JAKARTA- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) menuai pro-kontra. Proses uji materi pengujian pasal 3 ayat 5, pasal 12 ayat 1, pasal 14 ayat 2, dan pasal 112 dari UU tersebut mengundang kontroversi.
Kini, putusan MK yang mengabulkan gugatan yang diajukan Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Serentak itu mendapat reaksi dari Partai Politik peserta Pemilu 2014. Meski putusan tersebut bersifat final, Partai Gerindra yang merupakan salah satu Parpol peserta Pemilu 2014 mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan yang baru berumur sehari tersebut.
Partai besutan Prabowo Subianto itu menilai, MK keliru dalam memutuskan yang dimohonkan Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Serentak. “MK menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Tapi, pelaksanaan Pemilu serentak baru diberlakukan pada 2019 mendatang,” ungkap Kuasa hukum Partai Gerindra, Habiburokhman, kemarin (24/1).
“Itu sangat kontradiktif. Itu merupakan kekhilafan fatal dari majelis hakim. Oleh karena itu, putusan tersebut harus dibatalkan karena ini kan dalam waktu dekat Pileg dan Pilpres. Kalau tidak serentak, maka dibiarkan Pemilu tidak konstitusional. Artinya tidak legitimate,” ujarnya.
Habib menegaskan, tidak ada alasan teknis dan substansial yang memaksa MK menunda berlakunya putusan tersebut. Sebab, jika petimbangan majelis hakim adalah karena tahapan Pemilu sudah berjalan, maka Pemilu Legislatif bisa dimundurkan dua hingga tiga bulan.
“Lebih mudah mengundurkan Pileg dan Pilpres secara serentak pada tiga bulan ke depan. Karena itu hanya soal teknis saja, apa susahnya. Ketimbang hasil Pileg dan Pilpres tahun ini (2014) tak memiliki legalitasnya,” tandasnya.
Meski berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK menyatakan setiap putusan yang dikeluarkan lembaga pengawal konstitusi tersebut bersfiat final dan banding (mengikat). Namun, Habib mengaku masih ada peluang untuk melayangkan gugatan PK.
“Sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK demikian (final dan mengikat). Tapi, kami menggunakan dasar hukum Pasal 24C UUD 1945 yakni MK memutus perkara berdasarkan UUD pada tingkat pertama dan terakhir,” terangnya.
“Pertama adalah yang kemarin dan terakhir itu adalah yang PK ini. Sangat dimungkinkan dalam frasa tersebut diajukan PK. Karena PK pada prinsipnya adalah azas dimana hakim adalah manusia biasa yang mungkin melakukan kesalahan. Hakim konstitusi bukan Tuhan. Harus ada check and re-check,” tegas Habib.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, menegaskan putusan PUU oleh MK tidak bisa dilawan dengan upaya hukum banding, apalagi dengan upaya Peninjauan Kembali (PK).
“Nggak bisa di PK, putusan MK itu pasal 24C (24 C ayat 1 UUD 1945) itu, putusan MK itu tidak bisa dilawan hukum banding, kasasi, upaya PK, jadi tidak bisa ditinjau,” kata Margarito.
Jadi, lanjut Margarito, putusan MK tidak bisa digugat ataupun dilakukan upaya hukum lainnya. Hal itu tak hanya diputusan PUU, melainkan berlaku juga di putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN).
“Tapi biarlah dia (Gerindra) punya kreasi, pas (ketika) MK lagi oleng begini, disaat putusan MK yang ajaib-ajaib. Baguslah masih ada perhatian atas putusan-putusannya,” ujarnya. (ris)