JAKARTA – Internal Golkar makin terbelah setelah sejumlah kadernya membelot dan abai terhadap keputusan ketua umumnya, Aburizal Bakrie. Misalnya Wakil Ketua Dewan Pertimbangan (wantim) Luhut B Panjaitan dan beberapa kader muda yang menyeberang ke pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.
Meski situasi itu membuat Golkar tidak solid, namun Ketua DPP Partai Golkar Bambang Soesatyo membantah jika partainya pecah dalam mendukung salah satu calon presiden. Menurutnya, perbedaan itu adalah dinamika dan hal yang sangat wajar.
“Terkait isu banyaknya kader Partai Golkar yang mendukung JK (Jusuf Kalla) sebagai cawapres Jokowi, tidak perlu dirisaukan. Apalagi dibesar-besarkan. Biarkan saja berjalan alami. Hal tersebut tidak akan membuat kapal tanker besar yang bernama Partai Golkar itu pecah. Perbedaan tersebut sudah biasa terjadi. Namanya juga politik,” kata Bambang di Jakarta, kemarin (21/5).
Menurutnya, apa yang terjadi pada Golkar sudah pernah terjadi di pemilu-pemilu sebelumnya. “Kita tentu masih ingat Pilpres 2004 dan Pilpres 2009. Petinggi dan kader Partai Golkar saat itu juga tidak bulat mendukung pasangan capres/cawapres yang diusung sendiri oleh Partai Golkar. Tapi, itulah realita politik,” kilahnya.
Sebagai pengurus sekaligus kader, Bambang menerangkan memang harus patuh dan taat azas atas keputusan yang telah diambil partai untuk mendukung pasangan Prabowo (Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra) dan Hatta Rajasa (Ketua Umum Partai PAN) sebagai capres dan cawapres.
“Tapi, kita juga tidak bisa apa-apa kalau ada kader militan Partai Golkar lain, yang mendukung salah satu pasangan capres/cawapres karena ikatan batin sebagai bentuk solidaritas sesama kader partai,” tuturnya.
Jadi, pilihan berbeda itu adalah soal pilihan. Namun, kalau mendukung pasangan di luar garis partai tentu harus siap dengan segala risikonya. “Yaitu sanksi partai,” terang Bambang.
Meski begitu, Bambang juga berharap partai bertindak bijaksana dalam menjatuhkan sanksi, terkait menghadapi realita yang terjadi tersebut.
“Karena saya yakin, kalau cawapres Prabowo itu ARB, dan bukan Hatta Rajasa, ceritanya akan lain,” ujarnya.
Dukungan seluruh kader partai hingga akar rumput pasti akan bulat dan all out. “Jadi sekali lagi, perbedaan pendapat itu sudah biasa. Nanti juga usai pilpres pada Juli mendatang kita akan berangkulan, bercipika-cipiki dan berkumpul kembali di bawah kebesaran pohon beringin,” ujarnya.
Apa yang dikatakan oleh Bambang ini ternyata dinilai menjadi bukti bahwa Partai Golkar tetap memainkan politik dua kaki, sebagaimana yang dilakukannya di Pilpres 2004 dan 2009.
“Saya sudah menduga dari awal, bahwa Golkar dipastikan akan memainkan politik dua kaki. Karena kader Golkar adalah politisi yang tak tahu malu, atau ‘muka badak’,” tutur pengamat politik dari Sigma Indonesia Said Salahudin.
Dia menegaskan, bahwa pembelotan itu bukan bagian dari realita politik atas adanya dinamisasi. Namun, perbedaaan itu bagian dari settingan atau strategi politik. “Meski menang di pemilu legislatif, namun Golkar tetap kalah di pilpres. Karena tokohnya tidak terlalu menjual. Agar bisa mendapatkan keuntungan dan jadi bagian dari pemerintah, maka ia bermain dua kaki,” jelasnya.
Kalau memang tidak ingin dibilang sebagai partai oppurtunis, lanjut Said, Golkar harus secara tegas langsung memproses kader-kadernya yang berbeda sikap dari ketua umum partainya. Hasil dari rapimnas Golkar sudah memandatkan ARB untuk menentukan koalisi. Jadi yang berbeda harus mendapat sanksi, dan harus dibuktikan.
“Dan saya salut apa yang dilakukan oleh Ketua Umum Hanura Wiranto yang langsung mengklarifikasi ke Hary Tanoe (HT) yang sudah berbeda sikap dengannya dalam mendukung pasangan capres. Hingga akhirnya bos dari MNC grup itu mundur dari keanggotaan Hanura. Ini menjadi bukti Hanura memiliki komitmen,” tambahnya. (dl)