25 C
Medan
Monday, November 11, 2024
spot_img

Awas, Ir. Faisal Lari

MEDAN-Hukuman terhadap Kadis PU Deliserdang, Faisal telah diperberat Majelis Hakim Tinggi menjadi 12 tahun penjara. Namun Faisal masih mendapat angin segar ketika majelis hakim dalam putusannya tidak memerintahkan dilakukan penahanan. Putusan itu, masih menimbulkan kecurigaan, apalagi selama di Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Sumut hanya menetapkan Faisal menjadi tahanan rumah.

Praktisi Hukum, Nuriono mengatakan vonis tinggi yang dijatuhkan majelis hakim PT Sumut patut diapresiasi. Tetapi, tidak dikeluarkannya perintah penahanan kepada terdakwa patut dipertanyakan.

Ir Faisal//batara/sumut pos
Ir Faisal//batara/sumut pos

“Tidak adanya perintah menahan oleh hakim, ini yang harus dikoreksi hakim. Mengingat terdakwa pernah tersangkut kasus yang sama dan selama persidangan tidak mengakui perbuatannya. Seharusnya hakim mengeluarkan perintah penahanan. Ini tentu menimbulkan kekecewaan. Seharusnya saat seseorang dinyatakan bersalah, tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak menahan. Kita menilai masih ada intervensi dan mafia peradilan disini,” tegasnya, Minggu (29/12).

Menurut Nuriono, dengan tidak ditahannya terdakwa Faisal, potensi untuk melarikan diri cukup besar. Ada banyak kasus terpidana korupsi saat putusan sudah inkrah seketika menghilang misalnya saja kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indobesia Rp2,2 triliun yang menjerat Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Sudjiono Timan. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memperberat hukumannya menjadi 15 tahun penjara. Namun, Jaksa tak sempat mengeksekusinya karena terpidana keburu kabur.

“Contoh lainnya yakni perkara pidana korupsi dalam kasus perambahan hutan di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, yang menjerat Pemilik PT KNDI dan PT.Mujur Timber Adelin Lis. Di tingkat kasasi, MA membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama dengan menjatuhkan putusan kepada Adelin Lis selama 10 tahun penjara. Mengetahui vonis itu, Adelin Lis seketika menghilang. Sehingga ditetapkan sebagai buronan dan menjadi DPO Polda Sumut dalam kasus dugaan money laundry (pencucian uang). Tentunya ini menambah masalah baru. Kita khawatir, ketika putusan sudah inkrah, Faisal ini meniru langkah pendahulunya yang lebih dulu kabur,” tegas Nuriono.

Dirinya meminta agar ke depannya, pelaku tindak pidana korupsi yang dinyatakan bersalah, harus dikeluarkan perintah penahanan. “Untuk Faisal ini, Jaksa juga harus memantau keberadaannya. Ke depannya harus ada pengawasan dari KY terhadap isi putusan majelis hakim. Meski KY tidak bisa mempengaruhi putusan hakim, tapi mengingat di pengadilan tingkat pertama dan kedua tidak dikeluarkan perintah penahanan walau pun dakwaan jaksa sudah terbukti, ini menjadi preseden adanya praktik mafia peradilan yang masih mempengaruhi putusan hakim,” bebernya.

Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tinggi Sumut memberatkan hukuman Faisal menjadi 12 tahun penjara. Dia terbukti bersalah mengorupsi anggaran proyek pemeliharaan dan pembangunan jalan dan jembatan di Dinas PU Deliserdang yang merugikan negara sebesar Rp105,83 miliar yang berasal dari APBD 2010 sebesar Rp178 miliar.

Adapun pertimbangan hakim, terhadap hal-hal memberatkan perbuatan terdakwa tidak melaksanakan clean gooverment (pemerintah yang bersih dan tertib), perbuatan terdakwa telah menghilangkan kepercayaan masyarakat atas Pengelolaan Keuangan Negara, terdakwa tidak mengakui dan menyesali perbuatan yang telah dilakukan dan terdakwa sudah dua kali diajukan ke persidangan dengan perbuatan yang sejenis.

Namun, dalam amar putusannya, Majelis Hakim Banding mempertimbangkan bahwa terdakwa dalam menghadapi perkara ini pernah ditahan dan di tahan dalam tahanan rumah, yang mana tahanan rumah tersebut, sudah berakhir pada tanggal 23 November 2013. Maka Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat tidak ada cukup alasan untuk memperpanjang status tahanan rumah.

Sebagaimana diketahui, majelis hakim pada Pengadilan Negeri Medan sebelumnya menetapkan status tahanan Faisal dari tahanan Rutan Tanjunggusta menjadi tahanan rumah. Saat itu, hakim beralasan bahwa Faisal menderita suatu penyakit. Namun tindakan hakim, mendapat perhatian serius dari Komisi Yudisial RI. Sebab pengalihan penahanan itu tidak dibacakan saat persidangan. Bahkan terdakwa Faisal memiliki penyakit yang sama dengan Bendara Dinas PU Deliserdang Elvian.

Selain itu, keterangan sakit terdakwa dikeluarkan oleh RS Sari Mutiara Lubukpakam. Seharusnya pernyataan sakit untuk terdakwa dikeluarkan oleh dokter independent. Jika kedua terdakwa memang sakit, seharusnya dibantarkan di rumah sakit. Berdasarkan informasi yang diperoleh, akibat penetapan penahanan itu, majelis hakim Pengadilan Negeri Medan yang menyidangkan perkara itu yakni Denny L Tobing serta beranggotakan hakim Sugiyanto, Jonner Manik, Kemas Ahmad Jauhari, dan Denny Iskandar telah dijatuhi sanksi ringan oleh Mahkamah Agung. Karena tindakan mereka dinilai menyalahi aturan. (far/rbb)

MEDAN-Hukuman terhadap Kadis PU Deliserdang, Faisal telah diperberat Majelis Hakim Tinggi menjadi 12 tahun penjara. Namun Faisal masih mendapat angin segar ketika majelis hakim dalam putusannya tidak memerintahkan dilakukan penahanan. Putusan itu, masih menimbulkan kecurigaan, apalagi selama di Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Sumut hanya menetapkan Faisal menjadi tahanan rumah.

Praktisi Hukum, Nuriono mengatakan vonis tinggi yang dijatuhkan majelis hakim PT Sumut patut diapresiasi. Tetapi, tidak dikeluarkannya perintah penahanan kepada terdakwa patut dipertanyakan.

Ir Faisal//batara/sumut pos
Ir Faisal//batara/sumut pos

“Tidak adanya perintah menahan oleh hakim, ini yang harus dikoreksi hakim. Mengingat terdakwa pernah tersangkut kasus yang sama dan selama persidangan tidak mengakui perbuatannya. Seharusnya hakim mengeluarkan perintah penahanan. Ini tentu menimbulkan kekecewaan. Seharusnya saat seseorang dinyatakan bersalah, tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak menahan. Kita menilai masih ada intervensi dan mafia peradilan disini,” tegasnya, Minggu (29/12).

Menurut Nuriono, dengan tidak ditahannya terdakwa Faisal, potensi untuk melarikan diri cukup besar. Ada banyak kasus terpidana korupsi saat putusan sudah inkrah seketika menghilang misalnya saja kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indobesia Rp2,2 triliun yang menjerat Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Sudjiono Timan. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memperberat hukumannya menjadi 15 tahun penjara. Namun, Jaksa tak sempat mengeksekusinya karena terpidana keburu kabur.

“Contoh lainnya yakni perkara pidana korupsi dalam kasus perambahan hutan di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, yang menjerat Pemilik PT KNDI dan PT.Mujur Timber Adelin Lis. Di tingkat kasasi, MA membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama dengan menjatuhkan putusan kepada Adelin Lis selama 10 tahun penjara. Mengetahui vonis itu, Adelin Lis seketika menghilang. Sehingga ditetapkan sebagai buronan dan menjadi DPO Polda Sumut dalam kasus dugaan money laundry (pencucian uang). Tentunya ini menambah masalah baru. Kita khawatir, ketika putusan sudah inkrah, Faisal ini meniru langkah pendahulunya yang lebih dulu kabur,” tegas Nuriono.

Dirinya meminta agar ke depannya, pelaku tindak pidana korupsi yang dinyatakan bersalah, harus dikeluarkan perintah penahanan. “Untuk Faisal ini, Jaksa juga harus memantau keberadaannya. Ke depannya harus ada pengawasan dari KY terhadap isi putusan majelis hakim. Meski KY tidak bisa mempengaruhi putusan hakim, tapi mengingat di pengadilan tingkat pertama dan kedua tidak dikeluarkan perintah penahanan walau pun dakwaan jaksa sudah terbukti, ini menjadi preseden adanya praktik mafia peradilan yang masih mempengaruhi putusan hakim,” bebernya.

Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tinggi Sumut memberatkan hukuman Faisal menjadi 12 tahun penjara. Dia terbukti bersalah mengorupsi anggaran proyek pemeliharaan dan pembangunan jalan dan jembatan di Dinas PU Deliserdang yang merugikan negara sebesar Rp105,83 miliar yang berasal dari APBD 2010 sebesar Rp178 miliar.

Adapun pertimbangan hakim, terhadap hal-hal memberatkan perbuatan terdakwa tidak melaksanakan clean gooverment (pemerintah yang bersih dan tertib), perbuatan terdakwa telah menghilangkan kepercayaan masyarakat atas Pengelolaan Keuangan Negara, terdakwa tidak mengakui dan menyesali perbuatan yang telah dilakukan dan terdakwa sudah dua kali diajukan ke persidangan dengan perbuatan yang sejenis.

Namun, dalam amar putusannya, Majelis Hakim Banding mempertimbangkan bahwa terdakwa dalam menghadapi perkara ini pernah ditahan dan di tahan dalam tahanan rumah, yang mana tahanan rumah tersebut, sudah berakhir pada tanggal 23 November 2013. Maka Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat tidak ada cukup alasan untuk memperpanjang status tahanan rumah.

Sebagaimana diketahui, majelis hakim pada Pengadilan Negeri Medan sebelumnya menetapkan status tahanan Faisal dari tahanan Rutan Tanjunggusta menjadi tahanan rumah. Saat itu, hakim beralasan bahwa Faisal menderita suatu penyakit. Namun tindakan hakim, mendapat perhatian serius dari Komisi Yudisial RI. Sebab pengalihan penahanan itu tidak dibacakan saat persidangan. Bahkan terdakwa Faisal memiliki penyakit yang sama dengan Bendara Dinas PU Deliserdang Elvian.

Selain itu, keterangan sakit terdakwa dikeluarkan oleh RS Sari Mutiara Lubukpakam. Seharusnya pernyataan sakit untuk terdakwa dikeluarkan oleh dokter independent. Jika kedua terdakwa memang sakit, seharusnya dibantarkan di rumah sakit. Berdasarkan informasi yang diperoleh, akibat penetapan penahanan itu, majelis hakim Pengadilan Negeri Medan yang menyidangkan perkara itu yakni Denny L Tobing serta beranggotakan hakim Sugiyanto, Jonner Manik, Kemas Ahmad Jauhari, dan Denny Iskandar telah dijatuhi sanksi ringan oleh Mahkamah Agung. Karena tindakan mereka dinilai menyalahi aturan. (far/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/