26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Ini Bagian dari Penularan

Kerusuhan di Lapas Labuhanruku di Kabupaten Batubara, ditengarai buah rentetan dari kerusuhan Lapas Tanjunggusta, Medan, pada 13 Juli 2013 lalu. Indikasi ini tak hanya berdasarkan perkiraan semata, tapi mengacu tradisi pemenjaraan di berbagai negara. Saat kerusuhan di satu Lapas berhasil dilakukan, sejumlah narapidana di Lapas lain terinspirasi melakukan ‘proyek’ yang sama.

Tren ini sulit dibendung sebagai konsekuensi arus informasi yang begitu cepat. Pemindahkan tahanan dari satu Lapas ke Lapas lain juga dianggap tak efektif. Apa sebetulnya terjadi dengan pola pembinaan Lapas? Berikut petikan wawancara wartawan Sumut Pos, Ken Girsang, dengan Prof Dr Adrianus Meliala.

Kerusuhan Lapas kembali terjadi. Gejala apa sebenarnya yang bisa dilihat dalam hal ini?

Saya belum tahu pasti apa penyebabnya. Namun kalau melihat kebiasaan, ketika ada kerusuhan di sebuah Lapas, maka akan ada penularan. Dan itu terjadi dimana-mana. Apalagi dalam kasus kerusuhan yang di Lapas Labuhan Ruku, katanya ada narapidana dari Lapas lain yang di pindah ke Lapas tersebut yang membuat onar, sehingga menimbulkan keresahan.

Artinya kerusuhan terjadi karena ada tren?

Biasanya seperti itu. Sebelum terjadi kerusuhan di Labuhan Ruku, kerusuhan di Lapas Tanjunggusta kan lebih dulu terjadi. Informasi itu yang menyebar dengan cepat. Mereka (narapidana) juga kan menonton televisi, atau juga ketika ada sanak saudara yang berkunjung, bisa saja mereka yang bawa informasi tersebut. Atau katakanlah narapidana tidak boleh membawa telepon genggam, tapi tetap saja mereka bisa memilikinya. Nah dengan adanya omongan atau informasi, memberi inspirasi. Jadi ide kerusuhan yang sama menjadi tertular.

Anda lihat pemerintah gagal mengelola Lapas?

Saya belum bisa mengatakan hal seperti itu. Tapi yang pasti orang-orang di Jakarta baik itu DPR maupun banyak pihak lainnya, menganggap manajemen Lapas itu harus seperti dewa. Kalau tidak ada sarana, sumber daya manusia (SDM), itu bagaimana bisa terwujud? Bagaimana mau membuat semua narapidana berada di dalam sel, kalau yang jaga nggak ada.

Menurut Anda pemindahan napi ke Lapas lain, apakah solusi yang baik?

Saya kira itu juga tidak akan menyelesaikan masalah. Tapi memang untuk sementara terpaksa dilakukan, mengingat kondisi Lapas yang rusak akibat kerusuhan. Nanti begitu Lapas yang lama selesai diperbaiki, mereka harus dikembalikan ke tempat semula.

Langkah apa yang perlu ditempuh Kemenkum dan HAM?

Sebenarnya solusinya gampang-gampang susah. Soalnya persepsi orang agak jelek (terhadap keberadaan Lapas selama ini). Tapi dalam hal ini memang perlu langkah-langkah strategis. Mungkin salah satunya mengembangkan komunikasi dengan para narapidana. Petugas juga perlu menjalin komunikasi yang intensif dengan petugas Lapas di seluruh Indonesia.

Sebetulnya seperti apa Anda melihat kondisi Lapas saat ini?

Secara realistis kita harus menyatakan SDM-nya sangat kurang. Lalu anggaran operasional juga. Makanya selama ini manajemen yang dikembangkan di Lapas yaitu menciptakan situasi keseimbangan.

Situasi keseimbangan itu seperti apa?

Jadi para petugas (sipir) hanya mengharapkan dapat menghadapi para narapidana dengan kata-kata imbauan dan lain-lain. Makanya kalau tiba-tiba situasi di dalam Lapas resah, itu sangat berbahaya memunculkan aksi-aksi kerusuhan. Tentunya dengan imbauan, para napi diberi sedikit kelonggaran. Ruang geraknya tidak terlalu dibatasi, sehingga kalau menyimpang-menyimpang sedikit tidak menjadi masalah. Ini yang terjadi di semua Lapas di Indonesia.

Bisa diberikan contoh?

Contohnya mungkin pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan baru, misalnya para napi tertentu tidak diberi remisi. Padahal selama ini mereka memerolehnya. Kondisi ini kalau ada yang mengompori (menghasut), tentu mengakibatkan keseimbangan tersebut menjadi terganggu. Jadi ada banyak hal yang mengakibatkan keseimbangan tersebut menjadi terganggu.

Tapi keseimbangan yang dibarter kebebasan tanpa batas di dalam Lapas kan tidak dibenarkan?

Iya pasti. Tapi inilah gambaran nyata Lapas yang ada di Indonesia selama ini. Di mata orang maunya kan serba sempurna. Tapi mau ditangani bagaimana kalau semua serba kekurangan. Ketika mereka melawan saja jumlah petugas tidak mencukupi. Orang negara tidak kasih duit, penanganannya tentu sulit.

Harapan Anda agar masalah Lapas ini bisa terselesaikan?

Seperti yang tadi saya katakan, agak susah kalau semuanya tidak dibenahi. Intinya pemerintah tetap harus mengambil langkah yang diperlukan dan jangan mengambil kebijakan yang salah. Salah satunya lewat komunikasi. Karena perlu diketahui, narapidana itu kan orang yang kehilangan kemerdekaannya. Beberapa orang tentu akan terus berupaya dengan cara apa saja sehingga mereka dapat memeroleh kembali kebebasan yang hilang tersebut. (*)

Kerusuhan di Lapas Labuhanruku di Kabupaten Batubara, ditengarai buah rentetan dari kerusuhan Lapas Tanjunggusta, Medan, pada 13 Juli 2013 lalu. Indikasi ini tak hanya berdasarkan perkiraan semata, tapi mengacu tradisi pemenjaraan di berbagai negara. Saat kerusuhan di satu Lapas berhasil dilakukan, sejumlah narapidana di Lapas lain terinspirasi melakukan ‘proyek’ yang sama.

Tren ini sulit dibendung sebagai konsekuensi arus informasi yang begitu cepat. Pemindahkan tahanan dari satu Lapas ke Lapas lain juga dianggap tak efektif. Apa sebetulnya terjadi dengan pola pembinaan Lapas? Berikut petikan wawancara wartawan Sumut Pos, Ken Girsang, dengan Prof Dr Adrianus Meliala.

Kerusuhan Lapas kembali terjadi. Gejala apa sebenarnya yang bisa dilihat dalam hal ini?

Saya belum tahu pasti apa penyebabnya. Namun kalau melihat kebiasaan, ketika ada kerusuhan di sebuah Lapas, maka akan ada penularan. Dan itu terjadi dimana-mana. Apalagi dalam kasus kerusuhan yang di Lapas Labuhan Ruku, katanya ada narapidana dari Lapas lain yang di pindah ke Lapas tersebut yang membuat onar, sehingga menimbulkan keresahan.

Artinya kerusuhan terjadi karena ada tren?

Biasanya seperti itu. Sebelum terjadi kerusuhan di Labuhan Ruku, kerusuhan di Lapas Tanjunggusta kan lebih dulu terjadi. Informasi itu yang menyebar dengan cepat. Mereka (narapidana) juga kan menonton televisi, atau juga ketika ada sanak saudara yang berkunjung, bisa saja mereka yang bawa informasi tersebut. Atau katakanlah narapidana tidak boleh membawa telepon genggam, tapi tetap saja mereka bisa memilikinya. Nah dengan adanya omongan atau informasi, memberi inspirasi. Jadi ide kerusuhan yang sama menjadi tertular.

Anda lihat pemerintah gagal mengelola Lapas?

Saya belum bisa mengatakan hal seperti itu. Tapi yang pasti orang-orang di Jakarta baik itu DPR maupun banyak pihak lainnya, menganggap manajemen Lapas itu harus seperti dewa. Kalau tidak ada sarana, sumber daya manusia (SDM), itu bagaimana bisa terwujud? Bagaimana mau membuat semua narapidana berada di dalam sel, kalau yang jaga nggak ada.

Menurut Anda pemindahan napi ke Lapas lain, apakah solusi yang baik?

Saya kira itu juga tidak akan menyelesaikan masalah. Tapi memang untuk sementara terpaksa dilakukan, mengingat kondisi Lapas yang rusak akibat kerusuhan. Nanti begitu Lapas yang lama selesai diperbaiki, mereka harus dikembalikan ke tempat semula.

Langkah apa yang perlu ditempuh Kemenkum dan HAM?

Sebenarnya solusinya gampang-gampang susah. Soalnya persepsi orang agak jelek (terhadap keberadaan Lapas selama ini). Tapi dalam hal ini memang perlu langkah-langkah strategis. Mungkin salah satunya mengembangkan komunikasi dengan para narapidana. Petugas juga perlu menjalin komunikasi yang intensif dengan petugas Lapas di seluruh Indonesia.

Sebetulnya seperti apa Anda melihat kondisi Lapas saat ini?

Secara realistis kita harus menyatakan SDM-nya sangat kurang. Lalu anggaran operasional juga. Makanya selama ini manajemen yang dikembangkan di Lapas yaitu menciptakan situasi keseimbangan.

Situasi keseimbangan itu seperti apa?

Jadi para petugas (sipir) hanya mengharapkan dapat menghadapi para narapidana dengan kata-kata imbauan dan lain-lain. Makanya kalau tiba-tiba situasi di dalam Lapas resah, itu sangat berbahaya memunculkan aksi-aksi kerusuhan. Tentunya dengan imbauan, para napi diberi sedikit kelonggaran. Ruang geraknya tidak terlalu dibatasi, sehingga kalau menyimpang-menyimpang sedikit tidak menjadi masalah. Ini yang terjadi di semua Lapas di Indonesia.

Bisa diberikan contoh?

Contohnya mungkin pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan baru, misalnya para napi tertentu tidak diberi remisi. Padahal selama ini mereka memerolehnya. Kondisi ini kalau ada yang mengompori (menghasut), tentu mengakibatkan keseimbangan tersebut menjadi terganggu. Jadi ada banyak hal yang mengakibatkan keseimbangan tersebut menjadi terganggu.

Tapi keseimbangan yang dibarter kebebasan tanpa batas di dalam Lapas kan tidak dibenarkan?

Iya pasti. Tapi inilah gambaran nyata Lapas yang ada di Indonesia selama ini. Di mata orang maunya kan serba sempurna. Tapi mau ditangani bagaimana kalau semua serba kekurangan. Ketika mereka melawan saja jumlah petugas tidak mencukupi. Orang negara tidak kasih duit, penanganannya tentu sulit.

Harapan Anda agar masalah Lapas ini bisa terselesaikan?

Seperti yang tadi saya katakan, agak susah kalau semuanya tidak dibenahi. Intinya pemerintah tetap harus mengambil langkah yang diperlukan dan jangan mengambil kebijakan yang salah. Salah satunya lewat komunikasi. Karena perlu diketahui, narapidana itu kan orang yang kehilangan kemerdekaannya. Beberapa orang tentu akan terus berupaya dengan cara apa saja sehingga mereka dapat memeroleh kembali kebebasan yang hilang tersebut. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/