30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Supir Gatot Dipecat

gatotMEDAN,SUMUTPOS.CO-Kabar mengejutkan muncul dari Rumah Dinas Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) di Jalan Sudirman Medan. Beberapa pengurus rumah orang nomor satu di Sumut itu mendadak dipecat. Tidak itu saja, sopir Gubsu Gatot Pujo Nogroho pun mendapat perlakuan yang sama. Dan, Gatot malah tidak mengetahui itu.

Adalah Kepala Biro (Kabiro) Umum Pemprovsu, Nurlela, yang memecat ‘orang-orang terdekat’ Gatot tersebut. Pemecatan  tersebut dilakukan pada 31 Desember 2013 lalu.

Selain pemecatan para pekerja yang mengurusi rumah tangga kegubernuran di antaranya pekerja kebun, pemberi makan hewan peliharaan (rusa), pembersih kolam, hingga tukang masak. Selain itu, pekerja-pekerja yang berstatus sama dengan mereka juga mengalami nasib sama. Total pekerja yang dipecat oleh Kabiro mencapai 146 orang.

Menariknya, pemecatan yang dilakukan Kepala Biro Umum Pemprovsu Nurlela tanpa diketahui Gubsu dan tanpa adanya sosialisasin
dan pemberitahuan secara resmi pada para pekerja harian lepas (PHL).

“Memang memberhentikan mereka (PHL) tanpa diketahui oleh gubernur. Karena pemberhentian ini, kita rapat dulu dan hasil rapatnya akan disampaikan secepatnya,” ujar Kabiro Umum Pemprovsu Nurlela, pada wartawan Kamis (2/1) di Kantor Pemprovsu Jalan Diponegoro Medan.

Nurlela membantah informasi bahwa mereka telah melakukan pemecatan terhadap 200 orang tenaga honorer. “Mereka yang diberhentikan karena telah menyelesaikan kontrak terhadap Tenaga Harian Lepas (THL) terhadap lebih kurang 146 orang,” ujar Nurlela didampingi Kasubbag Humas Pimpinan Setdaprovsu Harvina Zuhra.

Nurlela menambahkan ke depannya mereka akan melakukan rapat dengan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk menindaklanjuti nasib ke-146 orang tersebut apakah bisa masuk ke sistem outsourching.

“Jadi mereka THL bukan tenaga honorer. Mereka bukan dipecat, melainkan kontraknya habis per 31 Desember kemarin,” ujarnya, Kamis (2/1).

Dari ratusan orang yang bekerja di Biro Umum, sambung Nurlela,  ada yang bertugas sebagai sopir, bidang peralatan, administrasi, keprotokolan, pelayan, dan tukang kebun. “Mereka masuk ke Biro Umum sejak Agustus 2011. Mereka sudah ada ketika saya masuk. Saya kan punya rasa prikemanusiaan juga. Jadi diperbaharui kontrak mereka. Inilah nanti kita rapatkan dulu apakah mereka masuk ke outsourching. Kalau di outsourching pun kan ada spesifikasinya. Sementara kalau honorer tidak mungkin, karena dilarang. Jadi nanti pihak ketiga la yang memakai mereka,” bebernya.

Nurlela mengaku sudah beberapa kali memberikan sosialisasi terhadap 146 orang yang diputus kontraknya tepat malam tahun baru. “Sudah saya sosialisasikan dan saya bertujuan untuk menertibkan administrasi. Dan masalah ini BKD sudah mengetahuinya dan mereka masih bekerja. Itulah nanti kita rapatkan dulu. Kita lihat dana di APBD bisa tidak dan khusus itu nanti dirapatkan. Hari Selasa akan dirapatkan kembali yang melibatkan beberapa unsur SKPD,” ujarnya.

Sementara itu Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pemprovsu Pandapotan Siregar mengaku tidak ada mengurusi tenaga-tenaga lepas yang diberhentikan Biro Umum. “BKD hanya mengurusi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam proses pengangkatan dan pemberhentian,”tegas Pandapotan sembari mengatakan bahwa  sesuai peraturan yang ada juga sudah diberitahukan sejak tahun 2005, 2009 kemudian 2011, sudah ada larangan mengangkat tenaga honorer.

Sementara itu pernyataan Nurlela, sangat bertolak belakang dengan pengakuan dan keterangan dari beberapa PHL yang tidak mau namanya di koran. Ketika dijumpai Sumut Pos, mereka mengaku kalau Nurlela tidak pernah melakukan sosialisasi pemberhentian sebelumnya. “Kami tidak pernah menerima sosialisasi. Pada malam tahun baru tepatnya habis maghrib, kami dikumpulkan di ruangan biro umum. Lantas salah seorang pegawai mengatakan bahwa kami tidak usah lagi masuk pada 2 Januari karena kami sudah dirumahkan. Itulah kata mereka kepada kami,” ujar seorang wanita yang sudah bekerja 3 tahun  ini.

Wanita itu mengaku diberhentikan secara semena-mena. Tanpa ada memakai surat resmi. “Padahal pada saat Kabiro Umum Pak Ashari, pengangkatan kami memakai surat resmi. Ya kalaupun kami diberhentikan seharusnya beretikalah. Bukan saya saja yang kena, ada juga rekan kami, sepasang suami istri, mereka juga diberhentikan. Mau makan apa anak-anak mereka kan kasihan,” ujar wanita ini.

Hal serupa juga dikatakan Aini ia sudah 3 tahun bekerja di Biro Umum. Dia dan kawan-kawannya mengaku belum pernah memperoleh pemberitahuan secara resmi perihal pemutusan kontrak.

“Pemutusan dilakukan oleh staf protokoler bernama Amri secara lisan usai maghrib 31 Desember 2013. Kami diperintahkan tinggal di rumah saja pada tanggal 2 Januari sampai ada pemberitahuan lebih lanjut,” kata Aini yang menilai Nurlela terlalu pengecut untuk menjelaskan ke semua pegawai honorer.

Aini menjelaskan, setelah diskusi dengan seorang kawan yang mengerti undang-undang ketenagakerjaan, seharusnya Biro Umum memberitahukan secara resmi dan dalam bentuk surat sebelum memutuskan kontrak.  “Pemberitahuan minimal 3 bulan sebelum habis kontrak agar ada waktu bagi kami untuk mencari pekerjaan lain. Dan bukan tiba-tiba seperti kemarin, seolah-olah kami ini budak,”beber Aini.

Meski berstatus pekerja harian lepas, namun nyatanya Aini dan kawan-kawan bekerja seperti para PNS dengan jam kerja office hour bahkan bisa sampai magrib. Dan, jumlah hari lebih dari 20 hari kerja. Dengan masa kerja lebih dari setahun bahkan ada yang di atas 3 tahun.

Dengan kondisi ini sebenarnya Pemprovsu khususnya Biro Umum telah melakukan pelanggaran Pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-06/MEN/1985 Tahun 1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas.  Pasal tersebut menegaskan pengusaha yang mempekerjakan pekerja harian Lepas lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut dan dalam setiap bulannya lebih dari 20 (dua puluh) hari kerja maka pekerja harian lepas mempunyai hak sama dengan pekerja tetap. Artinya, bila terdapat PHK, Anda dapat menuntut hak berdasarkan ketentuan Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Tak Harus Dipecat
Di sisi lain, Pemprovsu harusnya tidak langsung melakukan pemecatan terhadap tenaga honorer. Pasalnya, meskipun Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak lagi mengenal istilah honorer sehingga pemda sudah tidak boleh lagi menganggarkan gaji untuk mereka, namun UU yang disahkan 19 Desember 2013 itu mengantur mengenai keberadaan Pegawai Pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Nah, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Azwar Abubakar, mengatakan, tenaga honorer yang tidak diangkat menjadi CPNS, punya peluang dialihkan menjadi PPPK. Namun, tetap harus melalui proses seleksi, yang hingga saat ini masih dirumuskan aturannya.

“Tidak menutup kemungkinan honorer yang gagal bisa masuk PPPK, tapi harus ikut prosedur rekrutmen PPPK juga. Jadi tidak serta merta mereka langsung masuk,” terang Azwar Abubakar di Jakarta.

Nah, terkait dengan pemecatan pekerja di Pemprovsu, Azwar menyerahkan sepenuhnya itu sebagai kewenangan Pemda. Termasuk ada tidaknya uang pesangon jika terjadi pemecatan, itu juga menjadi urusan Pemda.

“Kalau daerah masih ingin mempekerjakan honorer, ya silakan saja. Tapi bagi yang tidak bisa mempekerjakan lagi, ya silakan diberhentikan. Apakah diberikan kompensasi atau tidak, itu tergantung kebijakan daerah,” imbuh menteri asal Aceh itu.

Azwar mengatakan, masalah honorer sebenarnya merupakan kesalaham pemda sendiri. Dijelaskan, sejak terbitnya PP Nomor 48 Tahun 2005 jo PP 43 Tahun 207 tentang pengangkatan tenaga honorer, seluruh instansi sudah dilarang mengangkat honorer.

Sayangnya, lanjut dia, masih banyak Pemda yang masih tetap saja mengangkat honorer. “Parahnya lagi ada oknum yang melakukan manipulasi data seolah-olah honorernya bekerja sebelum 2005 atau pas 1 Januari 2005 sehingga dihitung masa kerja setahun,” terang menteri yang juga politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Kembali ke soal PPPK. Menurut Azwar, hingga saat ini pihaknya masih merumuskan aturan mengenai sistem rekrutmennya. Aturan ini merupakan penjabaran UU ASN. Yang jelas, lanjutnya, sistem rekrutmen akan sangat ketat.

“Kalau honorer, daerah yang angkat tanpa perhitungan matang, PPPK harus ada perhitungan jelas. Sebab PPPK haknya sama dengan pegawai negeri, bedanya di pensiun saja,” ulasnya.

Dari ketentuan Pasal Pasal 21 dan 22 UU ASN, terlihat hak PPPK beda-beda tipis dengan yang diterima PNS. Di sana disebutkan, PNS berhak memperoleh: gaji, tunjangan, dan fasilitas. Juga cuti, jaminan pensiun dan jaminan hari tua,  perlindungan, dan pengembangan kompetensi.

Sedang hak PPPK, yang diatur di pasal 22, disebutkan PPPK berhak memperoleh gaji dan tunjangan, cuti, perlindungan, dan pengembangan kompetensi.

Untuk mengangkat PPPK ini, nantinya pemda harus mengusulkan ke pusat. Pusat lah yang akan menentukan, apakah pemda tersebut benar-benar membutuhkan PPPK atau tidak.

“Kalau butuh, baru dikasih. Sistem penerimaan PPPK akan dibuat seperti penerimaan CPNS. Jadi daerah tidak semaunya mengangkat PPPK, tapi pusatlah yang mengatur kuotanya agar tidak kebablasan seperti honorer,” kata dia.

Ditegaskan lagi, di UU ASN sudah tidak dikenal istilah honorer. “Jadi istilah honorer sudah the end. Kalau ada daerah yang ingin mempertahankan honorernya ya silakan. Tapi konsekuensinya jadi tanggung jawab Pemda. Begitu juga kalau daerah ingin menganggarkan dana honorer, silakan saja. Namun ingat, apakah berani mempertanggungjawabkan ke auditor bila ada temuan dana untuk honorer. Sebab, yang namanya honorer tidak ada lagi,” bebernya. (rud/sam/rbb)

gatotMEDAN,SUMUTPOS.CO-Kabar mengejutkan muncul dari Rumah Dinas Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) di Jalan Sudirman Medan. Beberapa pengurus rumah orang nomor satu di Sumut itu mendadak dipecat. Tidak itu saja, sopir Gubsu Gatot Pujo Nogroho pun mendapat perlakuan yang sama. Dan, Gatot malah tidak mengetahui itu.

Adalah Kepala Biro (Kabiro) Umum Pemprovsu, Nurlela, yang memecat ‘orang-orang terdekat’ Gatot tersebut. Pemecatan  tersebut dilakukan pada 31 Desember 2013 lalu.

Selain pemecatan para pekerja yang mengurusi rumah tangga kegubernuran di antaranya pekerja kebun, pemberi makan hewan peliharaan (rusa), pembersih kolam, hingga tukang masak. Selain itu, pekerja-pekerja yang berstatus sama dengan mereka juga mengalami nasib sama. Total pekerja yang dipecat oleh Kabiro mencapai 146 orang.

Menariknya, pemecatan yang dilakukan Kepala Biro Umum Pemprovsu Nurlela tanpa diketahui Gubsu dan tanpa adanya sosialisasin
dan pemberitahuan secara resmi pada para pekerja harian lepas (PHL).

“Memang memberhentikan mereka (PHL) tanpa diketahui oleh gubernur. Karena pemberhentian ini, kita rapat dulu dan hasil rapatnya akan disampaikan secepatnya,” ujar Kabiro Umum Pemprovsu Nurlela, pada wartawan Kamis (2/1) di Kantor Pemprovsu Jalan Diponegoro Medan.

Nurlela membantah informasi bahwa mereka telah melakukan pemecatan terhadap 200 orang tenaga honorer. “Mereka yang diberhentikan karena telah menyelesaikan kontrak terhadap Tenaga Harian Lepas (THL) terhadap lebih kurang 146 orang,” ujar Nurlela didampingi Kasubbag Humas Pimpinan Setdaprovsu Harvina Zuhra.

Nurlela menambahkan ke depannya mereka akan melakukan rapat dengan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk menindaklanjuti nasib ke-146 orang tersebut apakah bisa masuk ke sistem outsourching.

“Jadi mereka THL bukan tenaga honorer. Mereka bukan dipecat, melainkan kontraknya habis per 31 Desember kemarin,” ujarnya, Kamis (2/1).

Dari ratusan orang yang bekerja di Biro Umum, sambung Nurlela,  ada yang bertugas sebagai sopir, bidang peralatan, administrasi, keprotokolan, pelayan, dan tukang kebun. “Mereka masuk ke Biro Umum sejak Agustus 2011. Mereka sudah ada ketika saya masuk. Saya kan punya rasa prikemanusiaan juga. Jadi diperbaharui kontrak mereka. Inilah nanti kita rapatkan dulu apakah mereka masuk ke outsourching. Kalau di outsourching pun kan ada spesifikasinya. Sementara kalau honorer tidak mungkin, karena dilarang. Jadi nanti pihak ketiga la yang memakai mereka,” bebernya.

Nurlela mengaku sudah beberapa kali memberikan sosialisasi terhadap 146 orang yang diputus kontraknya tepat malam tahun baru. “Sudah saya sosialisasikan dan saya bertujuan untuk menertibkan administrasi. Dan masalah ini BKD sudah mengetahuinya dan mereka masih bekerja. Itulah nanti kita rapatkan dulu. Kita lihat dana di APBD bisa tidak dan khusus itu nanti dirapatkan. Hari Selasa akan dirapatkan kembali yang melibatkan beberapa unsur SKPD,” ujarnya.

Sementara itu Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pemprovsu Pandapotan Siregar mengaku tidak ada mengurusi tenaga-tenaga lepas yang diberhentikan Biro Umum. “BKD hanya mengurusi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam proses pengangkatan dan pemberhentian,”tegas Pandapotan sembari mengatakan bahwa  sesuai peraturan yang ada juga sudah diberitahukan sejak tahun 2005, 2009 kemudian 2011, sudah ada larangan mengangkat tenaga honorer.

Sementara itu pernyataan Nurlela, sangat bertolak belakang dengan pengakuan dan keterangan dari beberapa PHL yang tidak mau namanya di koran. Ketika dijumpai Sumut Pos, mereka mengaku kalau Nurlela tidak pernah melakukan sosialisasi pemberhentian sebelumnya. “Kami tidak pernah menerima sosialisasi. Pada malam tahun baru tepatnya habis maghrib, kami dikumpulkan di ruangan biro umum. Lantas salah seorang pegawai mengatakan bahwa kami tidak usah lagi masuk pada 2 Januari karena kami sudah dirumahkan. Itulah kata mereka kepada kami,” ujar seorang wanita yang sudah bekerja 3 tahun  ini.

Wanita itu mengaku diberhentikan secara semena-mena. Tanpa ada memakai surat resmi. “Padahal pada saat Kabiro Umum Pak Ashari, pengangkatan kami memakai surat resmi. Ya kalaupun kami diberhentikan seharusnya beretikalah. Bukan saya saja yang kena, ada juga rekan kami, sepasang suami istri, mereka juga diberhentikan. Mau makan apa anak-anak mereka kan kasihan,” ujar wanita ini.

Hal serupa juga dikatakan Aini ia sudah 3 tahun bekerja di Biro Umum. Dia dan kawan-kawannya mengaku belum pernah memperoleh pemberitahuan secara resmi perihal pemutusan kontrak.

“Pemutusan dilakukan oleh staf protokoler bernama Amri secara lisan usai maghrib 31 Desember 2013. Kami diperintahkan tinggal di rumah saja pada tanggal 2 Januari sampai ada pemberitahuan lebih lanjut,” kata Aini yang menilai Nurlela terlalu pengecut untuk menjelaskan ke semua pegawai honorer.

Aini menjelaskan, setelah diskusi dengan seorang kawan yang mengerti undang-undang ketenagakerjaan, seharusnya Biro Umum memberitahukan secara resmi dan dalam bentuk surat sebelum memutuskan kontrak.  “Pemberitahuan minimal 3 bulan sebelum habis kontrak agar ada waktu bagi kami untuk mencari pekerjaan lain. Dan bukan tiba-tiba seperti kemarin, seolah-olah kami ini budak,”beber Aini.

Meski berstatus pekerja harian lepas, namun nyatanya Aini dan kawan-kawan bekerja seperti para PNS dengan jam kerja office hour bahkan bisa sampai magrib. Dan, jumlah hari lebih dari 20 hari kerja. Dengan masa kerja lebih dari setahun bahkan ada yang di atas 3 tahun.

Dengan kondisi ini sebenarnya Pemprovsu khususnya Biro Umum telah melakukan pelanggaran Pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-06/MEN/1985 Tahun 1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas.  Pasal tersebut menegaskan pengusaha yang mempekerjakan pekerja harian Lepas lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut dan dalam setiap bulannya lebih dari 20 (dua puluh) hari kerja maka pekerja harian lepas mempunyai hak sama dengan pekerja tetap. Artinya, bila terdapat PHK, Anda dapat menuntut hak berdasarkan ketentuan Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Tak Harus Dipecat
Di sisi lain, Pemprovsu harusnya tidak langsung melakukan pemecatan terhadap tenaga honorer. Pasalnya, meskipun Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak lagi mengenal istilah honorer sehingga pemda sudah tidak boleh lagi menganggarkan gaji untuk mereka, namun UU yang disahkan 19 Desember 2013 itu mengantur mengenai keberadaan Pegawai Pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Nah, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Azwar Abubakar, mengatakan, tenaga honorer yang tidak diangkat menjadi CPNS, punya peluang dialihkan menjadi PPPK. Namun, tetap harus melalui proses seleksi, yang hingga saat ini masih dirumuskan aturannya.

“Tidak menutup kemungkinan honorer yang gagal bisa masuk PPPK, tapi harus ikut prosedur rekrutmen PPPK juga. Jadi tidak serta merta mereka langsung masuk,” terang Azwar Abubakar di Jakarta.

Nah, terkait dengan pemecatan pekerja di Pemprovsu, Azwar menyerahkan sepenuhnya itu sebagai kewenangan Pemda. Termasuk ada tidaknya uang pesangon jika terjadi pemecatan, itu juga menjadi urusan Pemda.

“Kalau daerah masih ingin mempekerjakan honorer, ya silakan saja. Tapi bagi yang tidak bisa mempekerjakan lagi, ya silakan diberhentikan. Apakah diberikan kompensasi atau tidak, itu tergantung kebijakan daerah,” imbuh menteri asal Aceh itu.

Azwar mengatakan, masalah honorer sebenarnya merupakan kesalaham pemda sendiri. Dijelaskan, sejak terbitnya PP Nomor 48 Tahun 2005 jo PP 43 Tahun 207 tentang pengangkatan tenaga honorer, seluruh instansi sudah dilarang mengangkat honorer.

Sayangnya, lanjut dia, masih banyak Pemda yang masih tetap saja mengangkat honorer. “Parahnya lagi ada oknum yang melakukan manipulasi data seolah-olah honorernya bekerja sebelum 2005 atau pas 1 Januari 2005 sehingga dihitung masa kerja setahun,” terang menteri yang juga politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Kembali ke soal PPPK. Menurut Azwar, hingga saat ini pihaknya masih merumuskan aturan mengenai sistem rekrutmennya. Aturan ini merupakan penjabaran UU ASN. Yang jelas, lanjutnya, sistem rekrutmen akan sangat ketat.

“Kalau honorer, daerah yang angkat tanpa perhitungan matang, PPPK harus ada perhitungan jelas. Sebab PPPK haknya sama dengan pegawai negeri, bedanya di pensiun saja,” ulasnya.

Dari ketentuan Pasal Pasal 21 dan 22 UU ASN, terlihat hak PPPK beda-beda tipis dengan yang diterima PNS. Di sana disebutkan, PNS berhak memperoleh: gaji, tunjangan, dan fasilitas. Juga cuti, jaminan pensiun dan jaminan hari tua,  perlindungan, dan pengembangan kompetensi.

Sedang hak PPPK, yang diatur di pasal 22, disebutkan PPPK berhak memperoleh gaji dan tunjangan, cuti, perlindungan, dan pengembangan kompetensi.

Untuk mengangkat PPPK ini, nantinya pemda harus mengusulkan ke pusat. Pusat lah yang akan menentukan, apakah pemda tersebut benar-benar membutuhkan PPPK atau tidak.

“Kalau butuh, baru dikasih. Sistem penerimaan PPPK akan dibuat seperti penerimaan CPNS. Jadi daerah tidak semaunya mengangkat PPPK, tapi pusatlah yang mengatur kuotanya agar tidak kebablasan seperti honorer,” kata dia.

Ditegaskan lagi, di UU ASN sudah tidak dikenal istilah honorer. “Jadi istilah honorer sudah the end. Kalau ada daerah yang ingin mempertahankan honorernya ya silakan. Tapi konsekuensinya jadi tanggung jawab Pemda. Begitu juga kalau daerah ingin menganggarkan dana honorer, silakan saja. Namun ingat, apakah berani mempertanggungjawabkan ke auditor bila ada temuan dana untuk honorer. Sebab, yang namanya honorer tidak ada lagi,” bebernya. (rud/sam/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/