MEDAN-Realisasi Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) di Sumatera Utara (Sumut) pada Maret 2014 meningkat mencapai Rp12,89 triliun atau naik mencapai 0,26 persen dibandingkan di bulan terakhir, Desember 2013 sebesar Rp12,85 triliun. Peningkatan ini, dipengaruhi karena beberapa faktor baik dari sisi konsumen, perbankan hingga kebijakan pemerintah.
Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Wilayah IX Sumut-Aceh, Difi A Johansyah mengatakan, dari sisi masyarakat pada umumnya lebih berhati-hati melakukan pembelian ditengah kondisi perekonomian seperti sekarang. “Sedangkan pada bank, lebih membatasi penyaluran kredit sesuai dengan target yang ditetapkan BI,” katanya.
Menurutnya, masyarakat membatasi pembelian karena beberapa hal salah satunya tingginya harga rumah. Terlebih ditengah kondisi sekarang yang sedang tidak menentu. “Masyarakat menahan pembelian dulu sambil menunggu perkembangan harga rumah,” ujarnya.
Begitu juga dengan perbankan yang memilih memperlambat penyaluran kredit termasuk kredit sektor properti. Perlambatan itu sesuai dengan target kredit awal tahun yang ditetapkan hanya 17%. “BI sudah menetapkan kebijakan untuk memperlambat penyaluran kredit oleh semua bank. Jadi kemungkinan besar perlambatan realisasi kredit properti karena kebijakan tersebut,” ujarnya.
Selain itu, kebijakan Loan To Value (LTV) sektor properti untuk KPR juga turut memengaruhi penyaluran kredit properti di daerah ini. Kebijakan ini berpengaruh terhadap pasar porperti di Indonesia.
“Kebijakan LTV itu bisa mengerem penjualan properti. Dengan berbagai kebijakan itu, diharapkan tidak hanya bisa mengendalikan kredit KPR tetapi juga harga properti sehingga menciptakan pertumbuhan industri properti sehat,” katanya.
Menanggapi hal ini, pengamat ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin mengatakan, kenaikan kredit KPR sebesar 0.26 persen tidak begitu besar. Namun yang perlu diwaspadai adalah kredit KPR merupakan kredit perumahan yang potensi macetnya sangat besar. KPR merupakan kredit konsumtif yang sangat rawan macet di saat kondisi perekonomian mengalami guncangan.
“Dengan besaran BI rate yang sebesar 7.5 persen saja KPR masih mampu tumbuh. Kalau BI Rate rendah kredit KPR bisa mengalami lonjakan yang signfikan. Hal ini dikarenakan tren permintaan perumahan masih cukup tinggi. Pangsa pasarnya masih sangat besar,” katanya.
Lanjutnya, dengan permintaan KPR yang tinggi bisa disimpulkan bahwa daya beli masyarakat kita masih membaik. Namun disisi lain ancaman macetnya besar ditengah tingginya suku bunga. “Saya menilai pertumbuhan kredit KPR ini harus diwaspadai. Potensi bubble (gelembung) nya cukup besar, jangan sampai pertumbuhan kredit konsumtif tersebut dibiarkan naik tanpa terkontrol,” ujarnya. (put/ila)