29 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Baca Alquran Melalui Indra Perasa

Tak ada manusia yang sempurna. Namun, ketidaksempurnaan bukan alasan untuk tidak beribadah, termasuk bagi mereka yang tunanetra. Dan, di bulan suci ini para tunanetra makin bersemangat mendekatkan diri dengan Tuhan. Meski tanpa mata, mereka seakan tiada henti bertadarus, melafazkan ayat-ayat alquran.

M Sahbainy Nasution, Medan

BACA ALQURAN: Para tunanetra membaca alquran  Pertuni  Jalan Sampul No 30 Medan Petisah.//aminoer rasyid/SUMUT POS
BACA ALQURAN: Para tunanetra membaca alquran di Pertuni di Jalan Sampul No 30 Medan Petisah.//aminoer rasyid/SUMUT POS

Jika tidak percaya silakan kunjungi Jalan Sampul No 30 Medan Petisah. Ya, di tempat itulah sekumpulan orang  tunanetra yang membaca Alquran selayaknya orang normal. Lantuanan ayat suci sangat terdengar saat memasuki bangunan berwarna putih, bertuliskan PersatuanTunanetra Indonesia (Pertuni) Sumut yang berukuran sekitar 1.035 meter persegi ini. Dengan meja yang berukuran 3 meter  berwarna coklat dan bangku kayu, para tunanetra tampak serius membaca alquran.

Mata mereka tak aktif. Banyak dari mereka pun tak hafal alquran. Namun, ayat-ayat itu seakan mengalir begitu indah. Mereka sangat mengandalkan kulit yang ada di jari-jari mereka untuk mengeja alquran. Layaknya orang normal saja mereka asyik  membaca alquran tersebut. Mereka ditentori tiga orang guru yang notabene tunanetra juga. Ya, memang mereka memakai alquran braille. Sebuah alquran yang berbentuk huruf timbul, sedikit lubang kecil, dan bentuknya lebih besar dari alquran biasa. Secara keseluruhan, peserta tadarus ini berbagai daerah seperti Kota Medan, Binjai, Langkat, Deliserdang, Tebingtinggi dan daerah lainnya. Memang, pada bulan suci Ramadan setiap umat Muslim mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dianggap ibadah. Oleh karenanya, banyak umat muslim yang berlomba-lomba mengejar pahala di bulan nan indah ini, termasuk membaca kita suci alquran. Itulah sebagian aktivitas peserta Pertuni Sumut ini.

Sekretaris Daerah (Sekda) Pertuni Sumut, Rusman (40) cukup banyak menceritakan Pertuni Sumut ini. Ia juga seorang tunanetra. Biasanya, pada hari Kamis, anggota yang tergabung di Pertuni Sumut memang melakukan tadarusan. Seiring kebutuhan, selain hari Kamis, Selasa pun dijadikan waktu untuk mengaji. Selain itu, selama Ramadan bisa tiap hari mereka tadarusan.

Rusman menjelaskan, dengan didampingi tiga mentor mereka, peserta tunanetra dibagi menjadi tiga kelompok. Ada yang dikatagorikan pemula, pemantapan, dan yang terakhir  kemahiran.

Dari pembagian inilah mereka bisa fasih membaca alquran. Salah satunya, yang dialami oleh Rusman. Pada saat ini ia masih dikatagorikan  pemantapan. “Saya belajar tidak pada hari yang ditentukan saja. Setiap selesai salat magrib, saya sering mengulang bacaan yang sudah diajarkan,” ungkapnya.
Menurut Rusman, mempelajari alquran braille dan tulisan braille ini tak jauh berbeda banyak. Hanya saja alquran menggunakan bahasa Arab. “Untuk dapat belajar ini kita harus belajar iqra dulu,” kata bapak yang sudah memiliki satu orang anak ini.

Lebih lanjut, ia mengatakan untuk melakukan tadarusan dan belajar alquran selama Ramdan biasanya dimulai dari pagi jam 09.00 dan disudahi sebelum waktu dzuhur tiba. Saat ini saja dengan membaca ramai-ramai mereka sudah sampai juz ke-10. Artinya, tinggal 20 juz lagi mereka khatam. “Karena kami setiap pertemuan biasanya 1 juz baru selesai. Kalau untuk bulan puasa, kita bukan hanya belajar alquran saja, di tempat ini juga kita lakukan untuk salat tasbih,” ujarnya.

Selain Rusman, Kasi (40) dan Supriadi (49) yang merupakan pasangan suami istri (pasutri) mau bebrbagi kisah. Psangan ni tingga di Serdang,Medan. Mereka baru masuk pada tahun ini di Pertuni. Kasi menyatakan, belajar di Pertuni jauh lebih nyaman dari pada di rumah sendiri. “Jadinya, di tempat ini kita berbagi ilmu kepada teman-teman. Setelah sampai ke rumah kita mengulangi apa yang kita pelajari di Pertuni Sumut ini,” ujar singkat wanita yang berjilbab putih itu.

Setelah mereka selesai membaca alquran, tak lama kumandang azan pun tiba. Puluhan tunanetra itupun melaksanakan salat dzuhur berjamaah. Setelah selesai, peserta pun kembali ke rumahnya masing-masing. Setiap orang diberikan uang transport sekitar Rp20 ribu per orang.  Ada yang naik becak motor ada juga yang naik bus yang disediakan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Sumut. “Pertuni Sumut kerja sama dengan Baznas untuk transpor mereka yang rumahnya di luar Kota Medan,” terang Rusman.

Pada dasarnya Pertuni memang diperuntukkan bagi kumpulan tunanetra. Pertuni berdiri pada 1964 di Kota Solo yang diprakarsai 6 orang tunanetra. Singkat cerita, tahun 1966 Presiden Soeharto mengesahkan organisasi ini bernama Pertuni di Jakarta.

Dengan perkembangan waktu, Pertuni ini pun semakin banyak anggotanya.  Pertuni masuk di Sumut sekitar 1998 yang disahkan oleh Gubernur Sumut, Edward Waldemar Pahala (EWP) Tambunan. Awalnya hanya 15 tunanetra yang menjadi anggota. Pada saat ini, untuk di Sumut sudah beranggotakan 1.000 tunanerta yang mempunyai 21 cabang di kabupaten/kota. “Pada dasarnya bersifat sosial, seperti belajar ibadah, memasak, buat grup nasyid dan lainnya,” kata Rusman lagi.

Menurut Rusman, anggota Pertuni tidak hanya beragama Islam. Sebagian ada yang beragama Kristen dan Buddha. “Jadi, di tempat ini ada juga belajar agama Kristen bagi yang memeluknya, sedangkan untuk Buddha sampai sekarang kita masih membutuhkan guru,” tutupnya. (*)

Tak ada manusia yang sempurna. Namun, ketidaksempurnaan bukan alasan untuk tidak beribadah, termasuk bagi mereka yang tunanetra. Dan, di bulan suci ini para tunanetra makin bersemangat mendekatkan diri dengan Tuhan. Meski tanpa mata, mereka seakan tiada henti bertadarus, melafazkan ayat-ayat alquran.

M Sahbainy Nasution, Medan

BACA ALQURAN: Para tunanetra membaca alquran  Pertuni  Jalan Sampul No 30 Medan Petisah.//aminoer rasyid/SUMUT POS
BACA ALQURAN: Para tunanetra membaca alquran di Pertuni di Jalan Sampul No 30 Medan Petisah.//aminoer rasyid/SUMUT POS

Jika tidak percaya silakan kunjungi Jalan Sampul No 30 Medan Petisah. Ya, di tempat itulah sekumpulan orang  tunanetra yang membaca Alquran selayaknya orang normal. Lantuanan ayat suci sangat terdengar saat memasuki bangunan berwarna putih, bertuliskan PersatuanTunanetra Indonesia (Pertuni) Sumut yang berukuran sekitar 1.035 meter persegi ini. Dengan meja yang berukuran 3 meter  berwarna coklat dan bangku kayu, para tunanetra tampak serius membaca alquran.

Mata mereka tak aktif. Banyak dari mereka pun tak hafal alquran. Namun, ayat-ayat itu seakan mengalir begitu indah. Mereka sangat mengandalkan kulit yang ada di jari-jari mereka untuk mengeja alquran. Layaknya orang normal saja mereka asyik  membaca alquran tersebut. Mereka ditentori tiga orang guru yang notabene tunanetra juga. Ya, memang mereka memakai alquran braille. Sebuah alquran yang berbentuk huruf timbul, sedikit lubang kecil, dan bentuknya lebih besar dari alquran biasa. Secara keseluruhan, peserta tadarus ini berbagai daerah seperti Kota Medan, Binjai, Langkat, Deliserdang, Tebingtinggi dan daerah lainnya. Memang, pada bulan suci Ramadan setiap umat Muslim mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dianggap ibadah. Oleh karenanya, banyak umat muslim yang berlomba-lomba mengejar pahala di bulan nan indah ini, termasuk membaca kita suci alquran. Itulah sebagian aktivitas peserta Pertuni Sumut ini.

Sekretaris Daerah (Sekda) Pertuni Sumut, Rusman (40) cukup banyak menceritakan Pertuni Sumut ini. Ia juga seorang tunanetra. Biasanya, pada hari Kamis, anggota yang tergabung di Pertuni Sumut memang melakukan tadarusan. Seiring kebutuhan, selain hari Kamis, Selasa pun dijadikan waktu untuk mengaji. Selain itu, selama Ramadan bisa tiap hari mereka tadarusan.

Rusman menjelaskan, dengan didampingi tiga mentor mereka, peserta tunanetra dibagi menjadi tiga kelompok. Ada yang dikatagorikan pemula, pemantapan, dan yang terakhir  kemahiran.

Dari pembagian inilah mereka bisa fasih membaca alquran. Salah satunya, yang dialami oleh Rusman. Pada saat ini ia masih dikatagorikan  pemantapan. “Saya belajar tidak pada hari yang ditentukan saja. Setiap selesai salat magrib, saya sering mengulang bacaan yang sudah diajarkan,” ungkapnya.
Menurut Rusman, mempelajari alquran braille dan tulisan braille ini tak jauh berbeda banyak. Hanya saja alquran menggunakan bahasa Arab. “Untuk dapat belajar ini kita harus belajar iqra dulu,” kata bapak yang sudah memiliki satu orang anak ini.

Lebih lanjut, ia mengatakan untuk melakukan tadarusan dan belajar alquran selama Ramdan biasanya dimulai dari pagi jam 09.00 dan disudahi sebelum waktu dzuhur tiba. Saat ini saja dengan membaca ramai-ramai mereka sudah sampai juz ke-10. Artinya, tinggal 20 juz lagi mereka khatam. “Karena kami setiap pertemuan biasanya 1 juz baru selesai. Kalau untuk bulan puasa, kita bukan hanya belajar alquran saja, di tempat ini juga kita lakukan untuk salat tasbih,” ujarnya.

Selain Rusman, Kasi (40) dan Supriadi (49) yang merupakan pasangan suami istri (pasutri) mau bebrbagi kisah. Psangan ni tingga di Serdang,Medan. Mereka baru masuk pada tahun ini di Pertuni. Kasi menyatakan, belajar di Pertuni jauh lebih nyaman dari pada di rumah sendiri. “Jadinya, di tempat ini kita berbagi ilmu kepada teman-teman. Setelah sampai ke rumah kita mengulangi apa yang kita pelajari di Pertuni Sumut ini,” ujar singkat wanita yang berjilbab putih itu.

Setelah mereka selesai membaca alquran, tak lama kumandang azan pun tiba. Puluhan tunanetra itupun melaksanakan salat dzuhur berjamaah. Setelah selesai, peserta pun kembali ke rumahnya masing-masing. Setiap orang diberikan uang transport sekitar Rp20 ribu per orang.  Ada yang naik becak motor ada juga yang naik bus yang disediakan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Sumut. “Pertuni Sumut kerja sama dengan Baznas untuk transpor mereka yang rumahnya di luar Kota Medan,” terang Rusman.

Pada dasarnya Pertuni memang diperuntukkan bagi kumpulan tunanetra. Pertuni berdiri pada 1964 di Kota Solo yang diprakarsai 6 orang tunanetra. Singkat cerita, tahun 1966 Presiden Soeharto mengesahkan organisasi ini bernama Pertuni di Jakarta.

Dengan perkembangan waktu, Pertuni ini pun semakin banyak anggotanya.  Pertuni masuk di Sumut sekitar 1998 yang disahkan oleh Gubernur Sumut, Edward Waldemar Pahala (EWP) Tambunan. Awalnya hanya 15 tunanetra yang menjadi anggota. Pada saat ini, untuk di Sumut sudah beranggotakan 1.000 tunanerta yang mempunyai 21 cabang di kabupaten/kota. “Pada dasarnya bersifat sosial, seperti belajar ibadah, memasak, buat grup nasyid dan lainnya,” kata Rusman lagi.

Menurut Rusman, anggota Pertuni tidak hanya beragama Islam. Sebagian ada yang beragama Kristen dan Buddha. “Jadi, di tempat ini ada juga belajar agama Kristen bagi yang memeluknya, sedangkan untuk Buddha sampai sekarang kita masih membutuhkan guru,” tutupnya. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/