26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Salve! Polisi Italia pun Langsung Memberi Hormat

Romo Markus Solo Kewuta SVD (paling kiri).
Romo Markus Solo Kewuta SVD (paling kiri).

Romo Markus Solo Kewuta SVD adalah satu-satunya orang Indonesia yang menjadi pejabat di Takhta Suci Vatikan. Wartawan Jawa Pos DOAN WIDHIANDONO menemuinya beberapa waktu lalu di negara kecil itu.

 

MARKUS Solo Kewuta, bocah kecil dari Desa Lewouran, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, itu selalu bersemangat tatkala melihat P. Cor Smit SVD, misionaris dari ordo Societas Verbi Divini (Serikat Sabda Allah). Tarekat para biarawan dan pastor itu didirikan Santo Arnoldus Janssen dari Jerman pada 1875. Anggota serikat religius-misionaris itu lantas berkeliling ke seluruh dunia untuk berkarya. Termasuk Cor Smit, pastor Belanda, yang bertugas di ujung timur Pulau Flores tersebut.

Di mata Markus dan anak-anak di desa kecil itu, Cor Smit tak ubahnya pahlawan. Pater Cor Smit “panggilannya” kerap membagi-bagikan gula-gula. Tak pelak, saat Cor Smit berkunjung ke Lewouran memakai kuda, anak-anak berlarian mengejarnya. Cor Smit juga sering membagikan obat-obatan untuk warga yang membutuhkan. Bagi warga Lewouran, Cor Smit bukan sekadar pembimbing rohani. Dia juga sahabat, guru, sekaligus dokter. Bagi Markus, Cor Smit termasuk salah seorang yang menginspirasi dirinya hingga menjadi pemuka agama Katolik.

Selain Cor Smit, Markus tergerak masuk biara lantaran cerita kakak sulungnya, Yosef Bukubala. Saat Markus kecil, si sulung yang usianya lebih tua 11 tahun itu sudah bersekolah di SMA Seminari Menengah San Domingo Hokeng, Larantuka. Yosef yang kini jadi pastor SVD dan bertugas di Paroki Santo Paulus, Juanda, Sidoarjo, bercerita tentang keelokan sekolahnya. Sekolah “pembibitan” calon pastor itu disebutnya bak Taman Firdaus. Kebun-kebunnya rapi dan elok, pastor-pastornya “sebagian orang Barat” sangat disiplin dan pintar. Kopi dan avokad kerap berbuah. Menggiurkan.

Markus kecil juga punya jiwa sosial yang tinggi. Sebagai bungsu lima bersaudara, dia memang kerap diistimewakan. Ayahnya, Nikolaus, menjalani kehidupan bersahaja khas orang desa. Saat musim ikan, dia melaut. Kalau musim tanam, dia jadi petani. Saat ombak besar dan panen belum tiba, dia berburu di hutan.

Sepulang kerja, dia selalu memberikan bagian yang terbaik kepada Markus. Markus selalu mendapat ikan terbesar, daging terbaik, atau buah terenak. Namun, itu tak dinikmati Markus sendiri. Si bungsu selalu membagi lagi jatahnya untuk empat kakaknya yang lain. Sejak kecil dia tumbuh menjadi pribadi yang tidak egois, selalu empati, dan kerap berbagi.

Sikap itu tidak hanya ditujukan kepada manusia. Pada binatang pun dia sayang banget. Pernah ada anjing yang tersesat ke rumahnya. Anjing itu kurus, kotor, dan lemah. Markus ingin memeliharanya. Tentu, saudara-saudaranya, juga orang tuanya, menolak. Mereka tak ingin ada binatang peliharaan, terutama yang sudah kurus dan sakit-sakitan. Apalagi, binatang itu bisa mengurangi jatah makan mereka sekeluarga yang memang terbatas.

Namun, Markus bersikeras dan memilih bertanggung jawab pada anjing kesasar tersebut. Binatang itu dia mandikan dan diberi makan seadanya setiap hari. Lama-kelamaan anjing tersebut kian sehat dan bersih. Sayang, umurnya tak panjang. Karena sebuah wabah, anjing itu mati. Markus lantas minta izin kepada ayahnya untuk menguburkan binatang kesayangannya tersebut di salah satu sudut pekarangan rumah. Markus yang masih SD itu begitu berduka.

Di sekolah Markus juga kerap bermain drama. Dia sering mendapat peran protagonis yang baik hati namun selalu lemah dan teraniaya. Guru-guru dan temannya pun sering berkata, “Kalau kamu jadi pastor, pasti cocok sekali.”

Perjalanan hidup semasa kecil itu kian meneguhkan jalan hidup Markus untuk berkarya di ladang Tuhan. Dia ingin menjadi pastor agar mencintai dan dicintai banyak orang. Seperti Cor Smit, pater idolanya semasa kecil.

Namun, karya Markus ternyata jauh berbeda dengan Cor Smit. Karyanya pun harus dilakukan di tempat yang begitu jauh dari kaki Gunung Lewotobi di Larantuka. Jauh. Jauh sekali. Seperti penggalan syair lagu rakyat Lamaholot, suku yang mendiami bagian timur Flores: doan kae, doan kae, ole nete doan kae (jauh sudah, jauh sudah, jauh sudah arus membawa)…

 

***

Kami bertemu pada sebuah pagi di kaki Tugu Obelisk yang berdiri di tengah-tengah Lapangan Santo Petrus, Vatikan, sejak 1586. Matahari begitu hangat meskipun semilir angin masih terasa sangat dingin di telinga dan cuping hidung.

Hari itu, Sabtu (15/2), Markus Solo Kewuta mengenakan pakaian serbahitam dengan coat panjang. Sebentuk kerah putih, Roman Collar, menyembul, menegaskan identitasnya sebagai pastor di antara ribuan pengunjung alun-alun besar tersebut.

Tubuhnya yang berkulit gelap menjulang setinggi sekitar 180 sentimeter. “Mungkin lebih. Ini mungkin terlalu sering makan keju Eropa,” candanya sambil bersalaman. Jabat dua tangannya begitu erat. Tatap mata pastor kelahiran 4 Agustus 1968 itu ramah.

Sejak Juli 2007 Markus bekerja sebagai staf penasihat sri paus pada Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama (Pontifical Council for Interreligious Dialogue/PCID) di Vatikan. Dia ada di desk Departemen Dialog Umat Katolik dan Muslim di Asia dan Pasifik.

Artinya, sudah nyaris tujuh tahun Markus menjadi “orang dalam” Vatikan. Itu terasa betul saat kami berjalan-jalan menelusuri lorong-lorong negara terkecil di dunia itu. Ya, wawancara siang itu memang tak dituntaskan hanya dengan duduk berhadapan di meja. Kami memutuskan untuk ngobrol sambil menjelajahi sebagian jalanan Vatikan.

Kami berjalan melintasi sisi kanan Basilika Santo Petrus, melewati Domus Sanctae Marthae (Rumah Santa Marta). Bangunan itu sejatinya rumah singgah untuk tamu-tamu Vatikan dan tempat tinggal sementara para kardinal saat konklaf atau pemilihan paus baru. Tapi, Paus Fransiskus memilih tinggal di rumah tersebut saat terpilih tahun lalu. Dia adalah paus pertama dalam seabad lebih yang tidak tinggal di istana kepausan di sisi kiri Basilika.

Kala itu bagian belakang Basilika sedang “dicuci”. Tiang-tiang besi didirikan untuk menyangga pekerja mengelap tembok gereja terbesar hasil karya sejumlah seniman besar Italia, mulai Donato Bramante (1514), Michelangelo (1564), sampai Gian Lorenzo Bernini (1680) tersebut.

Persis di belakang Basilika, di ujung jalanan yang menanjak, adalah Kantor Governatorato of the Vatican City State. Kantor pimpinan Kardinal Giuseppe Bertello itu bertugas menjalankan roda administratif Vatikan. Siang itu pucuk-pucuk pohon di Via del Governatorato sedang mengeluarkan bunga-bunga kecil. Warnanya merah jambu, persis cherry blossom (sakura). “Di sini, saat musim semi, selalu tercium wangi aneka bunga,” ujar Markus.

Perjalanan kami juga melintasi lorong-lorong bertembok dingin di bawah Kapel Sistina, tempat konklaf, dan Istana Kepausan (Apostolic Palace). “Di sini sering dipakai syuting film,” terang lelaki yang fasih berbahasa Inggris, Italia, Jerman, Arab, dan tentu Indonesia serta Lamaholot tersebut. Memang, di sela-sela wawancara, dalam perjalanan itu, kadang Markus “berubah” menjadi pemandu wisata rohani bagi saya.

Kami juga mampir di taman kecil tempat meditasi biarawan-biarawati Vatikan di dekat Kantor Pos Vatikan. Di dekat situ ada apotek dan satu-satunya supermarket Vatikan. Yang bisa beli hanya orang yang punya kartu pengenal Vatikan seperti Markus. Sambil terus berbincang, Markus membawa saya mampir ke kantor L”Osservatore Romano, satu-satunya koran di Vatikan, hingga kami akhirnya keluar lagi di Gerbang Santa Anna, dekat Barak Garda Swiss (pengawal pribadi Paus), di sisi kiri Basilika.

Perjalanan kami sering berpapasan dengan para penjaga. Baik gendarmerie (polisi Italia) maupun Garda Swiss yang selalu berpakaian tradisional (merah-kuning-biru) dan membawa tombak. Saat berpapasan dengan Markus, para gendarmerie selalu memberi tabik, “Salve!” seraya menghormat. Sementara itu, para Garda Swiss akan langsung berdiri tegak dengan mengentakkan tombak lurus menghadap langit.

Beberapa penjaga memang menyetop kami. Terutama lantaran melihat saya, orang sangat asing, dengan kamera dan buku kecil yang terus-menerus saya tulisi. “Mio amico (kawan saya, Red),” ujar Markus sambil menepuk bahu saya. Melihat itu, penjaga lantas tersenyum dan bilang, “Jangan tulis apa pun soal Vatikan, lho.” Saya hanya tersenyum serasa mengacungkan jempol.

Penghormatan itu memang pas. Sebab, Markus adalah pejabat, orang dalam Vatikan. Institusinya, PCID, punya posisi yang juga strategis. Dia adalah satu di antara 12 dewan kepausan yang dimiliki Takhta Suci Vatikan. PCID adalah dewan tertinggi di gereja Katolik untuk membangun dialog antarumat beragama sesuai dengan spirit Konsili Vatikan II, terutama terkait dengan dokumen Nostra Aetate (Pada Zaman Kita). Dokumen itu memuat ajaran gereja terkait hubungan dengan agama lain dalam sebuah dinamika baru. Di situ tercantum ajaran bahwa gereja Katolik tidak menolak apa pun yang dalam agama-agama lain serbabenar dan suci serta terbuka terhadap dialog dan kerja sama lintas agama demi perdamaian dan keharmonisan dunia.

Terkait Islam, misalnya, gereja Katolik mengajarkan, “Gereja juga menghargai umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan, Mahakuasa, pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia.”

Karena itu, PCID punya tugas penting. “Untuk membangun relasi dan mengembangkan pemahaman bersama, memajukan saling respek, dan kerja sama antara umat Katolik dan umat beragama lain,” ujar Romo Markus.

Lalu, bagaimana Markus yang berasal dari kampung kecil itu bisa sampai di Vatikan” “Saya sendiri juga tidak tahu,” ujarnya sembari duduk di taman kecil di tengah-tengah kompleks administratif  Vatikan. Apalagi, Vatikan tak pernah menerima lamaran. Takhta Suci Vatikan selalu memilih sendiri orang-orangnya.

“Tapi, saya akui bahwa saya punya jalan panjang yang mungkin tidak semua orang sempat mengalami apa yang saya alami,” tambah salah seorang staf penasihat paus tersebut.

Yang terang, Markus masih ingat betul saat handphone-nya tiba-tiba berdering. Saat itu dia masih menjadi rektor Institut Internasional Asia-Afrika (Afro-Asiatisches Institut, AAI) di Wina, Austria, jabatan yang diembannya sejak 2006. Isi telepon itu kira-kita begini, “Halo, di sini Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama. Anda akan bekerja bersama kami di Vatikan.”

Hati Markus bergetar. “Seperti kilat di hari cerah. Kaki saya seperti melayang-layang. Seperti hampa. Tapi, beberapa saat kemudian hati saya langsung berdebar-debar,” ungkapnya.

“Orang Jerman punya ungkapan pas untuk itu. “Mit einem lachenden und weinenden auge (Dengan satu mata yang tertawa dan mata yang lain menangis, Red)”,” ujar orang Indonesia pertama di lembaga tinggi Vatikan tersebut. (*/c10/ari)

Romo Markus Solo Kewuta SVD (paling kiri).
Romo Markus Solo Kewuta SVD (paling kiri).

Romo Markus Solo Kewuta SVD adalah satu-satunya orang Indonesia yang menjadi pejabat di Takhta Suci Vatikan. Wartawan Jawa Pos DOAN WIDHIANDONO menemuinya beberapa waktu lalu di negara kecil itu.

 

MARKUS Solo Kewuta, bocah kecil dari Desa Lewouran, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, itu selalu bersemangat tatkala melihat P. Cor Smit SVD, misionaris dari ordo Societas Verbi Divini (Serikat Sabda Allah). Tarekat para biarawan dan pastor itu didirikan Santo Arnoldus Janssen dari Jerman pada 1875. Anggota serikat religius-misionaris itu lantas berkeliling ke seluruh dunia untuk berkarya. Termasuk Cor Smit, pastor Belanda, yang bertugas di ujung timur Pulau Flores tersebut.

Di mata Markus dan anak-anak di desa kecil itu, Cor Smit tak ubahnya pahlawan. Pater Cor Smit “panggilannya” kerap membagi-bagikan gula-gula. Tak pelak, saat Cor Smit berkunjung ke Lewouran memakai kuda, anak-anak berlarian mengejarnya. Cor Smit juga sering membagikan obat-obatan untuk warga yang membutuhkan. Bagi warga Lewouran, Cor Smit bukan sekadar pembimbing rohani. Dia juga sahabat, guru, sekaligus dokter. Bagi Markus, Cor Smit termasuk salah seorang yang menginspirasi dirinya hingga menjadi pemuka agama Katolik.

Selain Cor Smit, Markus tergerak masuk biara lantaran cerita kakak sulungnya, Yosef Bukubala. Saat Markus kecil, si sulung yang usianya lebih tua 11 tahun itu sudah bersekolah di SMA Seminari Menengah San Domingo Hokeng, Larantuka. Yosef yang kini jadi pastor SVD dan bertugas di Paroki Santo Paulus, Juanda, Sidoarjo, bercerita tentang keelokan sekolahnya. Sekolah “pembibitan” calon pastor itu disebutnya bak Taman Firdaus. Kebun-kebunnya rapi dan elok, pastor-pastornya “sebagian orang Barat” sangat disiplin dan pintar. Kopi dan avokad kerap berbuah. Menggiurkan.

Markus kecil juga punya jiwa sosial yang tinggi. Sebagai bungsu lima bersaudara, dia memang kerap diistimewakan. Ayahnya, Nikolaus, menjalani kehidupan bersahaja khas orang desa. Saat musim ikan, dia melaut. Kalau musim tanam, dia jadi petani. Saat ombak besar dan panen belum tiba, dia berburu di hutan.

Sepulang kerja, dia selalu memberikan bagian yang terbaik kepada Markus. Markus selalu mendapat ikan terbesar, daging terbaik, atau buah terenak. Namun, itu tak dinikmati Markus sendiri. Si bungsu selalu membagi lagi jatahnya untuk empat kakaknya yang lain. Sejak kecil dia tumbuh menjadi pribadi yang tidak egois, selalu empati, dan kerap berbagi.

Sikap itu tidak hanya ditujukan kepada manusia. Pada binatang pun dia sayang banget. Pernah ada anjing yang tersesat ke rumahnya. Anjing itu kurus, kotor, dan lemah. Markus ingin memeliharanya. Tentu, saudara-saudaranya, juga orang tuanya, menolak. Mereka tak ingin ada binatang peliharaan, terutama yang sudah kurus dan sakit-sakitan. Apalagi, binatang itu bisa mengurangi jatah makan mereka sekeluarga yang memang terbatas.

Namun, Markus bersikeras dan memilih bertanggung jawab pada anjing kesasar tersebut. Binatang itu dia mandikan dan diberi makan seadanya setiap hari. Lama-kelamaan anjing tersebut kian sehat dan bersih. Sayang, umurnya tak panjang. Karena sebuah wabah, anjing itu mati. Markus lantas minta izin kepada ayahnya untuk menguburkan binatang kesayangannya tersebut di salah satu sudut pekarangan rumah. Markus yang masih SD itu begitu berduka.

Di sekolah Markus juga kerap bermain drama. Dia sering mendapat peran protagonis yang baik hati namun selalu lemah dan teraniaya. Guru-guru dan temannya pun sering berkata, “Kalau kamu jadi pastor, pasti cocok sekali.”

Perjalanan hidup semasa kecil itu kian meneguhkan jalan hidup Markus untuk berkarya di ladang Tuhan. Dia ingin menjadi pastor agar mencintai dan dicintai banyak orang. Seperti Cor Smit, pater idolanya semasa kecil.

Namun, karya Markus ternyata jauh berbeda dengan Cor Smit. Karyanya pun harus dilakukan di tempat yang begitu jauh dari kaki Gunung Lewotobi di Larantuka. Jauh. Jauh sekali. Seperti penggalan syair lagu rakyat Lamaholot, suku yang mendiami bagian timur Flores: doan kae, doan kae, ole nete doan kae (jauh sudah, jauh sudah, jauh sudah arus membawa)…

 

***

Kami bertemu pada sebuah pagi di kaki Tugu Obelisk yang berdiri di tengah-tengah Lapangan Santo Petrus, Vatikan, sejak 1586. Matahari begitu hangat meskipun semilir angin masih terasa sangat dingin di telinga dan cuping hidung.

Hari itu, Sabtu (15/2), Markus Solo Kewuta mengenakan pakaian serbahitam dengan coat panjang. Sebentuk kerah putih, Roman Collar, menyembul, menegaskan identitasnya sebagai pastor di antara ribuan pengunjung alun-alun besar tersebut.

Tubuhnya yang berkulit gelap menjulang setinggi sekitar 180 sentimeter. “Mungkin lebih. Ini mungkin terlalu sering makan keju Eropa,” candanya sambil bersalaman. Jabat dua tangannya begitu erat. Tatap mata pastor kelahiran 4 Agustus 1968 itu ramah.

Sejak Juli 2007 Markus bekerja sebagai staf penasihat sri paus pada Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama (Pontifical Council for Interreligious Dialogue/PCID) di Vatikan. Dia ada di desk Departemen Dialog Umat Katolik dan Muslim di Asia dan Pasifik.

Artinya, sudah nyaris tujuh tahun Markus menjadi “orang dalam” Vatikan. Itu terasa betul saat kami berjalan-jalan menelusuri lorong-lorong negara terkecil di dunia itu. Ya, wawancara siang itu memang tak dituntaskan hanya dengan duduk berhadapan di meja. Kami memutuskan untuk ngobrol sambil menjelajahi sebagian jalanan Vatikan.

Kami berjalan melintasi sisi kanan Basilika Santo Petrus, melewati Domus Sanctae Marthae (Rumah Santa Marta). Bangunan itu sejatinya rumah singgah untuk tamu-tamu Vatikan dan tempat tinggal sementara para kardinal saat konklaf atau pemilihan paus baru. Tapi, Paus Fransiskus memilih tinggal di rumah tersebut saat terpilih tahun lalu. Dia adalah paus pertama dalam seabad lebih yang tidak tinggal di istana kepausan di sisi kiri Basilika.

Kala itu bagian belakang Basilika sedang “dicuci”. Tiang-tiang besi didirikan untuk menyangga pekerja mengelap tembok gereja terbesar hasil karya sejumlah seniman besar Italia, mulai Donato Bramante (1514), Michelangelo (1564), sampai Gian Lorenzo Bernini (1680) tersebut.

Persis di belakang Basilika, di ujung jalanan yang menanjak, adalah Kantor Governatorato of the Vatican City State. Kantor pimpinan Kardinal Giuseppe Bertello itu bertugas menjalankan roda administratif Vatikan. Siang itu pucuk-pucuk pohon di Via del Governatorato sedang mengeluarkan bunga-bunga kecil. Warnanya merah jambu, persis cherry blossom (sakura). “Di sini, saat musim semi, selalu tercium wangi aneka bunga,” ujar Markus.

Perjalanan kami juga melintasi lorong-lorong bertembok dingin di bawah Kapel Sistina, tempat konklaf, dan Istana Kepausan (Apostolic Palace). “Di sini sering dipakai syuting film,” terang lelaki yang fasih berbahasa Inggris, Italia, Jerman, Arab, dan tentu Indonesia serta Lamaholot tersebut. Memang, di sela-sela wawancara, dalam perjalanan itu, kadang Markus “berubah” menjadi pemandu wisata rohani bagi saya.

Kami juga mampir di taman kecil tempat meditasi biarawan-biarawati Vatikan di dekat Kantor Pos Vatikan. Di dekat situ ada apotek dan satu-satunya supermarket Vatikan. Yang bisa beli hanya orang yang punya kartu pengenal Vatikan seperti Markus. Sambil terus berbincang, Markus membawa saya mampir ke kantor L”Osservatore Romano, satu-satunya koran di Vatikan, hingga kami akhirnya keluar lagi di Gerbang Santa Anna, dekat Barak Garda Swiss (pengawal pribadi Paus), di sisi kiri Basilika.

Perjalanan kami sering berpapasan dengan para penjaga. Baik gendarmerie (polisi Italia) maupun Garda Swiss yang selalu berpakaian tradisional (merah-kuning-biru) dan membawa tombak. Saat berpapasan dengan Markus, para gendarmerie selalu memberi tabik, “Salve!” seraya menghormat. Sementara itu, para Garda Swiss akan langsung berdiri tegak dengan mengentakkan tombak lurus menghadap langit.

Beberapa penjaga memang menyetop kami. Terutama lantaran melihat saya, orang sangat asing, dengan kamera dan buku kecil yang terus-menerus saya tulisi. “Mio amico (kawan saya, Red),” ujar Markus sambil menepuk bahu saya. Melihat itu, penjaga lantas tersenyum dan bilang, “Jangan tulis apa pun soal Vatikan, lho.” Saya hanya tersenyum serasa mengacungkan jempol.

Penghormatan itu memang pas. Sebab, Markus adalah pejabat, orang dalam Vatikan. Institusinya, PCID, punya posisi yang juga strategis. Dia adalah satu di antara 12 dewan kepausan yang dimiliki Takhta Suci Vatikan. PCID adalah dewan tertinggi di gereja Katolik untuk membangun dialog antarumat beragama sesuai dengan spirit Konsili Vatikan II, terutama terkait dengan dokumen Nostra Aetate (Pada Zaman Kita). Dokumen itu memuat ajaran gereja terkait hubungan dengan agama lain dalam sebuah dinamika baru. Di situ tercantum ajaran bahwa gereja Katolik tidak menolak apa pun yang dalam agama-agama lain serbabenar dan suci serta terbuka terhadap dialog dan kerja sama lintas agama demi perdamaian dan keharmonisan dunia.

Terkait Islam, misalnya, gereja Katolik mengajarkan, “Gereja juga menghargai umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan, Mahakuasa, pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia.”

Karena itu, PCID punya tugas penting. “Untuk membangun relasi dan mengembangkan pemahaman bersama, memajukan saling respek, dan kerja sama antara umat Katolik dan umat beragama lain,” ujar Romo Markus.

Lalu, bagaimana Markus yang berasal dari kampung kecil itu bisa sampai di Vatikan” “Saya sendiri juga tidak tahu,” ujarnya sembari duduk di taman kecil di tengah-tengah kompleks administratif  Vatikan. Apalagi, Vatikan tak pernah menerima lamaran. Takhta Suci Vatikan selalu memilih sendiri orang-orangnya.

“Tapi, saya akui bahwa saya punya jalan panjang yang mungkin tidak semua orang sempat mengalami apa yang saya alami,” tambah salah seorang staf penasihat paus tersebut.

Yang terang, Markus masih ingat betul saat handphone-nya tiba-tiba berdering. Saat itu dia masih menjadi rektor Institut Internasional Asia-Afrika (Afro-Asiatisches Institut, AAI) di Wina, Austria, jabatan yang diembannya sejak 2006. Isi telepon itu kira-kita begini, “Halo, di sini Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama. Anda akan bekerja bersama kami di Vatikan.”

Hati Markus bergetar. “Seperti kilat di hari cerah. Kaki saya seperti melayang-layang. Seperti hampa. Tapi, beberapa saat kemudian hati saya langsung berdebar-debar,” ungkapnya.

“Orang Jerman punya ungkapan pas untuk itu. “Mit einem lachenden und weinenden auge (Dengan satu mata yang tertawa dan mata yang lain menangis, Red)”,” ujar orang Indonesia pertama di lembaga tinggi Vatikan tersebut. (*/c10/ari)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/