26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Satinah Buat Tasbih dan Tas

Satinah
Satinah

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Satinah menyesal dan bertobat atas tindakan perampokan dan pembunuhan yang dia lakukan pada majikannya 8 tahun lalu. Satinah juga sudah pasrah atas hukuman pancung yang akan dihadapinya. Namun keluarga menyimpan harapan agar pemerintah dan masyarakat peduli. Semoga saja tebusan Satinah dibayarkan.

“Sebenarnya melakukan seperti itu menyesal sekali, karena dia majikannya sampai meninggal. Dia sudah mengakui kesalahan dan mengaku bertobat,” kata paman Satinah, Paeri al Feri, Rabu (26/3).

Namun keluarga berharap Satinah bisa bebas. Apalagi sang putri Nur Afriani (20) selalu mendambakan bisa kembali bertemu dan tinggal bersama ibunya di Ungaran Barat, Semarang. Satinah kini sudah menjalani 8 tahun penjara di Al Ghazi, Saudi Arabia.

“Kalau Satinah ngomong, kalau nggak ditebus pasrah sama Allah, karena itu kehendak Allah. Kalau putrinya selalu berdoa dan berharap sekali ibunya ditebus dan bisa bebas, karena ibunya masa depan dia,” terang Paeri yang terakhir bertemu Satinah akhir Januari lalu.

Paeri bersama Afriani (20) terus berupaya mengumpulkan dana. Dibantu aktivis Migrant Care serta Melanie Subono dan Charlie, dia berupaya mengumpulkan dana dari publik. Salah satunya dengan mengamen.

“Kalau Satinah bisa dibebaskan, kita mau syukuran kecil-kecilan, terima kasih pada Allah. Hidup dan mati kehendak Allah,” jelasnya.

Selama di penjara Satinah mengisi hari-hari dengan kerja produktif. “Dia membuat tasbih dan membuat tas. Digaji 150 riyal sebulan,” kata Paeri al Feri.

Tak hanya itu saja, di waktu senggang dia juga mengaji dan menghafal ayat Al Quran. “Dia sudah hafal 17 juzz. Dia juga ikut lomba mengaji di penjara,” terang Paeri yang sudah tiga kali bertemu Satinah, terakhir Januari lalu.

Paeri terbang ke Saudi bersama putri Satinah, Nur Afriani, dan difasilitasi Kemlu. “Uang gajinya dikumpul-kumpul, dikirim buat anaknya,” imbuh Paeri.

Putri semata wayang Satinah itu kini berusia 20 tahun dan sudah bekerja di BP3TKI. Namun Satinah tetap memberi perhatian pada putrinya itu.

“Karena sudah besar, diminta agar jaga-jaga diri,” tutur Paeri.

Satinah dipidana karena membunuh dan merampok majikannya. Satinah kemudian ditahan dan divonis hukuman pancung. 3 April mendatang batas akhir pembayaran diyat. Pemerintah berupaya melakukan lobi agar Satinah bebas dan juga berupaya membayar tebusan Rp 21 miliar. Selain itu juga publik terus berupaya menggalang dana untuk Satinah dengan tema #SaveSatinah.

 

ZAINAB JUGA TERANCAM DIPANCUNG

Tak hanya Satinah saja yang terancam dihukum pancung di Arab Saudi. Seorang TKW lainnya bernama Zainab juga terancam hukuman mati. Pemerintah terus melakukan lobi intensif karena keluarga korban di Saudi tak mau memaafkan dan tak ada pembayaran diyat untuk Zainab.

“Pemaafan juga belum ada. Kasus dia ini membunuh majikan tahun 1999 divonis hak mati dan harus dieksekusi,” jelas Direktur Perlindungan WNI Tatang B Razak saat ditemui.

Dahulu kasus Zainab ini sempat ramai dan almarhum Gus Dur ikut turun melobi agar Zainab bisa bebas. Saat itu akhirnya hukuman ditunda karena ahli waris korban, baru berusia 4 tahun. Keputusan diambil setelah anak itu akil baligh.

“2013 Anak ini sudah akil baligh dan tidak mau memaafkan,” terang Tatang.

Tatang juga menepis informasi yang menyebutkan kalau keluarga korban meminta diyat hingga Rp90 miliar. “Jadi saya tidak tahu sumber darimana, berita tidak berdasar yang bilang denda Rp90 miliar. Justru sekarang kita lagi lakukan upaya pendekatan hati-hati supaya anak ahli waris bisa memaafkan,” imbuhnya.

“Jika nanti ahli waris tetap tidak mau memaafkan eksekusi ini tetap terjadi,” tambahnya lagi.

Upaya lobi terus digenjot agar keluarga korban mau memaafkan. Caranya dengan mendekati badan hukum, tokoh-tokoh, dan ulama di Saudi. “Makanya masih melakukan pendekatan pelan-pelan,” tutupnya.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menyebut sejak 2013 ada 265 Tenaga Kerja Indonesia (TKI)  yang terancam hukuman mati karena membunuh majikannya. Penyebabnya menurut dia beragam karena persoalan gaji tidak dibayar, atau penganiayaan secara fisik.

Menurut Anis, pemerintah masih lamban dalam melakukan upaya komunikasi dengan pemerintah negara lain terkait ancaman hukuman mati untuk TKI. Migrant Care meminta pemerintah langsung merespon kalau ada kejadian yang mengancam nyawa TKI.

“Ya, lihat saja yang seperti sekarang. Waktunya sudah sebentar lagi,” kata Anis.

Dia menegaskan ada baiknya pemerintah merespon positif bantuan gerakan dari masyarakat yang ingin memberikan sumbangan untuk Satinah, TKI asal Ungaran, Semarang yang terancam hukuman mati. Uang diyat yang disepakati korban sebesar 7 riyal atau Rp21 miliar. Namun, yang baru terkumpul saat ini baru 4 riyal atau sekitar Rp12 miliar.

Menurut dia, cara bertele-tele seperti mengupayakan eksekusi ditunda atau melobi pihak keluarga korban terkesan percuma. Malah cara ini bakal merugikan Satinah mengingat batas waktu yang semakin mepet. “Takutnya diyat tebusan itu bisa naik lagi mereka mintanya. Mending dukung gerakan rakyat yang ingin bantu Satinah,” katanya.

Pemerintah kini bekerja ekstra melakukan pembebasan, walau hukum positif di negara itu sudah ketok palu. “Poin saya, setiap warga negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di luar negeri harus terus dilakukan sosialisasi, janganlah melakukan kejahatan yang besar. Kita harus terus mencari pengampunan dan pembebasan. Belum kalau harus membayar tebusan,” jelas Presiden SBY di Kantor Presiden.

Data yang terakhir, lanjut SBY, yang sudah dibebaskan hukuman mati sudah 176 meski melakukan pelanggaran hukum. Sedangkan yang masih diusahakan 246.

“Masyarakat mesti tahu. Saya ucapkan terima kasih kepada semua yang telah bekerja untuk itu, dan saya akan terus masuk manakala saya harus mengirim surat, menelepon langsung,” imbuh dia.

Dalam menghadapi persoalan hukum warga negara asing, Presiden SBY juga kerap mendapat surat-surat dari pemimpin negara lain, entah itu presiden, PM, raja. SBY pun bahkan membaca berkali-kali.

“Saya minta pandangan dari MA, menteri terkait karena kita pun menginginkan hal yang sama atas ratusan warga Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri. Ini memang ada aspek kemanusiaan. Wajib hukumnya bagi kita, salah atau tidak

salah, kalau saudara diancam hukuman mati, kita berikitiar menngurangi hukuman itu dan bebas dari hukuman mati. Ini policy kita,” jelas dia.

SBY membandingkan dengan WNI yang melakukan kejahatan di dalam negeri, mereka tentu akan mendapatkan hukuman yang setimpal. “Sedangkan kita all out untuk membebaskan mereka di LN yang melakukan kejahatan yang sama,” tutur SBY. (net/bbs)

Satinah
Satinah

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Satinah menyesal dan bertobat atas tindakan perampokan dan pembunuhan yang dia lakukan pada majikannya 8 tahun lalu. Satinah juga sudah pasrah atas hukuman pancung yang akan dihadapinya. Namun keluarga menyimpan harapan agar pemerintah dan masyarakat peduli. Semoga saja tebusan Satinah dibayarkan.

“Sebenarnya melakukan seperti itu menyesal sekali, karena dia majikannya sampai meninggal. Dia sudah mengakui kesalahan dan mengaku bertobat,” kata paman Satinah, Paeri al Feri, Rabu (26/3).

Namun keluarga berharap Satinah bisa bebas. Apalagi sang putri Nur Afriani (20) selalu mendambakan bisa kembali bertemu dan tinggal bersama ibunya di Ungaran Barat, Semarang. Satinah kini sudah menjalani 8 tahun penjara di Al Ghazi, Saudi Arabia.

“Kalau Satinah ngomong, kalau nggak ditebus pasrah sama Allah, karena itu kehendak Allah. Kalau putrinya selalu berdoa dan berharap sekali ibunya ditebus dan bisa bebas, karena ibunya masa depan dia,” terang Paeri yang terakhir bertemu Satinah akhir Januari lalu.

Paeri bersama Afriani (20) terus berupaya mengumpulkan dana. Dibantu aktivis Migrant Care serta Melanie Subono dan Charlie, dia berupaya mengumpulkan dana dari publik. Salah satunya dengan mengamen.

“Kalau Satinah bisa dibebaskan, kita mau syukuran kecil-kecilan, terima kasih pada Allah. Hidup dan mati kehendak Allah,” jelasnya.

Selama di penjara Satinah mengisi hari-hari dengan kerja produktif. “Dia membuat tasbih dan membuat tas. Digaji 150 riyal sebulan,” kata Paeri al Feri.

Tak hanya itu saja, di waktu senggang dia juga mengaji dan menghafal ayat Al Quran. “Dia sudah hafal 17 juzz. Dia juga ikut lomba mengaji di penjara,” terang Paeri yang sudah tiga kali bertemu Satinah, terakhir Januari lalu.

Paeri terbang ke Saudi bersama putri Satinah, Nur Afriani, dan difasilitasi Kemlu. “Uang gajinya dikumpul-kumpul, dikirim buat anaknya,” imbuh Paeri.

Putri semata wayang Satinah itu kini berusia 20 tahun dan sudah bekerja di BP3TKI. Namun Satinah tetap memberi perhatian pada putrinya itu.

“Karena sudah besar, diminta agar jaga-jaga diri,” tutur Paeri.

Satinah dipidana karena membunuh dan merampok majikannya. Satinah kemudian ditahan dan divonis hukuman pancung. 3 April mendatang batas akhir pembayaran diyat. Pemerintah berupaya melakukan lobi agar Satinah bebas dan juga berupaya membayar tebusan Rp 21 miliar. Selain itu juga publik terus berupaya menggalang dana untuk Satinah dengan tema #SaveSatinah.

 

ZAINAB JUGA TERANCAM DIPANCUNG

Tak hanya Satinah saja yang terancam dihukum pancung di Arab Saudi. Seorang TKW lainnya bernama Zainab juga terancam hukuman mati. Pemerintah terus melakukan lobi intensif karena keluarga korban di Saudi tak mau memaafkan dan tak ada pembayaran diyat untuk Zainab.

“Pemaafan juga belum ada. Kasus dia ini membunuh majikan tahun 1999 divonis hak mati dan harus dieksekusi,” jelas Direktur Perlindungan WNI Tatang B Razak saat ditemui.

Dahulu kasus Zainab ini sempat ramai dan almarhum Gus Dur ikut turun melobi agar Zainab bisa bebas. Saat itu akhirnya hukuman ditunda karena ahli waris korban, baru berusia 4 tahun. Keputusan diambil setelah anak itu akil baligh.

“2013 Anak ini sudah akil baligh dan tidak mau memaafkan,” terang Tatang.

Tatang juga menepis informasi yang menyebutkan kalau keluarga korban meminta diyat hingga Rp90 miliar. “Jadi saya tidak tahu sumber darimana, berita tidak berdasar yang bilang denda Rp90 miliar. Justru sekarang kita lagi lakukan upaya pendekatan hati-hati supaya anak ahli waris bisa memaafkan,” imbuhnya.

“Jika nanti ahli waris tetap tidak mau memaafkan eksekusi ini tetap terjadi,” tambahnya lagi.

Upaya lobi terus digenjot agar keluarga korban mau memaafkan. Caranya dengan mendekati badan hukum, tokoh-tokoh, dan ulama di Saudi. “Makanya masih melakukan pendekatan pelan-pelan,” tutupnya.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menyebut sejak 2013 ada 265 Tenaga Kerja Indonesia (TKI)  yang terancam hukuman mati karena membunuh majikannya. Penyebabnya menurut dia beragam karena persoalan gaji tidak dibayar, atau penganiayaan secara fisik.

Menurut Anis, pemerintah masih lamban dalam melakukan upaya komunikasi dengan pemerintah negara lain terkait ancaman hukuman mati untuk TKI. Migrant Care meminta pemerintah langsung merespon kalau ada kejadian yang mengancam nyawa TKI.

“Ya, lihat saja yang seperti sekarang. Waktunya sudah sebentar lagi,” kata Anis.

Dia menegaskan ada baiknya pemerintah merespon positif bantuan gerakan dari masyarakat yang ingin memberikan sumbangan untuk Satinah, TKI asal Ungaran, Semarang yang terancam hukuman mati. Uang diyat yang disepakati korban sebesar 7 riyal atau Rp21 miliar. Namun, yang baru terkumpul saat ini baru 4 riyal atau sekitar Rp12 miliar.

Menurut dia, cara bertele-tele seperti mengupayakan eksekusi ditunda atau melobi pihak keluarga korban terkesan percuma. Malah cara ini bakal merugikan Satinah mengingat batas waktu yang semakin mepet. “Takutnya diyat tebusan itu bisa naik lagi mereka mintanya. Mending dukung gerakan rakyat yang ingin bantu Satinah,” katanya.

Pemerintah kini bekerja ekstra melakukan pembebasan, walau hukum positif di negara itu sudah ketok palu. “Poin saya, setiap warga negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di luar negeri harus terus dilakukan sosialisasi, janganlah melakukan kejahatan yang besar. Kita harus terus mencari pengampunan dan pembebasan. Belum kalau harus membayar tebusan,” jelas Presiden SBY di Kantor Presiden.

Data yang terakhir, lanjut SBY, yang sudah dibebaskan hukuman mati sudah 176 meski melakukan pelanggaran hukum. Sedangkan yang masih diusahakan 246.

“Masyarakat mesti tahu. Saya ucapkan terima kasih kepada semua yang telah bekerja untuk itu, dan saya akan terus masuk manakala saya harus mengirim surat, menelepon langsung,” imbuh dia.

Dalam menghadapi persoalan hukum warga negara asing, Presiden SBY juga kerap mendapat surat-surat dari pemimpin negara lain, entah itu presiden, PM, raja. SBY pun bahkan membaca berkali-kali.

“Saya minta pandangan dari MA, menteri terkait karena kita pun menginginkan hal yang sama atas ratusan warga Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri. Ini memang ada aspek kemanusiaan. Wajib hukumnya bagi kita, salah atau tidak

salah, kalau saudara diancam hukuman mati, kita berikitiar menngurangi hukuman itu dan bebas dari hukuman mati. Ini policy kita,” jelas dia.

SBY membandingkan dengan WNI yang melakukan kejahatan di dalam negeri, mereka tentu akan mendapatkan hukuman yang setimpal. “Sedangkan kita all out untuk membebaskan mereka di LN yang melakukan kejahatan yang sama,” tutur SBY. (net/bbs)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/