orang karo yang bermarga Sembiring. Namun saat ini ada bantahan berdasarkan teks yang lama, bahwa Guru Patimpus itu bukan marga Sembiring melainkan marga Sinambela, keturunan Singamangaraja,” katanya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh panitia penelitian yang diketuai oleh MA Harahap dan di sahkan oleh DPRD SK No 91Pim/DPRD/74 pada 15 Maret 1975 ini, dikatakan Ichwan harus dikaji ulang. “Melalui teks yang sama, Guru Patimpus itu adalah Timpus anak dari Tuan Si Raja Hita yang merupakan keturunan Raja Sisingamangaraja di Bakkarah. Panitia hari jadi kota Medan telah menanyakan langsung kepada keturunan Sisingamangaraja dan mereka menjawab bahwa tak ada keturunan Sisingamangaraja yang mengarah ke Guru Patimpus. Padahal sebenarnya metode analis wacana dalam sejarah dapat dipakai untuk memahami, kenapa Guru Patimpus yang ada di akhir teks muncul sebagai ulama besar islam, tapi dibagian awal dikaitkan dengan Sisingamangaraja dari Bakarah,” ujar Ichwan lulusan S3 di Universitet Hamburg Jerman ini.

Selanjutnya, dalam penelitian itu, lanjut Ichwan, pertemuan Datuk kota Bangun dengan Guru Patimpus sebagai momentum awal didirikannya Kampung Medan, maka penggunaan tahun 1590 adalah tidak tepat karena Medan sudah ada sebelum Patimpus datang. Kutipan dalam teks itu sendiri yang membantah.

“Seperti ini isinya, tiada berapa lama antaranya maka ia pun pindahlah membuat kampung ke Medan, dan dengan takdir Tuhan pada suatu hari ia lagi tinggal menebas Medan itu bersama-sama dengan anak bininya….., tiada berapa lamanya antaranya hamillah perempuan itu, maka Guru Patimpus pun sudah siap membuat rumahnya dan kampungnya di Medan,” ujar Ichwan membacakan teks tersebut yang sudah ia susun dalam sebuah buku Asal-Usul Kota Medan dalam Riwayat Hamparan Perak.

Dari teks di atas, tambah Ichwan, secara jelas tersirat bahwa daerah Medan itu telah ada sebelum kampung-kampung itu didirikan. “Mengenai tanggal penentuan hari jadi kota Medan, sepertinya panitia galau itu hanya berspekulasi, meraba-raba hari dan tanggal dan menganggap kampung yang didirikan Guru Patimpus dan tahunnya berdasarkan batu nisan yang sudah berada di museum, yang diyakini sebagai makam Imam Siddik yang bertuliskan tahun 1590, padahal jelas pertemuan Guru Patimpus dengan Datuk Kota Bangun terjadi sebelum Datuk kota Bangun alias Imam Siddik meninggal dunia 1590. Kenapa tahun meninggalnya Imam Saddik yang dijadikan tahun pendirian kota,” katanya.

Tambahnya, jika alasan menolak 1 April 1909 karena alasan buatan Belanda, sebenarnya masih ada tanggal lain yang lebih layak, misalnya pindahnya Ibukota Asisten Residen Deli dari Labuhan ke Medan yakni 1879 atau tanggal dipindahkannya Ibukota Residen Sumatera Timur dari Bangkalis ke Medan, yakni 1 Maret 1887 atau pindahnya Istana Kesultanan Deli dari Labuhan ke Medan, 18 Mei 1891.

“Kampung tidak mungkin berevolusi menjadi sebuah kota jika tidak ada faktor-faktor luar yang mendukungnya, seperti ratusan kampung yang sampai sekarang tetap menjadi kampung dan tidak berevolusi menjadi sebuah kota. Kalau pun Guru Patimpus dikatakan menjadi tokoh pendirinya, toh makam Guru Patimpus ada di Hamparan Perak dan tidak terawat. Bahkan tidak ada tanda-tanda peninggalan dari Guru Patimpus di kota Medan. Kita sama saja melakukan penghinaan kepada Guru Patimpus. Medan ada karena industri besar,” ujarnya.

Tambahnya, Guru Patimpus lebih tepat dikatak sebagai perintis bukan pendiri, itu juga sebagai perintis kampung Medan untuk menjadi ramai. “Okelah kalau mau dikatakan ia sebagai pendiri, meskipun ia hanya perintis Medan menjadi ramia. Tapi seharusnya tanggalnya itu, kita seperti merayakan hari ulangtahun Tahayul. Kalau bisa digantilah, biasa kok suatu kota ganti hari jadinya,” katanya.
Untuk perubahan kota Medan sendiri, lanjutnya, sampai saat ini terlihat Medan seperti kota tak beradab, sedang dalam proses penghancuran sejarah. “Kita lihat saja, semua tempat-tempat bersejarah di kota Medan sampai saat ini lama kelamaan habis,” katanya.
Untuk pusat kota Medan, dahulunya dibangun dengan replika Eropa, namun satu per satu hilang replika Eropa tersebut di Medan, jelas perubahan yang radikal. “Kita menghasilkan kota yang tak beradab sekarang ini. Replika eropa itu ada bank, kantor pos, stasiun, lapangan, deretan pertokohan atau di Medan itu Kesawan dan dibelakangnya ada sungai. Namun semua hampir musnah, bayangkan balai kota saja digadaikan sampai 30 tahun ke Hotel Aston. Lapangan bekas perjuangan mau dijadikan lahan parkir. Inilah ciri-ciri kota yang berkembang dan tak beradab,” katanya.

Diharapkannya, 50 tahun ke depan ada pemimpin yang peduli dengan sejarah dan akan membangun banyak replika bangunan sejarah. “Nanti, generasi penerus kita, itu bangunan Aston atau lainnya, 30 tahun lagi itu harus dihancurkan. Kalau bangunan, masih bisa dibangun lagi dengan mirip, arsiteknya , tapi bayangkan pohon-pohon besar yang sengaja didatangkan dari Eropa di lapangan Merdeka itu hancur, tidak bisa kita tanam lagi, butuh waktu yang lama,” katanya.

“Medan sedang dalam proses penghancuran sejarah hingga akhirnya tidak ada kisah yang tersisa. Medan sebuah kota yang tak berkarakter, membunuh masa lalunya. Bahkan tanggal lahirnyapun menyesatkan,” ujarnya.

Sekarang ini kita kembali mengenang Kota Medan tapi tanpa cerita, tanpa sejarah, karena orang-orang didalamnya sedang sibuk menghancurkan masa lalunya. Tak ada lagi kenangan, perayaan sekedar perayaan. Tak ada lagi yang dapat dihadiahkan oleh kota Medan kepada generasi penerus, kita tiap tahun tidak lagi mengenang sisi tingginya peradaban kota ini, karena memori kita disesatkan untuk mengenang sebuah kampung yang absurd. (put/gus/mag-10)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/