TAHUN 2013, PSMS melanjutkan kisah kelamnya. Episode dualisme klub berlambang daun tembakau yang dimulai tahun 2012 berlanjut dengan cerita yang tak kalah tragis. Bermain di kasta kedua ternyata tak menyurutkan niat untuk tetap melanjutkan PSMS yang terpecah.
Dua tim PSMS yang terbentuk untuk bermain di Divisi Utama beda operator yakni PT Liga Indonesia (LI) dan PT LPIS berjalan terpincang-pincang. PSMS versi PT LI dengan kepengurusan yang dipimpin Indra Sakti Harahap sudah bermasalah dengan dana di awal kompetisi. Tak jauh berbeda dengan PSMS versi Benny Sihotang yang berlaga di Divisi Utama PT LPIS terkendala persoalan yang sama.
Sempat meyakinkan di awal Januari dengan penandatanganan kontrak pemain, kepengurusan Indra Sakti lalu mulai mengulang cerita tunggakan gaji seperti musim sebelumnya. Pemain hanya menerima satu bulan gaji dengan jumlah yang tidak merata sesuai kontrak dan selanjutnya harus gigit jari.
Hal itu pun berdampak pada performa tim di kompetisi. Berkiprah dengan klub-klub Sumatera seperti PS Bangka, Persisko Tanjung Jabung Barat, PSAP dan PS Bengkulu, Ayam Kinantan hanya mampu finish di posisi ketiga setelah mengalami kekalahan di laga terakhir di Bangka. Target lolos ke babak delapan besar pun gagal.
Kerja keras Suharto AD berserta asistennya Coly Misrun dan Mardianto memotivasi tim diwarnai kondisi memprihatinkan. Mulai dari dapur yang tak mengepul, perlengkapan latihan yang sempat terbengkalai di lantai hingga PSMS berlatih dengan kostum belang, serta kegagalan berangkat ke Bengkulu menjadi cerita pahit yang mewarnai. Ditengah suasana tim yang rapuh, masuk upaya mafia pengaturan skor untuk menyogok PSMS agar kalah dengan bantuan CEO tim, Heru Prawono. Upaya yang secara heroik dimentahkan Suharto bersama timnya.
“Kita sudah berusaha dengan keras untuk memotivasi anak-anak. Kita punya peluang lolos besar, tapi semuanya gagal akibat ketidakpedulian pengurus. Kami juga menolak kalah karena PSMS punya harga diri yang tidak bisa dijual,” ujar Suharto miris ketika itu.
Tidak tahan dengan perlakukan pengurus, 11 pemain memisahkan diri dari rombongan dan kemudian ke Jakarta untuk melaporkan kondisi miris klub kepada PSSI dan PT Liga Indonesia. Hardiantono dkk terluntang-lantung di Jakarta dan bukannya mendapat solusi malah mendapat sanksi denda dari Komdis PSSI.
Kondisi PSMS versi LPIS yang dibesut Edy Syahputra juga sama mirisnya. Sempat menggebrak dengan kontrak besar dengan menggaet sejumlah bintang seperti Saktiawan Sinaga dan Donny Fernando Siregar, PSMS juga kesulitan pendanaan. Diawali dengan mundurnya manajer Yohanna Pardede lalu kaburnya CEO Wimvi Tri Hadi dengan meninggalkan sejumlah persoalan gaji pemain yang tak selesai.
Tim akhirnya diambil alih manajer Syukri Wardi untuk tetap ikut kompetisi meskipun kompetisi sudah tidak jelas arahnya menyusul Kongres Luar Biasa PSSI Maret yang menyatukan dua kubu yang bersebrangan. Tim akhirnya bubar di tengah jalan pasca putaran pertama usai.
Lalu pada Agustus 2013,rencana penyatuan pun mulai digeber dengan pencabutan mandat kedua ketua umum oleh klub-klub anggota PSMS. Namun proses menuju Rapat Anggota Luar Biasa (RALB) untuk menetapkan ketua umum baru tidak berjalan lancar karena sepi peminat.
Toha Saut, anggota DPRD Banten yang juga pengusaha kuliner di Medan menjadi sosok pertama yang tertarik namun kemudian dicoret dengan anggapan tak serius. Nama Randiman Tarigan digadang-gadang menjadi ketua umum idaman dengan prestasi tim di tahun 2007 kala menjabat manajer. Namun kondisi finansial tim yang buruk membuat Randiman enggan hingga muncullah asa baru di akhir tahun dengan terpilihnya dr Muhammad Fauzi Nasution menakhodai PSMS di RALB 6 Desember di Grand Angkasa.
Fauzi pun melontarkan harapan baru untuk PSMS edisi baru yang sejatinya baru dimulai pada Januari mendatang. Tugas berat dengan beban setumpuk berupa utang gaji terhadap pemain menjadi persoalan awal yang harus diselesaikan jika PSMS mau berkompetisi di 2014.
“Bukan PSMS yang bermasalah. Tapi orang-orang di dalamnya. Karena itu saya terpanggil untuk membantu. Meskipun di awal kami dihadapkan pada tugas berat untuk menyelesaikan dosa yang tidak kami buat sebelumnya. Saya yakin PSMS bisa maju menjadi professional setelah dualism ini berakhir,” kata Fauzi. (*)
[table caption=”Perjalanan PSMS 2013″ delimiter=”:”]
11 Januari[attr style=”width:150px”]: Pemain dan pelatih PSMS versi Divisi Utama LI pimpinan Indra Sakti Harahap dikontrak.
11 Februari: Gaji mulai tertunggak. Dapur PSMS LI mulai tak mengepul. Pelatih menghentikan latihan karena tidak tersedia sarapan dan makan siang. Laga kontra PS Bangka sempat nyaris batal digelar karena panpel juga kekurangan uang untuk menggelar laga.
19 Februari: Para pemain PSMS versi LPIS belum juga dikontrak. Pengurus menahan pemain agar tidak hengkang dengan member uang transport.
4 Maret: Pemain PSMS LPIS mogok latihan karena belum dikontrak dan latihan dilanjutkan setelah Kongres PSSI 17 Maret.
20 Maret: Indra Sakti Harahap dan Benny Sihotang bertemu difasilitasi KONI Medan. Namun tak ada kesepakatan untuk bersatu. Duo PSMS tetap jalan masing-masing.
29 Maret: Pemain PSMS LPIS teken kontrak namun tidak disertai uang kontrak.Mereka akhirnya tetap bermain di kompetisi dengan cicilan gaji berwujud pinjaman.
1 April: Suimin dipecat bersama 11 pemain. Namun tidak disertai pembayaran gaji dan kompensasi.PSMS ditangani Suharto AD.
21 April: Ulang tahun ke 63 PSMS di Kebun Bunga dirayakan dengan sederhana dan dihadiri Djohar Arifin Husein.
16 Mei : PSMS LI menghadapi Persisko di Tanjabbar Jambi. PSMS diminta kalah oleh cukong asal Malaysia dan CEO Heru Prawono. Namun Suharto dan pasukannya menolak. Sebelumnya saat menghadapi Persih Tembilahan.
20 Mei: Pemain dan tim pelatih PSMS LI mengadu ke KONI Medan karena gaji tidak dibayar empat bulan. Indra Sakti juga turut dihadirkan. Namun tak ada solusi.
3 Juni: PSMS LI gagal berangkat ke Bengkulu. Pemain menolak berangkat karena pengurus ingkar janji untuk membayar gaji.
12 Juni: 11 Pemain PSMS mengadu ke PSSI dengan tunggakan gaji mencapai 10 bulan dengan total Rp 2,893 Miliar sesuai kesepakatan kontrak. Tapi justru terancam sanksi dari Komdis. Uang sisa subsidi sebesar Rp 200 juta dengan kesepakatan sebagian diperuntukkan untuk pemain tak mengalir ke kocek pemain.
20 Agustus: PSMS LPIS bubar tanpa kata pembubaran. Gaji pemain tak dibayar dan selanjutnya mendapat uang salam tempel Rp 200 ribu dari manajer jelang Lebaran.
21 Agustus: Eks CEO PSMS LI Heru Prawono, eks ketua panpel, H.Saryono dan eks manajer, Sarwono dihukum seumur hidup tak boleh berkecimpung di dunia sepak bola dengan denda Rp 100 juta akibat upaya match fixing. Pemain mendapat hukuman percobaan larangan bermain dan denda Rp 25 juta.
6 Desember: RALB PSMS digelar dengan memilih dr Fauzi sebagai ketua umum. Mandat dua ketua umum dicabut. Dualisme PSMS berakhir.
[/table]