30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

PSK Berharap Dulang Rezeki untuk Bekal Pergi

Dolly
Dolly

Tadi malam Pemerintah Kota Surabaya secara resmi menutup lokalisasi Dolly. Bagaimana suasana pada malam terakhir operasi salah satu ikon dunia malam Kota Buaya itu” Jawa Pos secara khusus menghabiskan malam penghabisan tersebut di Gang Dolly, Selasa (17/6).

 

Wajah tirus Tania (bukan nama sebenarnya) malam itu terlihat kusut. Tidak seperti biasanya yang berdandan menor dengan lipstik tebal dan blush-on di pipi, kali ini wajahnya hanya disapu bedak tipis. Pemerah bibirnya juga ala kadarnya. Keceriaan yang biasanya ditunjukkan untuk menarik tamu pun hilang. Sebaliknya, pembawaannya jadi cemberut.

Malam itu, hingga sekitar pukul 21.00, PSK (pekerja seks komersial) asal Indramayu, Jawa Barat, tersebut belum mendapat seorang pun tamu. Padahal, biasanya jam segitu dia sudah menggaet minimal dua tamu.

“Mau dapat tamu bagaimana?  Semua orang takut ke sini,” ujar perempuan 26 tahun itu.

Padahal, pada malam terakhir kerjanya di Dolly tersebut, Tania berharap bisa mendulang banyak “rezeki”. “Minimal buat uang saku pergi dari sini,” ucapnya.

Tania belum kapok menjalani hidup sebagai PSK. Karena itu, dia berencana melanjutkan “karir”-nya di daerah lain yang kehidupan prostitusinya masih ramai. Kalau tidak di Kalimantan Timur, ya di Manado atau ke Batam.

“Mau kerja apa lagi selain begini? Ya, kalau kepepet, baru pulang ke rumah,” kata perempuan yang telah empat tahun menjadi PSK di Dolly tersebut.

Dia mengaku bingung dengan perkembangan situasi sehingga Dolly harus ditutup. “Tidak tahu lah. Pokoknya pergi dari sini,” ujarnya.

Memang, sehari sebelum ditutup, suasana Dolly masih terlihat “ramai”. Suara dentuman musik dangdut tetap terdengar keras bersahut-sahutan dari wisma-wisma yang berjejer di gang sepanjang 300 meter itu. Di ruang-ruang etalase juga masih banyak PSK yang mejeng dengan dandanan tidak senonoh.

Kontras dengan di dalam wisma yang ingar-bingar, suasana di luar tampak sepi. Gang Dolly yang biasanya ramai dengan para hidung belang yang berseliweran keluar masuk wisma, Selasa malam itu, relatif lengang. Tidak banyak calon konsumen yang “memanfaatkan” malam terakhir di lokalisasi yang diklaim sebagai tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara itu.

Usut punya usut, pengunjung Dolly sepi lantaran berita penutupan lokalisasi yang memanas. Apalagi kelompok massa yang menolak penutupan siap melawan. Bahkan, mereka memortal mulut gang yang terkenal hingga mancanegara itu.

“Katanya Dolly akan dibuat rusuh,” ungkap Romadhoni, warga Rungkut, Surabaya, yang ditemui di warung kopi sekitar Gang Dolly.

Menurut dia, kabar mengkhawatirkan tersebut beredar di internet dan menjadi pembicaraan hangat di warung-warung kopi. Itulah yang kemudian membuat para pelanggan Dolly enggan datang untuk kali terakhir.

Keengganan tersebut memang beralasan. Meski wisma dan para makelar beroperasi seperti biasa, tetap saja tercipta atmosfer ketegangan. Sejak pukul 19.00, sejumlah orang berbaju hitam-hitam dengan slayer yang menutup mulut dan hidung mereka turun ke lokalisasi. Mereka berjaga-jaga di seluruh akses menuju Dolly, bahkan melakukan sweeping terhadap awak media yang hendak meliput.

Kendati penjagaan itu tidak terlalu ketat, tetap saja suasana tersebut menyurutkan minat sejumlah pengunjung. Pengendara yang hendak menuju Gang Dolly sudah balik di tanjakan Kampung Girilaya yang berjarak sekitar 700 meter. Yang sudah di mulut gang akhirnya hanya lewat.

Warga yang berkostum ala ninja itu tidak menghedaki adanya penyegelan terhadap lokalisasi yang selama ini telah menghidupi mereka, seperti yang terjadi di lokalisasi Kremil dan Bangunrejo yang lebih dulu ditutup Pemkot Surabaya. Mereka bahkan tidak peduli dengan seremoni deklarasi penutupan yang dilangsungkan di Islamic Center tadi malam.

Itulah alasan warga memblokade akses masuk ke Gang Dolly. “Kami ingin mengamankan kawasan ini,” tegas Koordinator Komunitas Pemuda Independen (KOPI) Saputra.

Berdasar pantauan Jawa Pos, puluhan warga itu seolah bersiap untuk perang. Mereka mempunyai komando masing-masing untuk memobilisasi massa dengan cepat. Mereka juga mempersenjatai diri dengan kayu serta besi.

Kelompok itu bahkan memiliki sistem komunikasi komando yang cukup efektif. “Di antaranya dengan sirene. Bila sirene dibunyikan, itu berarti tanda bahaya dan warga harus berkumpul,” kata Saputra.

Menurut dia, warga akan terus berjaga di Dolly sambil menunggu turunnya SK wali kota tentang penutupan lokalisasi itu. “Kami tak peduli ada deklarasi atau tidak. Yang jelas, begitu SK (penutupan) turun, kami langsung beraksi,” imbuhnya.

Karena itu, kemarin juga muncul aksi penyobekan undangan yang ditujukan kepada sejumlah PSK, mucikari, serta tokoh masyarakat Dolly untuk hadir dalam deklarasi penutupan di Islamic Center. Akibatnya, deklarasi yang dilangsungkan tadi malam hampir pasti tidak dihadiri tokoh kunci Dolly.

“Ini sikap kami. Kami dengan tegas menolak langkah pemkot itu,” tegas Saputra.

Sementara itu, suasana berbeda terjadi esoknya (kemarin, Red). Tiba-tiba orang-orang di kawasan Dolly “jual mahal” kepada wartawan. Para PSK maupun mucikari yang akan diwawancarai meminta bayaran. Mereka beralasan sebagai ganti penghasilan mereka yang hilang karena waktunya habis untuk melayani wawancara wartawan.

Misalnya, yang dialami Jawa Pos ketika hendak mewawancarai PSK. “Wartawan ya? Tidak, saya tidak mau ngomong,” ucapnya.

Begitu pula saat Jawa Pos pindah ke PSK lain, seorang pria yang mendampingi PSK itu langsung mencegah. “Kalau mau wawancara, bayar Mas,” tegasnya serius.

Lho, kok bisa? Pria itu dengan enteng menyatakan bahwa wartawan asing yang meliput mau membayar Rp 400 ribu-Rp 500 ribu untuk wawancara eksklusif.

“Itu juga berlaku dengan wartawan di sini sekarang.”

Koordinator Yayasan Abdi Asih Liliek Sulistyowati meminta masyarakat tidak langsung menilai fenomena PSK yang meminta bayaran saat diwawancarai itu sebagai hal negatif.

“Secara psikologis mereka sangat tertekan dengan kondisi ini. Jadi, tak heran bila mereka minta bayaran untuk setiap wawancara,” terang perempuan yang sudah lebih dari 20 tahun mendampingi dan memberdayakan PSK di Dolly dan Jarak tersebut. Apalagi, tambah dia, pemberitaan media cenderung tidak berpihak kepada para PSK.

“Kalau ada yang tidak mau diwawancarai, itu lebih karena muncul mekanisme defense,” ucap perempuan yang akrab dipanggil Mbak Vera tersebut.

Dengan tekanan psikis seperti sekarang, mereka cenderung memusuhi media. “Padahal, sebenarnya mereka juga harus terbuka kepada media supaya tuntutan dan aspirasi mereka juga didengar pemerintah dan pihak lain. Tapi, ya itu, wartawan juga harus memahami kondisi tersebut,” ujarnya. (tim jawa pos/c5/ari)

Dolly
Dolly

Tadi malam Pemerintah Kota Surabaya secara resmi menutup lokalisasi Dolly. Bagaimana suasana pada malam terakhir operasi salah satu ikon dunia malam Kota Buaya itu” Jawa Pos secara khusus menghabiskan malam penghabisan tersebut di Gang Dolly, Selasa (17/6).

 

Wajah tirus Tania (bukan nama sebenarnya) malam itu terlihat kusut. Tidak seperti biasanya yang berdandan menor dengan lipstik tebal dan blush-on di pipi, kali ini wajahnya hanya disapu bedak tipis. Pemerah bibirnya juga ala kadarnya. Keceriaan yang biasanya ditunjukkan untuk menarik tamu pun hilang. Sebaliknya, pembawaannya jadi cemberut.

Malam itu, hingga sekitar pukul 21.00, PSK (pekerja seks komersial) asal Indramayu, Jawa Barat, tersebut belum mendapat seorang pun tamu. Padahal, biasanya jam segitu dia sudah menggaet minimal dua tamu.

“Mau dapat tamu bagaimana?  Semua orang takut ke sini,” ujar perempuan 26 tahun itu.

Padahal, pada malam terakhir kerjanya di Dolly tersebut, Tania berharap bisa mendulang banyak “rezeki”. “Minimal buat uang saku pergi dari sini,” ucapnya.

Tania belum kapok menjalani hidup sebagai PSK. Karena itu, dia berencana melanjutkan “karir”-nya di daerah lain yang kehidupan prostitusinya masih ramai. Kalau tidak di Kalimantan Timur, ya di Manado atau ke Batam.

“Mau kerja apa lagi selain begini? Ya, kalau kepepet, baru pulang ke rumah,” kata perempuan yang telah empat tahun menjadi PSK di Dolly tersebut.

Dia mengaku bingung dengan perkembangan situasi sehingga Dolly harus ditutup. “Tidak tahu lah. Pokoknya pergi dari sini,” ujarnya.

Memang, sehari sebelum ditutup, suasana Dolly masih terlihat “ramai”. Suara dentuman musik dangdut tetap terdengar keras bersahut-sahutan dari wisma-wisma yang berjejer di gang sepanjang 300 meter itu. Di ruang-ruang etalase juga masih banyak PSK yang mejeng dengan dandanan tidak senonoh.

Kontras dengan di dalam wisma yang ingar-bingar, suasana di luar tampak sepi. Gang Dolly yang biasanya ramai dengan para hidung belang yang berseliweran keluar masuk wisma, Selasa malam itu, relatif lengang. Tidak banyak calon konsumen yang “memanfaatkan” malam terakhir di lokalisasi yang diklaim sebagai tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara itu.

Usut punya usut, pengunjung Dolly sepi lantaran berita penutupan lokalisasi yang memanas. Apalagi kelompok massa yang menolak penutupan siap melawan. Bahkan, mereka memortal mulut gang yang terkenal hingga mancanegara itu.

“Katanya Dolly akan dibuat rusuh,” ungkap Romadhoni, warga Rungkut, Surabaya, yang ditemui di warung kopi sekitar Gang Dolly.

Menurut dia, kabar mengkhawatirkan tersebut beredar di internet dan menjadi pembicaraan hangat di warung-warung kopi. Itulah yang kemudian membuat para pelanggan Dolly enggan datang untuk kali terakhir.

Keengganan tersebut memang beralasan. Meski wisma dan para makelar beroperasi seperti biasa, tetap saja tercipta atmosfer ketegangan. Sejak pukul 19.00, sejumlah orang berbaju hitam-hitam dengan slayer yang menutup mulut dan hidung mereka turun ke lokalisasi. Mereka berjaga-jaga di seluruh akses menuju Dolly, bahkan melakukan sweeping terhadap awak media yang hendak meliput.

Kendati penjagaan itu tidak terlalu ketat, tetap saja suasana tersebut menyurutkan minat sejumlah pengunjung. Pengendara yang hendak menuju Gang Dolly sudah balik di tanjakan Kampung Girilaya yang berjarak sekitar 700 meter. Yang sudah di mulut gang akhirnya hanya lewat.

Warga yang berkostum ala ninja itu tidak menghedaki adanya penyegelan terhadap lokalisasi yang selama ini telah menghidupi mereka, seperti yang terjadi di lokalisasi Kremil dan Bangunrejo yang lebih dulu ditutup Pemkot Surabaya. Mereka bahkan tidak peduli dengan seremoni deklarasi penutupan yang dilangsungkan di Islamic Center tadi malam.

Itulah alasan warga memblokade akses masuk ke Gang Dolly. “Kami ingin mengamankan kawasan ini,” tegas Koordinator Komunitas Pemuda Independen (KOPI) Saputra.

Berdasar pantauan Jawa Pos, puluhan warga itu seolah bersiap untuk perang. Mereka mempunyai komando masing-masing untuk memobilisasi massa dengan cepat. Mereka juga mempersenjatai diri dengan kayu serta besi.

Kelompok itu bahkan memiliki sistem komunikasi komando yang cukup efektif. “Di antaranya dengan sirene. Bila sirene dibunyikan, itu berarti tanda bahaya dan warga harus berkumpul,” kata Saputra.

Menurut dia, warga akan terus berjaga di Dolly sambil menunggu turunnya SK wali kota tentang penutupan lokalisasi itu. “Kami tak peduli ada deklarasi atau tidak. Yang jelas, begitu SK (penutupan) turun, kami langsung beraksi,” imbuhnya.

Karena itu, kemarin juga muncul aksi penyobekan undangan yang ditujukan kepada sejumlah PSK, mucikari, serta tokoh masyarakat Dolly untuk hadir dalam deklarasi penutupan di Islamic Center. Akibatnya, deklarasi yang dilangsungkan tadi malam hampir pasti tidak dihadiri tokoh kunci Dolly.

“Ini sikap kami. Kami dengan tegas menolak langkah pemkot itu,” tegas Saputra.

Sementara itu, suasana berbeda terjadi esoknya (kemarin, Red). Tiba-tiba orang-orang di kawasan Dolly “jual mahal” kepada wartawan. Para PSK maupun mucikari yang akan diwawancarai meminta bayaran. Mereka beralasan sebagai ganti penghasilan mereka yang hilang karena waktunya habis untuk melayani wawancara wartawan.

Misalnya, yang dialami Jawa Pos ketika hendak mewawancarai PSK. “Wartawan ya? Tidak, saya tidak mau ngomong,” ucapnya.

Begitu pula saat Jawa Pos pindah ke PSK lain, seorang pria yang mendampingi PSK itu langsung mencegah. “Kalau mau wawancara, bayar Mas,” tegasnya serius.

Lho, kok bisa? Pria itu dengan enteng menyatakan bahwa wartawan asing yang meliput mau membayar Rp 400 ribu-Rp 500 ribu untuk wawancara eksklusif.

“Itu juga berlaku dengan wartawan di sini sekarang.”

Koordinator Yayasan Abdi Asih Liliek Sulistyowati meminta masyarakat tidak langsung menilai fenomena PSK yang meminta bayaran saat diwawancarai itu sebagai hal negatif.

“Secara psikologis mereka sangat tertekan dengan kondisi ini. Jadi, tak heran bila mereka minta bayaran untuk setiap wawancara,” terang perempuan yang sudah lebih dari 20 tahun mendampingi dan memberdayakan PSK di Dolly dan Jarak tersebut. Apalagi, tambah dia, pemberitaan media cenderung tidak berpihak kepada para PSK.

“Kalau ada yang tidak mau diwawancarai, itu lebih karena muncul mekanisme defense,” ucap perempuan yang akrab dipanggil Mbak Vera tersebut.

Dengan tekanan psikis seperti sekarang, mereka cenderung memusuhi media. “Padahal, sebenarnya mereka juga harus terbuka kepada media supaya tuntutan dan aspirasi mereka juga didengar pemerintah dan pihak lain. Tapi, ya itu, wartawan juga harus memahami kondisi tersebut,” ujarnya. (tim jawa pos/c5/ari)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/