28 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

RS Swasta Banyak yang For Profit

M Iqbal harahap/sumut pos PESERTA BPJS: Seorang peserta BPJS memperlihatkan kartu BPJS Kesehatan.
M Iqbal harahap/sumut pos
PESERTA BPJS: Seorang peserta BPJS memperlihatkan kartu BPJS Kesehatan.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Jumlah rumah sakit (RS) swasta yang bergabung dengan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) masih sedikit. Bahkan di DKI Jakarta, yang menjamur RS swasta kelas bawah hingga mewah sekaligus pusat pemerintahan, jumlah RS swasta yang bergabung masih sedikit.

Kondisi ini diakui sendiri oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi. Minimnya jumlah RS swasta yang bergabung dengan BPJS, berdampak pada sektor pelayanan penanganan rujukan. Jika jumlah RS swasta yang berkongsi dengan BPJS sedikit, bisa dipastikan pelayanan pasien rujukan di RS pemerintah (RSUD) membludak.

Khusus di wilayah DKI Jakarta, dimana kepsertaan RS swasta di BPJS masih rendah, Menkes menegaskan ini PR dari BPJS DKI Jakarta. Tugas utama BPJS DKI Jakarta, kata Nafsiah, harus mencari RS swasta non profit sebanyak-banyaknya untuk diajak bergabung.

“Tetapi di Jakarta kembanyak rumah sakit (RS swasta, red) for profit,” paparnya. RS swasta for profit merupakan kebalikan dari RS swasta non profit. Dalam operasionalnya, RS swasta for profit harus membubukan laba.

Nafsiah menuturkan jika RS swasta yang jelas-jelas bersifat for profit tidak mau bergabung dengan BPJS, ya tidak perlu dipaksa. “Mereka pasti melihat untung dan ruginya bekerjasam dengan BPJS,” jelas Menkes. Nafsiah mengatakan, jika RS swasta itu benar-benar mencermati kondisi RS pemerintah yang bergabung dengan BPJS, tidak perlu khawatir akan rugi. Sebab versi Nafsiah, sebagian besar RS pemerintah menyatakan untung ketika bergabung dengan BPJS.

Sementara itu terkait dengan klaim dari RS kepada BPJS yang bermasalah, Nafsiah meminta segera diatasi. Dia mengatakan bagi klaim-klaim yang belum komplit, pihak BPJS diatur supaya mencairkan separuh dari total klaim yang diajukan. Batasnya adalah 15 hari dari pengajuan klaim tadi. Sementara sisa klaim akan dibayarkan setelah administrasi pengajuan klaim dari RS terpenuhi atau komplit.

Terkait masih mengganjalnya sejumlah pengajuan klaim tadi, Nafsiah meminta RS tidak boleh menurunkan kualitas pelayanan untuk peserta BPJS. Sebab urusan klaim itu merupakan kewenangan internal RS dengan pihak BPJS. Tidak boleh mengorbankan pasien peserta BPJS.

Sedangkan untuk pentarifan pelayanan medis dalam program INA-CBGs, Nafsiah mengatakan segera direvisi. Dia mengatakan sudah memanggil sepuluh RS pemerintah untuk membahas tarif INA-CBGs itu. Hasilnya sembilan RS pemerintah itu mengatakan tidak ada persoalan dengan pentarifan itu.

“Dari sepuluh RS pemerintah itu, sembilan diantaranya mengatakan relatif balance saat menerapkan INA-CBGs,” jelas dia. Tetapi ada satu RS pemerintah yang mengaku tidak balance saat menerapkan pentarifan itu. Setelah dilakukan audit, ternyata satu RS pemerintah itu tidak melakukan efisiensi dalam operasionalnya. (wan)

M Iqbal harahap/sumut pos PESERTA BPJS: Seorang peserta BPJS memperlihatkan kartu BPJS Kesehatan.
M Iqbal harahap/sumut pos
PESERTA BPJS: Seorang peserta BPJS memperlihatkan kartu BPJS Kesehatan.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Jumlah rumah sakit (RS) swasta yang bergabung dengan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) masih sedikit. Bahkan di DKI Jakarta, yang menjamur RS swasta kelas bawah hingga mewah sekaligus pusat pemerintahan, jumlah RS swasta yang bergabung masih sedikit.

Kondisi ini diakui sendiri oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi. Minimnya jumlah RS swasta yang bergabung dengan BPJS, berdampak pada sektor pelayanan penanganan rujukan. Jika jumlah RS swasta yang berkongsi dengan BPJS sedikit, bisa dipastikan pelayanan pasien rujukan di RS pemerintah (RSUD) membludak.

Khusus di wilayah DKI Jakarta, dimana kepsertaan RS swasta di BPJS masih rendah, Menkes menegaskan ini PR dari BPJS DKI Jakarta. Tugas utama BPJS DKI Jakarta, kata Nafsiah, harus mencari RS swasta non profit sebanyak-banyaknya untuk diajak bergabung.

“Tetapi di Jakarta kembanyak rumah sakit (RS swasta, red) for profit,” paparnya. RS swasta for profit merupakan kebalikan dari RS swasta non profit. Dalam operasionalnya, RS swasta for profit harus membubukan laba.

Nafsiah menuturkan jika RS swasta yang jelas-jelas bersifat for profit tidak mau bergabung dengan BPJS, ya tidak perlu dipaksa. “Mereka pasti melihat untung dan ruginya bekerjasam dengan BPJS,” jelas Menkes. Nafsiah mengatakan, jika RS swasta itu benar-benar mencermati kondisi RS pemerintah yang bergabung dengan BPJS, tidak perlu khawatir akan rugi. Sebab versi Nafsiah, sebagian besar RS pemerintah menyatakan untung ketika bergabung dengan BPJS.

Sementara itu terkait dengan klaim dari RS kepada BPJS yang bermasalah, Nafsiah meminta segera diatasi. Dia mengatakan bagi klaim-klaim yang belum komplit, pihak BPJS diatur supaya mencairkan separuh dari total klaim yang diajukan. Batasnya adalah 15 hari dari pengajuan klaim tadi. Sementara sisa klaim akan dibayarkan setelah administrasi pengajuan klaim dari RS terpenuhi atau komplit.

Terkait masih mengganjalnya sejumlah pengajuan klaim tadi, Nafsiah meminta RS tidak boleh menurunkan kualitas pelayanan untuk peserta BPJS. Sebab urusan klaim itu merupakan kewenangan internal RS dengan pihak BPJS. Tidak boleh mengorbankan pasien peserta BPJS.

Sedangkan untuk pentarifan pelayanan medis dalam program INA-CBGs, Nafsiah mengatakan segera direvisi. Dia mengatakan sudah memanggil sepuluh RS pemerintah untuk membahas tarif INA-CBGs itu. Hasilnya sembilan RS pemerintah itu mengatakan tidak ada persoalan dengan pentarifan itu.

“Dari sepuluh RS pemerintah itu, sembilan diantaranya mengatakan relatif balance saat menerapkan INA-CBGs,” jelas dia. Tetapi ada satu RS pemerintah yang mengaku tidak balance saat menerapkan pentarifan itu. Setelah dilakukan audit, ternyata satu RS pemerintah itu tidak melakukan efisiensi dalam operasionalnya. (wan)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/