26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Warga Mardinding Gelar Ritual ‘Ercibal Belo’

Ritual Ercibal Belo untuk menenangkan Gunung Sinabung.
Ritual Ercibal Belo untuk menenangkan Gunung Sinabung.

SUMUTPOS.CO – Erupsi Gunung Sinabung tak kunjung reda, warga Desa Mardinding, Kec. Tiga Nderket menggelar ritual ercibal belo (meletakkan sekapur sirih-red) di Rumah Njulu, Selasa (12/11) siang. Budaya ini dilangsungkan untuk memanjatkan doa agar warga dijauhkan dari bala bencana Gunung Sinabung.

Menurut Kepala Desa Mardinding Johan Sitepu, ritual ini dimulai dengan membawa dua ndiru (tampah-red) yang di atasnya telah diletakkan Pajuh-pajuhen (sesajen-red) seperti nasi tumpeng dan daging ayam yang telah dimasak. Dari sana, peserta yang jumlahnya sekitar 25 orang itu lantas masuk ke rumah Kepala Desa Mardinding.

Di sana, warga memanjatkan doa sesuai agama dan kepercayaan masing–masing yang intinya memohon bantuan agar Sang Kuasa menjauhkan bencana letusan Gunung Sinabung.

Setelah itu, dipimpin Tokoh Adat Desa Mardinding, Sulaiman Singarimbun, warga pun bergegas menuju lokasi upacara, tepatnya di Rumah Njulu yang berada tepat di atas kamar mandi umum desa tersebut. Setelah bersama-sama membersihkan lokasi, peserta pun membuat meja sederhana dari bambu yang di atasnya kemudian dibentangkan daun pisang sebagai alas tampah berisi sesajen. Di atas meja bambu itu juga turut diletakkan sesajen lain seperti jeruk purut,sirih, rokok dan ramu ramuan lain yang sesuai arahan dibawa oleh anak perana (karang taruna).

Tak lama berselang setelah melakukan ritual memanggil roh, seorang ibu berusia 75 tahun bernama Gayang Br Surbakti yang jadi mediator tiba-tiba kerasukan dan menari-nari di lokasi upacara. Setelah itu, Gayang pun berbicara dalam Bahasa Karo yang intinya menyuruh masyarakat untuk tak lagi melakukan perbuatan yang melanggar norma adat dan norma lainnya. “Prinsipnya kita diharapkan jangan lagi berbuat salah, karena penunggu gunung marah jika kesalahan itu kemudian menjadi kebiasaan,” ujar Johan menerangkan pesan roh yang merasuki tubuh Gayang. Tak lama setelah mediator sadar, sesajen tadi pun ditinggal begitu saja di atas meja. Karena digelar tanpa gendang, ritual itu lebih cepat selesai.

Setelah itu, seluruh peserta ritual pulang dan makan bersama hidangan yang telah disediakan sebelumnya. Selaian itu, ritual harus segera diakhiri karena pihaknya dianjurkan untuk segera keluar dari desa mengingat erupsi kembali terjadi tengah hari itu. Ritual sejenis juga pernah terlaksana dalam konteks yang lebih besar tiga tahun silam, saat erupsi Gunung Sinabung. Waktu itu, warga Desa Kuta Rakyat atau yang dulunya disebut Desa Toraja Berneh, Kec. Naman Teran yanag menggelar ritual dalam bentuk “Majuh Buah Huta“ di lokasi keramat, Ulu Tapin di atas kamar mandi umum desa.

Gelar acara dilakukan setelah banyak warga di radius 6 Km dari Gunung Sinabung mendapat mimpi di tengah ancaman letusan Gunung Sinabung. Kala itu, ritual digelar dengan mempersiapkan bahan-bahan yang nantinya akan disatukan dalam anjab (tempat persembahan). Kala itu tampak warga bahu membahu mempersiapkan sirih, kapur, gambir ,kemenyan, bara api, janur, bambu dan pohon pisang. Setelah semuanya tersedia, barulah bahan ritual tadi ditempatkan di lokasi pemujaan berlangsung. Dari sudut timur, alunan musik asal organ tunggal dimainkan perlahan mengiringi langkah pemajuhan. Meski ritual ini telah lama tak berlangsung, tetap saja tradisi ini mampu menaikkan spirit mistisme. Daya magisnya bisa membuat warga kerasukan, dan kemudian menari nari menyerupai gerakan tari wanita dengan sorot matanya terus memandangi Puncak Gunung Sinabung yang dari kejauhan terus mengeluarkan debu vulkanik.

Olah taripun berimbas pada warga lain bersatu dengan para penunggu Ulu Tapin seperti Pa Megoh. Ritual berlanjut, beberapa nenek-nenek yang ada di sana langsung mencolekkan  bahan bahan Pajuh Pajuh yang disebut putar ke pipi warga yang berada di sekitar arena ritual, dimulai dari penduduk yang bermarga Sitepu, selaku pendiri desa. Peletakan putar ini diyakini berfungsi mengembalikan semangat masyarakat yang hilang pasca letusan Gunung Sinabung. Setelah semuanya usai, warga dibimbing para tokoh desa meninggalkan lokasi ritual menuju pusat desa untuk gelar makan bersama dengan tujuan membina rasa kekompakan antar penduduk dalam menghadapi bencana. Ritual ini kata salah satu penduduk, Star Sembiring merupakan apresiasi masyarakat untuk mengingat para leluhur, ada dugaan kalau selama ini mereka telah banyak melupakan arwah penunggu kawasan Sinabung, Lau Kawar dan Pancur Pitu, Sigarang Garang serta Ulu Tapin Kuta Rakyat.(nang/deo)

Ritual Ercibal Belo untuk menenangkan Gunung Sinabung.
Ritual Ercibal Belo untuk menenangkan Gunung Sinabung.

SUMUTPOS.CO – Erupsi Gunung Sinabung tak kunjung reda, warga Desa Mardinding, Kec. Tiga Nderket menggelar ritual ercibal belo (meletakkan sekapur sirih-red) di Rumah Njulu, Selasa (12/11) siang. Budaya ini dilangsungkan untuk memanjatkan doa agar warga dijauhkan dari bala bencana Gunung Sinabung.

Menurut Kepala Desa Mardinding Johan Sitepu, ritual ini dimulai dengan membawa dua ndiru (tampah-red) yang di atasnya telah diletakkan Pajuh-pajuhen (sesajen-red) seperti nasi tumpeng dan daging ayam yang telah dimasak. Dari sana, peserta yang jumlahnya sekitar 25 orang itu lantas masuk ke rumah Kepala Desa Mardinding.

Di sana, warga memanjatkan doa sesuai agama dan kepercayaan masing–masing yang intinya memohon bantuan agar Sang Kuasa menjauhkan bencana letusan Gunung Sinabung.

Setelah itu, dipimpin Tokoh Adat Desa Mardinding, Sulaiman Singarimbun, warga pun bergegas menuju lokasi upacara, tepatnya di Rumah Njulu yang berada tepat di atas kamar mandi umum desa tersebut. Setelah bersama-sama membersihkan lokasi, peserta pun membuat meja sederhana dari bambu yang di atasnya kemudian dibentangkan daun pisang sebagai alas tampah berisi sesajen. Di atas meja bambu itu juga turut diletakkan sesajen lain seperti jeruk purut,sirih, rokok dan ramu ramuan lain yang sesuai arahan dibawa oleh anak perana (karang taruna).

Tak lama berselang setelah melakukan ritual memanggil roh, seorang ibu berusia 75 tahun bernama Gayang Br Surbakti yang jadi mediator tiba-tiba kerasukan dan menari-nari di lokasi upacara. Setelah itu, Gayang pun berbicara dalam Bahasa Karo yang intinya menyuruh masyarakat untuk tak lagi melakukan perbuatan yang melanggar norma adat dan norma lainnya. “Prinsipnya kita diharapkan jangan lagi berbuat salah, karena penunggu gunung marah jika kesalahan itu kemudian menjadi kebiasaan,” ujar Johan menerangkan pesan roh yang merasuki tubuh Gayang. Tak lama setelah mediator sadar, sesajen tadi pun ditinggal begitu saja di atas meja. Karena digelar tanpa gendang, ritual itu lebih cepat selesai.

Setelah itu, seluruh peserta ritual pulang dan makan bersama hidangan yang telah disediakan sebelumnya. Selaian itu, ritual harus segera diakhiri karena pihaknya dianjurkan untuk segera keluar dari desa mengingat erupsi kembali terjadi tengah hari itu. Ritual sejenis juga pernah terlaksana dalam konteks yang lebih besar tiga tahun silam, saat erupsi Gunung Sinabung. Waktu itu, warga Desa Kuta Rakyat atau yang dulunya disebut Desa Toraja Berneh, Kec. Naman Teran yanag menggelar ritual dalam bentuk “Majuh Buah Huta“ di lokasi keramat, Ulu Tapin di atas kamar mandi umum desa.

Gelar acara dilakukan setelah banyak warga di radius 6 Km dari Gunung Sinabung mendapat mimpi di tengah ancaman letusan Gunung Sinabung. Kala itu, ritual digelar dengan mempersiapkan bahan-bahan yang nantinya akan disatukan dalam anjab (tempat persembahan). Kala itu tampak warga bahu membahu mempersiapkan sirih, kapur, gambir ,kemenyan, bara api, janur, bambu dan pohon pisang. Setelah semuanya tersedia, barulah bahan ritual tadi ditempatkan di lokasi pemujaan berlangsung. Dari sudut timur, alunan musik asal organ tunggal dimainkan perlahan mengiringi langkah pemajuhan. Meski ritual ini telah lama tak berlangsung, tetap saja tradisi ini mampu menaikkan spirit mistisme. Daya magisnya bisa membuat warga kerasukan, dan kemudian menari nari menyerupai gerakan tari wanita dengan sorot matanya terus memandangi Puncak Gunung Sinabung yang dari kejauhan terus mengeluarkan debu vulkanik.

Olah taripun berimbas pada warga lain bersatu dengan para penunggu Ulu Tapin seperti Pa Megoh. Ritual berlanjut, beberapa nenek-nenek yang ada di sana langsung mencolekkan  bahan bahan Pajuh Pajuh yang disebut putar ke pipi warga yang berada di sekitar arena ritual, dimulai dari penduduk yang bermarga Sitepu, selaku pendiri desa. Peletakan putar ini diyakini berfungsi mengembalikan semangat masyarakat yang hilang pasca letusan Gunung Sinabung. Setelah semuanya usai, warga dibimbing para tokoh desa meninggalkan lokasi ritual menuju pusat desa untuk gelar makan bersama dengan tujuan membina rasa kekompakan antar penduduk dalam menghadapi bencana. Ritual ini kata salah satu penduduk, Star Sembiring merupakan apresiasi masyarakat untuk mengingat para leluhur, ada dugaan kalau selama ini mereka telah banyak melupakan arwah penunggu kawasan Sinabung, Lau Kawar dan Pancur Pitu, Sigarang Garang serta Ulu Tapin Kuta Rakyat.(nang/deo)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/