30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Mira Lesmana Akhirnya Garap Sokola Rimba

Dari kiri, Butet Manurung, Riri Riza, Prisia Nasution, dan Mira Lesmana saat peluncuran buku Sokola Rimba di Pondok Indah Mal, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu.
Dari kiri, Butet Manurung, Riri Riza, Prisia Nasution, dan Mira Lesmana saat peluncuran buku Sokola Rimba di Pondok Indah Mal, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu.

MIRA Lesmana dan Riri Riza akan merilis film terbaru, Sokola Rimba, akhir bulan ini. Sebelumnya, cerita tentang kehidupan Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi itu akan diangkat ke layar lebar oleh sutradara Hollywood.

Tetapi karena kesulitan mencari partner, sutradara asal Negeri Paman Sam itu mengurungkan niatnya. ”Sutradara Amerika Serikat itu kesulitan mencari partner, jadi kelanjutannya nggak ada lagi,” ungkap Butet Manurung, penulis buku Sokola Rimba, di Pondok Indah Mal, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu.

Rencana sutradara itu pun sempat membuat Mira yang sangat tertarik memfilmkan buku Sokola Rimba, mundur. Dia berpikir sudah telat karena Butet keburu menandatangani kontrak dengan rumah produksi Hollywood.

”Kita sudah lama tertarik dengan buku ini untuk difilmkan, tapi ada miss komunikasi. Saya kira sudah ada hak paten untuk difilmkan oleh orang lain,” kata Mira. Mungkin jodoh, Riri bertemu dengan Butet dalam sebuah acara di Makassar, Sulawesi Selatan.

Lantas, Riri mengungkapkan keinginannya menyutradarai film tentang Sokola Rimba, dan Butet langsung menyetujuinya. Butet tahu sepak terjang Riri dan Mira di dunia perfilman Indonesia. Keduanya kerap mengangkat tema anak dan pendidikan semisal Laskar Pelangi (2008) dan Atambua 39 Derajat Celcius (2012). ”Saya sempat khawatir, saya harus memastikan film ini tidak menjadi komersialisasi orang rimba,” kata Butet.

Butet adalah seorang antropolog yang mengenalkan baca tulis kepada masyarakat pedalaman dengan tinggal bersama mereka selama beberapa bulan. Setelah Jambi, dia mengembangkan sistem Sokola Rimba itu di Halmahera dan Flores.

”Saya ingin orang-orang yang menonton film (Sokola Rimba) ini menjadi terbuka pikirannya, sehingga tidak menganggap orang rimba adalah orang terbelakang,” harap perempuan kelahiran Jakarta, 21 Februari 1972 itu lalu tersenyum.

Mira menambahkan, Sokola Rimba merupakan buku keempat yang diangkatnya ke layar lebar. Sebelumnya, dia mengadaptasi buku Catatan Seorang Demonstran menjadi film Gie (2005), Laskar Pelangi (2008), dan Sang Pemimpi (2009).

Selama ini, istri aktor senior Mathias Muchus itu enggan menyamakan cerita film yang diproduserinya persis dengan bukunya. ”Saya punya prinsip, tidak harus sama film dengan bukunya. Tidak mungkin kita bekerja keras mencapai itu. Kalau pun terjadi, itu tak lebih interpretasi si pembuat film,” tuturnya.

Hal serupa diungkapkan sutradara Riri Riza. Menurutnya, film punya kelebihan tersendiri dibandingkan buku, yakni mengedepankan aspek audio visual. Jadi, film dan buku tak bisa dibuat sama persis.

”Banyak tokoh yang harus disesuaikan. Tokoh Nyungsang Bungo misal, di bukunya tidak ada. Tapi plotnya saya ambil dari apa yang ada di buku,” terangnya. ”Banyak penonton film Harry Potter lalu membandingkan dengan bukunya. Betapa ruginya mereka,” sambung pria 43 tahun itu. (ash)

Dari kiri, Butet Manurung, Riri Riza, Prisia Nasution, dan Mira Lesmana saat peluncuran buku Sokola Rimba di Pondok Indah Mal, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu.
Dari kiri, Butet Manurung, Riri Riza, Prisia Nasution, dan Mira Lesmana saat peluncuran buku Sokola Rimba di Pondok Indah Mal, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu.

MIRA Lesmana dan Riri Riza akan merilis film terbaru, Sokola Rimba, akhir bulan ini. Sebelumnya, cerita tentang kehidupan Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi itu akan diangkat ke layar lebar oleh sutradara Hollywood.

Tetapi karena kesulitan mencari partner, sutradara asal Negeri Paman Sam itu mengurungkan niatnya. ”Sutradara Amerika Serikat itu kesulitan mencari partner, jadi kelanjutannya nggak ada lagi,” ungkap Butet Manurung, penulis buku Sokola Rimba, di Pondok Indah Mal, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu.

Rencana sutradara itu pun sempat membuat Mira yang sangat tertarik memfilmkan buku Sokola Rimba, mundur. Dia berpikir sudah telat karena Butet keburu menandatangani kontrak dengan rumah produksi Hollywood.

”Kita sudah lama tertarik dengan buku ini untuk difilmkan, tapi ada miss komunikasi. Saya kira sudah ada hak paten untuk difilmkan oleh orang lain,” kata Mira. Mungkin jodoh, Riri bertemu dengan Butet dalam sebuah acara di Makassar, Sulawesi Selatan.

Lantas, Riri mengungkapkan keinginannya menyutradarai film tentang Sokola Rimba, dan Butet langsung menyetujuinya. Butet tahu sepak terjang Riri dan Mira di dunia perfilman Indonesia. Keduanya kerap mengangkat tema anak dan pendidikan semisal Laskar Pelangi (2008) dan Atambua 39 Derajat Celcius (2012). ”Saya sempat khawatir, saya harus memastikan film ini tidak menjadi komersialisasi orang rimba,” kata Butet.

Butet adalah seorang antropolog yang mengenalkan baca tulis kepada masyarakat pedalaman dengan tinggal bersama mereka selama beberapa bulan. Setelah Jambi, dia mengembangkan sistem Sokola Rimba itu di Halmahera dan Flores.

”Saya ingin orang-orang yang menonton film (Sokola Rimba) ini menjadi terbuka pikirannya, sehingga tidak menganggap orang rimba adalah orang terbelakang,” harap perempuan kelahiran Jakarta, 21 Februari 1972 itu lalu tersenyum.

Mira menambahkan, Sokola Rimba merupakan buku keempat yang diangkatnya ke layar lebar. Sebelumnya, dia mengadaptasi buku Catatan Seorang Demonstran menjadi film Gie (2005), Laskar Pelangi (2008), dan Sang Pemimpi (2009).

Selama ini, istri aktor senior Mathias Muchus itu enggan menyamakan cerita film yang diproduserinya persis dengan bukunya. ”Saya punya prinsip, tidak harus sama film dengan bukunya. Tidak mungkin kita bekerja keras mencapai itu. Kalau pun terjadi, itu tak lebih interpretasi si pembuat film,” tuturnya.

Hal serupa diungkapkan sutradara Riri Riza. Menurutnya, film punya kelebihan tersendiri dibandingkan buku, yakni mengedepankan aspek audio visual. Jadi, film dan buku tak bisa dibuat sama persis.

”Banyak tokoh yang harus disesuaikan. Tokoh Nyungsang Bungo misal, di bukunya tidak ada. Tapi plotnya saya ambil dari apa yang ada di buku,” terangnya. ”Banyak penonton film Harry Potter lalu membandingkan dengan bukunya. Betapa ruginya mereka,” sambung pria 43 tahun itu. (ash)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/