Momen Ramadan dan Lebaran selalu dinantikan semua umat muslim di dunia. Tak terkecuali pemain dan pelatih PSMS versi PT Liga Indonesia. Namun berbeda dari Ramadan-Ramadan biasanya kali ini mereka harus benar-benar menghadapi ujian sulit tanpa gaji. Karena itu melakoni pekerjaan di tempat lain yang tidak biasa dilakoni menjadi pilihan demi kebutuhan keluarga menyambut Lebaran dan sehari-hari.
Seperti Coly Misrun, asisten pelatih PSMS LI yang terpaksa harus bekerja sambilan di pabrik. “Ya terpaksa cari uang lah memenuhi kebutuhan selama puasa. Mau makan apa kalau tidak kerja. Mengharapkan gaji gak turun-turun. Saya kerja mocok-mocoklah di pabrik di sekitar Klambir Lima,” ujarnya.
Coly mengungkap itu saat ditanya kondisinya dan keluarganya selama Ramadan. Bahkan ia menyebut tahun lalu masih lebih baik saat ia masih menjadi pelatih SSB. “Ramadan ini lah yang paling berat. Kalau tahun lalu saya melatih SSB saja masih lebih jelas. Setidaknya ada uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan puasa. Kalau tahun ini uang darimana?,” jelasnya.
Selama ini sebagai pemain, Coly bisa dibilang mengecap hal yang manis dari sepak bola. Sejak bermain di Harimau Tapanuli, PSMS hingga merantau ke klub luar seperti Persiter Ternate, ia selalu bisa berharap banyak dari sepak bola. Tapi tidak dengan tahun ini saat ia melakoni karir profesional pertama di jenjang kepelatihan.
Selain dari pabrik Coly juga berharap dari sedikit uang dari bermain Old Crack bersama beberapa mantan pemain. Uang dari situ juga yang dialirkannya untuk perobatan istrinya yang terbaring lemah di rumah. “Ya setidaknya ada juga sikit dari situ. Kalau lagi main dapat duit bisa berobat. Kondisinya sedikit lebih baik. Tapi mana ada uang untuk bawa ke rumah sakit,” ungkapnya.
Sementara itu Mardianto, pelatih kiper PSMS mengatakan saat ini tetap bertanggung jawab sebagai kepala keluarga meskipun tak ada pendapatan dari PSMS. “Selama saya di sepak bola dari kemampuan saya untuk menghidupi keluarga. Sebagai pemain dulu dan pelatih kiper. Baru tahun inilah PSMS terburuk yang pernah saya lihat. Tak ada apapun sejak melatih tahun lalu. Saya tidak mau mengeluh. Percuma tak akan ada yang peduli di Medan ini. Saya mencari uang untuk kebutuhan keluarga dari apa yang bisa saya kerjakan,” ujar pria yang gemar menggunakan topi ini.
Tahun lalu Mardianto yang masih berstatus pelatih PON Sumut masih bernafas lega saat Ramadan dan Lebaran. Ketika itu ia masih mendapat gaji yang lancar. “Ya jelas lebih baik tahun lalulah. Setidaknya saya bisa berlebaran bersama keluarga. Tahun ini apa yang saya dapat? Malah uang pribadi saya nyangkut di PSMS ini,” ujarnya.
Mardianto tak habis pikir dengan Ketua Umum Indra Sakti Harahap yang terlihat acuh dengan keadaan tim yang harusnya menjadi tanggung jawabnya. “Setidaknya ada harusnya dia berikan. Ini sementara buat lebaran dan puasa. Kan setidaknya kita masih bisa lebih menghargai. Kok sama sekali tidak ya,” ujarnya.
Sudah panjang lebar cerita miris pemain dan pelatih PSMS diungkap selama ini. Namun tak juga ada kepekaan dari Ketua umum Indra Sakti Harahap. Sampai kapan derita ini berlanjut? (*)