JAKARTA- Komisi XI DPR RI menilai pembelian pesawat MA 60 dari Tiongkok telah melanggar Undang-Undang. Pasalnya, Merpati Nusantara Airlines (MNA) dan pemerintah telah meneken perjanjian sebelum mendapat persetujuan dari Badan Anggaran DPR.
“Ini sudah melanggar Undang-Undang, karena Merpati dan pemerintah lebih dahulu bertindak sebelum disetujui,” ujar Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis usai rapat dengar pendapat dengan Kementerian Keuangan, PT MNA, Bappenas, PT Perusahaan Pengelola Aset, Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, dan Kementerian BUMN kemarin.
Menurut kronologisnya, Kementerian Keuangan dan PT MNA telah menandatangani SLA (subsidiary loan agreement) pengadaan MA-60 pada 11 Juni 2010. Saat itu, Badan Anggaran belum memberikan persetujuan. “Badan Anggaran baru memberikan persetujuan pada 30 Agustus 2010 setelah melewati pembahasan pada 18-23 Agustus 2010 oleh Panitia Kerja SLA,” tegasnya.
Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan, Agus Supriyanto mengakui bahwa Kementerian Keuangan dan Merpati telah meneken perjanjian penerusan pinjaman dalam bentuk SLA dari EXIM Bank of China pada 11 Juni 2010. “Tapi, itu belum efektif. Baru efektif setelah ada persetujuan Banggar pada 30 Agustus 2010,” tuturnya.
Sekjen Kementerian Keuangan Mulia P Nasution berdalih, dana SLA dari Exim Bank of China, tidak diterima langsung oleh pemerintah. Dana sebesar 1,8 miliar renminbi itu ditransfer langsung ke rekening Xian Aircraft menggunakan withdrawn application. “Dengan aplikasi itu, pada neraca kita akan tercantum penerimaan pinjaman sekaligus penerusan pinjaman. Jadi dana tercatat in dan out,” tegasnya.
Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines membeberkan kronologi pengadaan pesawat jenis MA-60 itu. Menurut dia, pengadaan pesawat MA 60 itu berawal dari adanya kebutuhan. “Ketika itu, banyak bupati di daerah yang ingin dilayani dengan penerbangan Merpati. Jadi kita lantas mencari pesawat yang cocok buat ke daerah-daerah,” cetusnya. Lantaran belum ada Keputusan Menteri Nomor 6 Tahun 2006 , Merpati lalu memutuskan melaporkan kebutuhan itu kepada Kementerian Perhubungan.
Bak gayung bersambut, ada tawaran dari Xian Air Craft selaku produsen MA-60. Kemudian, terjadi pembicaraan di antara keduanya di Point Comission Meeting Indonesia-China pada 29 Agustus 2005.
Sardjono mengatakan, Xian Aircraft Company selaku produsen mempersyaratkan adanya persetujuan dari pemerintah sebagai kuasa pemegang saham, skema finansial, dan penandatanganan kedua belah pihak. “Karena mendesak dan belum mendapat skema finansial, kami memutuskan lease (sewa) dengan kondisi kalau skema finansial ditemukan, uang lease dikembalikan,” terangnya.
Dia menegaskan, sebelum memutuskan mengambil MA-60 sebagai pilihan, Merpati telah menyeleksi produsen pesawat lainnya, termasuk sempat menerima tawaran dari PT Dirgantara Indonesia. Tapi akhirnya, Merpati tidak jadi mengambil pesawat dalam negeri karena ketika itu produksi CN-250 dihentikan. “Kita kembali seleksi pesawat-pesawat dari luar,” ungkapnya.
Akhirnya, maskapai pelat merah itu mempertimbangkan untuk menyeleksi beberapa jenis pesawat dengan spesifikasi yang dibutuhkan untuk penerbangan ke daerah-daerah, antara lain ATR 72, Dash 8 Q 400 tipe propeler dari Bombardier Aerospace. “Mereka semua mahal, bisa USD 19-20 juta per unit. Makanya, pilihan pada MA-60 (harganya disebutkan USD 11,2 juta per unit-red),” kata Sardjono.
Selanjutnya, Merpati memutuskan menyewa dua unit MA-60 pada 2007 dengan menggunakan dana hasil usaha sebagai security deposit. Sardjono mengatakan, penyertaan modal negara sebesar Rp 75 miliar dan Rp 450 miliar yang dianggarkan dalam APBN 2005 sama sekali tidak digunakan untuk pembiayaan sewa dua pesawat itu. “Kita tidak pakai dana itu,” tuturnya.
Sementara itu, mantan Presiden BJ Habibie mengaku tidak tahu pasti kualitas pesawat MA-60 yang belum lama ini memakan korban jiwa. Namun, jika benar pesawat yang dibeli PT Merpati itu tidak memenuhi standar FAA, dirinya menilai hal itu seharusnya tidak terjadi.
Menurut dia, jika bicara pesawat, pemerintah atau maskapai manapun harus melihat sejarah panjang terbentuknya FAA. “Kita harus melihat sejarah industri penerbangan. Jika bicara yang terbesar dan tertua, itu adalah Amerika Serikat,” kata Habibie.
Mantan Menteri Riset dan Teknologi itu menyatakan, Amerika sudah hampir satu abad mengembangkan industri pesawat. Hampir 100 tahun lalu, setiap pabrik pesawat di Amerika menggaransi kualitas pesawat mereka masing-masing. “Namun, kecelakaan tentu terjadi, banyak pengalaman-pengalaman yang membuat mereka susah,” kata dia.(bay/jpnn)