26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Berharap Bisa Mencoblos di Lahan Garapan

Masuklah ke kampung itu, Anda tidak akan menemukan tempelan alat peraga kampanye (APK) seperti spanduk, baliho dan poster bergambar calon legislatif atau bahkan calon anggota DPD seperti perkampungan warga pada umumnya. Bukan karena dilarang, namun kampung itu memang kampung tak bertuan.

Oleh: Muhammad Iqbal Harahap, Medan

TANAH GARAPAN: Suasana di salahsatu sudut di lahan garapan Desa Manunggal Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang.//Muhammad Iqbal Harahap/sumut pos
TANAH GARAPAN: Suasana di salahsatu sudut di lahan garapan Desa Manunggal Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang.//Muhammad Iqbal Harahap/sumut pos

Ternyata ada yang mengganjal sehingga perkampungan itu seperti tidak ikut pesta demokrasi saat pemilihan umum 9 April 2014 mendatang digelar serentak di seluruh Indonesia. Maka untuk memastikan apa sebenarnya yang menjadi penyebab tidak adanya ‘aura pemilu’ di kampung itu, penelusuran di kampung pun dimulai dengan pertanyaan kepada warga setempat.

Meskipun usianya tidak lagi muda, Rusman (71) masih suka membaca koran dan menonton siaran televisi yang berhubungan dengan politik. Sebab di masa mudanya, gejolak politik cukup tinggi, sehingga dinamika yang muncul di masyarakat era orde lama dan orde baru setidaknya pernah ia rasakan.

Pengakuannya, hampir setiap gelaran pemilihan umum (pemilu) sekali lima tahun di Indonesia, selalu ia ikuti. Termasuk Pemilukada di daerahnya, Asahan. Tidak peduli seperti apa para calon legislatif (caleg) atau calon kepala daerah, selama ada lambang salah satu partai yang ia gandrungi, suaranya akan mengarah ke sana. Sekalipun ada yang menawarkan bayaran untuk beralih pilihan.

Namun sejak ia dan keluarganya pindah dari Asahan ke salah satu daerah di Deliserdang yang berdekatan dengan Kota Medan, September 2009 lalu, keinginannya memilih calon dan partai idealnya seakan sirna. Sebab tempatnya pindah dan membangun rumah sekarang, di Jalan Veteran Pasar VIII, Desa Manunggal Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang, merupakan lahan sengketa antara perusahaan perkebunan (PTPN II) yang habis masa Hak Guna usaha (HGU) nya dengan masyarakat, yang belum jelas status kepemilikannya.

Rusman dan keluarga pun belum bisa diakui oleh pemerintah setempat sebagai warga Desa Manunggal. Tetapi karena alasan ekonomi, dirinya memberanikan diri mendirikan rumah tinggal semipermanen di lahan tersebut dan tinggal bersama tiga anak, satu menantu, dan empat orang cucu.

Pekerjaannya sekarang hanya berkebung dan sesekali menerima pekerjaan dari orang lain atau serabutan. Sebab untuk membuka usaha meubel seperti dulu di Asahan, ia tidak mampu lagi. “Sekarang ya kerja bangun rumah di sini. Kalau ada yang mau perbaiki bagian rumahnya seperti pintu, jendela atau yang lain, saya juga kerjakan. Tetapi tak bisa kerja yang terlalu berat, sudah tua,” katanya dengan nada lemas sambil mengenang usaha meubelnya yang terpaksa tutup akibat mahalnya harga bahan baku (kayu).

Saat ini andalan utama keluarganya adalah mengelola satu angkutan umum yang dibawa anaknya sehari-hari untuk mencari penumpang. Karena dia sendiri sudah tidak memungkinkan lagi mengendarai mobil dengan usia setua itu. Tetapi ia tetap bertahan hingga sekarang, walaupun kehidupannya tidak lagi berkecukupan seperti dulu.

Pada perhelatan akbar demokrasi Indonesia 2014 ini, meskipun belum diakui sebagai warga Desa Manunggal, Rusman masih berharap dapat diberikan kesempatan memilih di tempatnya sekarang. Sebab kalau untuk sekadar pulang ke daerah asalnya dimana ia masih terdaftar sebagai pemilih, begitu juga istri dan anaknya, sangat kecil kemungkinan. Untuk bisa memilih di tempat asalnya, ia dan keluarga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit jika dilihat dari kondisi ekonominya saat ini.

“Untuk pulang ke kampung, paling nggak butuh ongkos satu orang Rp50.000 pulang pergi, belum termasuk makan. Kali kan lima orang aja sudah Rp250.000 paling sedikit. Itu sudah bisa makan berapa hari,” ujarnya dengan nada sedikit pesimis.

Kondisi ekonomi yang lemah, membuatnya tidak lagi banyak berharap dapat memberikan hak suaranya kepada salah satu partai pilihannya. Walau dalam hatinya, sangat ingin bisa memilih, sekalipun tidak mengenal siapa calegnya. Karena baginya, pilihan ada di partai, bukan caleg.

Sedangkan warga lainnya, Maratua (50) mengatakan dirinya masih berstatus sebagai penduduk di Kecamatan Medan Perjuangan, Kota Medan. Untuk mengurus kepindahannya dari daerah asal, ia masih enggan. Karena ia mengetahui kalau lahan garapan tersebut belum diakui menjadi bagian dari tanah masyarakat.

Jelas saja ia masih menggunakan identitas dengan alamat lama di Medan. Padahal ia sekeluarga sudah membangun rumah permanen di lahan tersebut. Bahkan ia berencana membangunkan rumah lagi untuk anaknya, berdampingan dengan rumahnya. Namun, karena pemerintah setempat tidak mau mengakui Maratua dan 200 Kepala keluarga lainnya sebagai penduduk setempat, ia tetap menggunakan KTP Medan dan terdaftar sebagai pemilih di Kota Medan.

Pekerjaannya sehari-hari hanya buruh serabutan. Tidak ada penghasilan pasti, namun jika ada pekerjaan yang ia terima, cukup untuk membiayai hidup keluarganya selama tiga bulan. Jadi kehidupan Maratua termasuk lebih sejahtera dari kebanyakan warga dilahan teresbut.

Hanya saja soal keinginan memilih, Maratua sudah pasrah jika tidak terdaftar sebagai pemilih di Desa Manunggal. Sebab jarak ke Kota Medan tempatnya terdaftar sebagai pemilih, tidak begitu jauh dan bisa ditempuh dalam waktu 15-20 menit. Jadi baginya terdaftar atau tidak, yang terpenting adalah pengakuan pemerintah atas keberadaan mereka di lahan tanah garapan itu.

“Kalau nggak terdaftar di sini, saya memilih di Medan saja lah” katanya santai sambil tersenyum. Apalagi saat ditanya soal partai dan siapa caleg pilihannya, Maratua mengaku belum tahu partai apa dan siapa saja caleg yang akan dia pilih nanti. Sementara pilihannya sendiri, tergantung bayaran tertinggi.(bersambung/rbb)

Masuklah ke kampung itu, Anda tidak akan menemukan tempelan alat peraga kampanye (APK) seperti spanduk, baliho dan poster bergambar calon legislatif atau bahkan calon anggota DPD seperti perkampungan warga pada umumnya. Bukan karena dilarang, namun kampung itu memang kampung tak bertuan.

Oleh: Muhammad Iqbal Harahap, Medan

TANAH GARAPAN: Suasana di salahsatu sudut di lahan garapan Desa Manunggal Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang.//Muhammad Iqbal Harahap/sumut pos
TANAH GARAPAN: Suasana di salahsatu sudut di lahan garapan Desa Manunggal Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang.//Muhammad Iqbal Harahap/sumut pos

Ternyata ada yang mengganjal sehingga perkampungan itu seperti tidak ikut pesta demokrasi saat pemilihan umum 9 April 2014 mendatang digelar serentak di seluruh Indonesia. Maka untuk memastikan apa sebenarnya yang menjadi penyebab tidak adanya ‘aura pemilu’ di kampung itu, penelusuran di kampung pun dimulai dengan pertanyaan kepada warga setempat.

Meskipun usianya tidak lagi muda, Rusman (71) masih suka membaca koran dan menonton siaran televisi yang berhubungan dengan politik. Sebab di masa mudanya, gejolak politik cukup tinggi, sehingga dinamika yang muncul di masyarakat era orde lama dan orde baru setidaknya pernah ia rasakan.

Pengakuannya, hampir setiap gelaran pemilihan umum (pemilu) sekali lima tahun di Indonesia, selalu ia ikuti. Termasuk Pemilukada di daerahnya, Asahan. Tidak peduli seperti apa para calon legislatif (caleg) atau calon kepala daerah, selama ada lambang salah satu partai yang ia gandrungi, suaranya akan mengarah ke sana. Sekalipun ada yang menawarkan bayaran untuk beralih pilihan.

Namun sejak ia dan keluarganya pindah dari Asahan ke salah satu daerah di Deliserdang yang berdekatan dengan Kota Medan, September 2009 lalu, keinginannya memilih calon dan partai idealnya seakan sirna. Sebab tempatnya pindah dan membangun rumah sekarang, di Jalan Veteran Pasar VIII, Desa Manunggal Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang, merupakan lahan sengketa antara perusahaan perkebunan (PTPN II) yang habis masa Hak Guna usaha (HGU) nya dengan masyarakat, yang belum jelas status kepemilikannya.

Rusman dan keluarga pun belum bisa diakui oleh pemerintah setempat sebagai warga Desa Manunggal. Tetapi karena alasan ekonomi, dirinya memberanikan diri mendirikan rumah tinggal semipermanen di lahan tersebut dan tinggal bersama tiga anak, satu menantu, dan empat orang cucu.

Pekerjaannya sekarang hanya berkebung dan sesekali menerima pekerjaan dari orang lain atau serabutan. Sebab untuk membuka usaha meubel seperti dulu di Asahan, ia tidak mampu lagi. “Sekarang ya kerja bangun rumah di sini. Kalau ada yang mau perbaiki bagian rumahnya seperti pintu, jendela atau yang lain, saya juga kerjakan. Tetapi tak bisa kerja yang terlalu berat, sudah tua,” katanya dengan nada lemas sambil mengenang usaha meubelnya yang terpaksa tutup akibat mahalnya harga bahan baku (kayu).

Saat ini andalan utama keluarganya adalah mengelola satu angkutan umum yang dibawa anaknya sehari-hari untuk mencari penumpang. Karena dia sendiri sudah tidak memungkinkan lagi mengendarai mobil dengan usia setua itu. Tetapi ia tetap bertahan hingga sekarang, walaupun kehidupannya tidak lagi berkecukupan seperti dulu.

Pada perhelatan akbar demokrasi Indonesia 2014 ini, meskipun belum diakui sebagai warga Desa Manunggal, Rusman masih berharap dapat diberikan kesempatan memilih di tempatnya sekarang. Sebab kalau untuk sekadar pulang ke daerah asalnya dimana ia masih terdaftar sebagai pemilih, begitu juga istri dan anaknya, sangat kecil kemungkinan. Untuk bisa memilih di tempat asalnya, ia dan keluarga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit jika dilihat dari kondisi ekonominya saat ini.

“Untuk pulang ke kampung, paling nggak butuh ongkos satu orang Rp50.000 pulang pergi, belum termasuk makan. Kali kan lima orang aja sudah Rp250.000 paling sedikit. Itu sudah bisa makan berapa hari,” ujarnya dengan nada sedikit pesimis.

Kondisi ekonomi yang lemah, membuatnya tidak lagi banyak berharap dapat memberikan hak suaranya kepada salah satu partai pilihannya. Walau dalam hatinya, sangat ingin bisa memilih, sekalipun tidak mengenal siapa calegnya. Karena baginya, pilihan ada di partai, bukan caleg.

Sedangkan warga lainnya, Maratua (50) mengatakan dirinya masih berstatus sebagai penduduk di Kecamatan Medan Perjuangan, Kota Medan. Untuk mengurus kepindahannya dari daerah asal, ia masih enggan. Karena ia mengetahui kalau lahan garapan tersebut belum diakui menjadi bagian dari tanah masyarakat.

Jelas saja ia masih menggunakan identitas dengan alamat lama di Medan. Padahal ia sekeluarga sudah membangun rumah permanen di lahan tersebut. Bahkan ia berencana membangunkan rumah lagi untuk anaknya, berdampingan dengan rumahnya. Namun, karena pemerintah setempat tidak mau mengakui Maratua dan 200 Kepala keluarga lainnya sebagai penduduk setempat, ia tetap menggunakan KTP Medan dan terdaftar sebagai pemilih di Kota Medan.

Pekerjaannya sehari-hari hanya buruh serabutan. Tidak ada penghasilan pasti, namun jika ada pekerjaan yang ia terima, cukup untuk membiayai hidup keluarganya selama tiga bulan. Jadi kehidupan Maratua termasuk lebih sejahtera dari kebanyakan warga dilahan teresbut.

Hanya saja soal keinginan memilih, Maratua sudah pasrah jika tidak terdaftar sebagai pemilih di Desa Manunggal. Sebab jarak ke Kota Medan tempatnya terdaftar sebagai pemilih, tidak begitu jauh dan bisa ditempuh dalam waktu 15-20 menit. Jadi baginya terdaftar atau tidak, yang terpenting adalah pengakuan pemerintah atas keberadaan mereka di lahan tanah garapan itu.

“Kalau nggak terdaftar di sini, saya memilih di Medan saja lah” katanya santai sambil tersenyum. Apalagi saat ditanya soal partai dan siapa caleg pilihannya, Maratua mengaku belum tahu partai apa dan siapa saja caleg yang akan dia pilih nanti. Sementara pilihannya sendiri, tergantung bayaran tertinggi.(bersambung/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/