JAKARTA – Pemerintah melakukan revisi aturan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas impor barang tertentu. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbaru mengatur sebanyak 872 produk dikenakan PPh sebesar 7,5 persen atau naik dari yang sebelumnya hanya 2,5 persen.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, daya beli masyarakat yang terus naik seiring meningkatnya penerimaan memang menjadi pemicu tingginya permintaan domestik. Sayangnya, industri dalam negeri belum mampu memenuhinya sehingga produk impor pun membanjiri Indonesia. “Karena itu, pajak kita naikkan untuk mengerem impor,” ujarnya saat konferensi pers paket kebijakan ekonomi di Kementerian Keuangan, Senin, kemarin (9/12).
Menurut Chatib, rendahnya pajak membuat barang impor bisa dijual dengan cukup murah di Indonesia. “Untuk itu, sekarang kita naikkan pajaknya menjadi 7,5 persen,” katanya.
Chatib mengakui, kenaikan pajak impor ini dilakukan secara selektif. Misalnya, barang modal atau bahan baku yang digunakan untuk industri dalam negeri, tidak dikenakan kenaikan pajak, agar industri dalam negeri tetap bisa mempertahankan produktifitasnya. “Intinya, yang pajaknya dinaikkan adalah barang konsumsi dengan nilai impor signifikan, tapi tidak memberi dampak besar pada inflasi,” ucapnya.
Wakil Menteri keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, produk konsumsi berupa makanan tidak masuk dalam kategori barang yang dikenakan tambahan pajak. Sebab, memiliki pengaruh signifikan pada inflasi. “Misalnya mie instan atau produk makanan olahan lainnya, tidak kena (tambahan pajak),” ujarnya.
Lalu, barang apa saja yang pajaknya dinaikkan? Bambang mengatakan, total ada 502 jenis barang berdasar kode Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI). Namun, secara garis besar bisa dibagi dalam empat kelompok barang.
Pertama, produk elektronik dan handphone. Nah, harga ponsel tahun depan diperkirakan akan naik.”Dia (importir) akan menaikkan harga atau mengurangi volume impor,” ungkap Bambang.
Lewat kenaikan harga, diharapkan konsumsi pembelian ponsel oleh masyarakat dapat berkurang. Sehingga impor bisa berkurang, dan membantu menyelesaikan defisit neraca perdagangan yang menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. “Itu paling tidak akhirnya akan membantu. Jadi paling tidak bisa mengurangi volumenya (impor),” sebutnya.
Seperti diketahui, ponsel merupakan produk konsumsi akhir, yang tidak bisa diolah lebih lanjut. Saat ini ponsel masih merupakan barang modal. “HP dan laptop, itu tergolong dalam barang modal tapi nggak bisa diolah lebih lanjut. Makanya kita kenakan (kenaikan PPh),” sebutnya.
Bambang menuturkan, impor ponsel yang terjadi saat ini sangat besar. Bahkan dalam datanya, impor ini nomor kedua terbesar setelah komponen minyak dan gas bumi (migas). “Jadi setelah impor migas kan paling tinggi. Nah, impor non migas menurut barang, itu yang pertama adalah HP. Jadi itu tolong dilihat skemanya seperti itu. Impor HP itu sangat besar,” terangnya.
Kedua, lanjutnya, kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh atau completely built-up (CBU). Sehingga, kendaraan bermotor yang diimpor secara terpisah komponennya atau completely knocked down (CKD), kendaraan hybrid atau listrik, serta kendaraan berpenumpang lebih dari 10 seperti bus. Ketiga, produk tas, baju, alas kaki, perhiasan, termasuk parfum atau minyak wangi. Keempat, furnitur, perlengkapan rumah tangga dan mainan.
Ia menuturkan, ratusan barang impor tersebut juga memiliki kriteria khusus. Pertama adalah bukan barang yang digunakan untuk industri dalam negeri dan kedua adalah barang konsumtif dengan nilai impor yang signifikan dan tidak memberikan dampak inflasi. Aturan ini akan diterbitkan dalam kurun waktu dua hari ke depan. Sehingga akan berlaku pada awal Januari 2014. (owi/jpnn)