26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Dulu Ngontrak, Kini Untung Rp2,8 M per Bulan

Rangga Umara, Pengusaha Muda yang Sukses dengan Menulis Dream Book

Menjadi pengusaha beromzet miliaran rupiah tak harus menunggu tua. Rangga Umara membuktikannya. Lelaki 31 tahun itu kini bisa mengantongi Rp2,8 miliar per bulan dari bisnis makanan. Mantan karyawan sebuah developer itu meraih sukses dengan menuliskan keinginannya dalam dream book.

AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta

Sebuah mobil Toyota Fortuner hitam B 17 ELA berhenti di pelataran parkir gerai Pecel Lele Lela di Jalan Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur, Kamis lalu (2/6). Fortuner tersebut terasa istimewa dengan nomor polisi spesial. Rangga Umara, bos Pecel Lele Lela, keluar dari mobil itu. “Hampir semua mobil saya, huruf belakangnya ELA. Kan sesuai sama jualannya, Lela,” ujar Rangga, lantas tersenyum.

Pengusaha muda itu sehari-hari selalu tampil segar dan wet look.

Rambutnya ditata bergaya spike. Dia mengenakan kemeja dengan satu kancing teratas tidak dikancingkan dan celana jins. Jenggotnya pun rapi.
“Penampilan juga harus diperhitungkan. Masak, mentang-mentang pengusaha, terus penampilannya acak-acakan. Kita harus memantaskan diri kita juga,” kata dia, lantas tersenyum.

Pecel Lela merupakan usaha yang dikembangkan oleh Rangga sejak 2007. Saat ini dia sudah memiliki 32 cabang di Bandung dan Jakarta. Dia menarget, sebelum bulan puasa, delapan cabang lagi akan berdiri. Omzetnya kini mencapai Rp2,8 miliar per bulan. “Total akan ada 40 cabang sebelum masuk Ramadan,” tutur dia.

Nama Lela bukan nama kakek, orang tua, atau saudara Rangga. Lela adalah akronim dari lebih laku atau lebih laris. “Itu bisa menjadi doa juga, kan,” ucap dia.

Rangga memulai usaha tersebut saat masih berusia 27 tahun. Saat itu dia menggeluti bisnis tersebut sebagai sampingan. Sebab, dia sudah punya pekerjaan rutin di bagian marketing communication sebuah developer apartemen. Karena masih sampingan, usaha tersebut tidak terlalu optimal. Namun, ayah Razan Muhammad Ichsan, 4, dan Ghanny Adzra Umara, 2, itu tetap mempunyai impian bahwa suatu saat dirinya akan berfokus di usaha tersebut.

Keinginan Rangga terjawab. Developer tempatnya bekerja seret order. Sejumlah karyawan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK). Rangga termasuk karyawan yang berada dalam daftar PHK. “Sebelum di-PHK, mending saya keluar,” ungkap dia.

Rangga akhirnya keluar. Padahal, saat itu dia sudah punya tanggungan. Yakni, istri dan anak pertamanya. Namun, dia tetap nekat membuka usaha. Sebab, menurut dia, usaha adalah satu-satunya jalan untuk menjadi kaya. Jadi karyawan apa pun, ungkap dia, tidak bisa menjadikan seseorang kaya.

Masa-masa awal membuka usaha adalah “masa-masa berdarah” bagi Rangga. Sebab, saat itu dia belum benar-benar memahami bisnis. Semuanya dilakukan dengan belajar seadanya. Mulai mendatangkan koki, menggambar logo Pecel Lele Lela, hingga mengelola keuangan.

Pada masa-masa awal, satu gerai Pecel Lele Lela menghasilkan keuntungan bersih sampai Rp3 juta. Namun, karena banyaknya pengeluaran kecil, keuntungan itu tak terasa. Keuangan keluarga justru minus. Sampai-sampai Rangga bersama istri, Siti Umairah, dan anaknya diusir keluar kontrakan karena tidak kuat bayar.

“Saat itu saya pulang ke rumah kontrakan malam-malam. Ternyata, di luar sudah banyak barang. Di situ ada tulisan dari istri, katanya dia diusir dari kontrakan. Dia mengungsi ke rumah mertua bersama anak saya,” ucap dia.
Kejadian tersebut betul-betul memukul Rangga. Sampai-sampai mertua menegur karena Rangga dianggap tidak mampu membahagiakan anaknya. “Saya mengevaluasi total semua usaha saya,” tegas lulusan STMIK Bandung tersebut.Sejak saat itu, Rangga mengubah persepsinya. Sebelumnya, dia selalu mengesampingkan urusan keluarga dengan alasan bisnis. Bukan hanya urusan membayar uang kontrakan, tapi juga perhatian dan waktu. Logika yang dia pakai saat itu terbalik. “Keluarga tetap yang pertama, setelah itu baru bisnis. Kalau kita sukses mengelola keluarga, bisnis akan ngikut,” ucap dia.

Setelah itu, Rangga membenahi semua manajemen rumah makannya. Apalagi, saat itu dia bertemu seorang teman lama yang bekerja di sebuah waralaba internasional bidang ayam goreng. Dia memberikan banyak saran kepada Rangga. “Dulu tidak ada biaya konsultasi. Dia cuma saya kasih uang transpor,” ungkap dia.

Rangga kemudian belajar tentang banyak hal dari rekannya itu. Secara perlahan, bisnisnya mulai tumbuh. Dia juga memberikan waktu lebih untuk keluarga. Saat keuntungan satu cabang belum optimal, dia memberanikan diri membuka gerai-gerai lain.

“Kalau satu cabang belum untung, jangan takut buka cabang lain. Satu cabang tidak untung, itu bisa disebabkan lokasi, orang-orang di cabang tersebut, dan lain sebagainya. Bisa jadi cabang yang rugi akan ditopang cabang lain,” beber dia.

Usaha Rangga mengalami titik balik. Sukses membenahi manajemen, keuntungan-keuntungan mulai diraup. Menurut Rangga, kunci membuka usaha adalah manajemen efektif. Banyak warung atau rumah makan yang kelihatannya ramai, tapi ternyata keuntungannya sedikit, bahkan uangnya tidak kelihatan. Mereka yang mengurusi manajemen harus orang yang paham tentang manajemen rumah makan.

Karena itu, Rangga merekrut sejumlah pegawai waralaba rumah makan untuk mengelola cabang-cabangnya. Dari 32 cabang yang dia miliki, 50 persen kepala cabang dijabat eks manajer waralaba terkenal tersebut. General manager operasional dan direktur operasional juga didatangkan dari waralaba itu. Memang ongkosnya lebih mahal. “Tapi, berbanding lurus dengan efisiensinya,” papar dia.

Rangga menuturkan, salah satu kuncinya adalah dream book. Itu adalah buku yang berisi tulisan tentang impian-impian yang dia raih. Di buku tersebut, dia tuliskan obsesi, ambisi, sampai capaian-capaian yang ingin diraih. “Saya menulis sejak kuliah,” ungkap dia.

Di buku itu, dia sebutkan apa pun keinginannya. Mulai ingin seperti apa usahanya di masa depan hingga target keuntungan. Dream book tersebut tidak kaku dipraktikkan, bahkan bisa selalu direvisi atau di-update sesuai dengan kondisi terkini. Yang penting, dream book harus konkret dan logis. “Jangan konyol-konyolan. Misalnya, ingin mobil Mercy, tapi tidak ditulis caranya bagaimana. Ingin usaha kayak apa atau income berapa,” ucap dia.

Rangga mengatakan, menulis dream book memang tampak sepele. Namun, itu justru sangat efektif untuk membentuk semangat dan menarik sinyal-sinyal positif di sekitarnya agar impiannya tercapai. “Dalam penelitian selama sepuluh tahun di Harvard University, mereka yang menulis keinginan dalam buku memiliki penghasilan sepuluh kali lebih besar daripada yang tidak,” terang dia.

Selain itu, imbuh Rangga, menulis keinginan memengaruhi otak bawah sadar untuk mewujudkannya. Syaratnya, tulisan tersebut harus tulisan tangan. Bukan ketikan di komputer atau laptop, kemudian dicetak. “Diketik boleh, tapi setelah itu harus ditulis ulang,” tegas dia. (c11/nw/jpnn)

Rangga Umara, Pengusaha Muda yang Sukses dengan Menulis Dream Book

Menjadi pengusaha beromzet miliaran rupiah tak harus menunggu tua. Rangga Umara membuktikannya. Lelaki 31 tahun itu kini bisa mengantongi Rp2,8 miliar per bulan dari bisnis makanan. Mantan karyawan sebuah developer itu meraih sukses dengan menuliskan keinginannya dalam dream book.

AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta

Sebuah mobil Toyota Fortuner hitam B 17 ELA berhenti di pelataran parkir gerai Pecel Lele Lela di Jalan Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur, Kamis lalu (2/6). Fortuner tersebut terasa istimewa dengan nomor polisi spesial. Rangga Umara, bos Pecel Lele Lela, keluar dari mobil itu. “Hampir semua mobil saya, huruf belakangnya ELA. Kan sesuai sama jualannya, Lela,” ujar Rangga, lantas tersenyum.

Pengusaha muda itu sehari-hari selalu tampil segar dan wet look.

Rambutnya ditata bergaya spike. Dia mengenakan kemeja dengan satu kancing teratas tidak dikancingkan dan celana jins. Jenggotnya pun rapi.
“Penampilan juga harus diperhitungkan. Masak, mentang-mentang pengusaha, terus penampilannya acak-acakan. Kita harus memantaskan diri kita juga,” kata dia, lantas tersenyum.

Pecel Lela merupakan usaha yang dikembangkan oleh Rangga sejak 2007. Saat ini dia sudah memiliki 32 cabang di Bandung dan Jakarta. Dia menarget, sebelum bulan puasa, delapan cabang lagi akan berdiri. Omzetnya kini mencapai Rp2,8 miliar per bulan. “Total akan ada 40 cabang sebelum masuk Ramadan,” tutur dia.

Nama Lela bukan nama kakek, orang tua, atau saudara Rangga. Lela adalah akronim dari lebih laku atau lebih laris. “Itu bisa menjadi doa juga, kan,” ucap dia.

Rangga memulai usaha tersebut saat masih berusia 27 tahun. Saat itu dia menggeluti bisnis tersebut sebagai sampingan. Sebab, dia sudah punya pekerjaan rutin di bagian marketing communication sebuah developer apartemen. Karena masih sampingan, usaha tersebut tidak terlalu optimal. Namun, ayah Razan Muhammad Ichsan, 4, dan Ghanny Adzra Umara, 2, itu tetap mempunyai impian bahwa suatu saat dirinya akan berfokus di usaha tersebut.

Keinginan Rangga terjawab. Developer tempatnya bekerja seret order. Sejumlah karyawan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK). Rangga termasuk karyawan yang berada dalam daftar PHK. “Sebelum di-PHK, mending saya keluar,” ungkap dia.

Rangga akhirnya keluar. Padahal, saat itu dia sudah punya tanggungan. Yakni, istri dan anak pertamanya. Namun, dia tetap nekat membuka usaha. Sebab, menurut dia, usaha adalah satu-satunya jalan untuk menjadi kaya. Jadi karyawan apa pun, ungkap dia, tidak bisa menjadikan seseorang kaya.

Masa-masa awal membuka usaha adalah “masa-masa berdarah” bagi Rangga. Sebab, saat itu dia belum benar-benar memahami bisnis. Semuanya dilakukan dengan belajar seadanya. Mulai mendatangkan koki, menggambar logo Pecel Lele Lela, hingga mengelola keuangan.

Pada masa-masa awal, satu gerai Pecel Lele Lela menghasilkan keuntungan bersih sampai Rp3 juta. Namun, karena banyaknya pengeluaran kecil, keuntungan itu tak terasa. Keuangan keluarga justru minus. Sampai-sampai Rangga bersama istri, Siti Umairah, dan anaknya diusir keluar kontrakan karena tidak kuat bayar.

“Saat itu saya pulang ke rumah kontrakan malam-malam. Ternyata, di luar sudah banyak barang. Di situ ada tulisan dari istri, katanya dia diusir dari kontrakan. Dia mengungsi ke rumah mertua bersama anak saya,” ucap dia.
Kejadian tersebut betul-betul memukul Rangga. Sampai-sampai mertua menegur karena Rangga dianggap tidak mampu membahagiakan anaknya. “Saya mengevaluasi total semua usaha saya,” tegas lulusan STMIK Bandung tersebut.Sejak saat itu, Rangga mengubah persepsinya. Sebelumnya, dia selalu mengesampingkan urusan keluarga dengan alasan bisnis. Bukan hanya urusan membayar uang kontrakan, tapi juga perhatian dan waktu. Logika yang dia pakai saat itu terbalik. “Keluarga tetap yang pertama, setelah itu baru bisnis. Kalau kita sukses mengelola keluarga, bisnis akan ngikut,” ucap dia.

Setelah itu, Rangga membenahi semua manajemen rumah makannya. Apalagi, saat itu dia bertemu seorang teman lama yang bekerja di sebuah waralaba internasional bidang ayam goreng. Dia memberikan banyak saran kepada Rangga. “Dulu tidak ada biaya konsultasi. Dia cuma saya kasih uang transpor,” ungkap dia.

Rangga kemudian belajar tentang banyak hal dari rekannya itu. Secara perlahan, bisnisnya mulai tumbuh. Dia juga memberikan waktu lebih untuk keluarga. Saat keuntungan satu cabang belum optimal, dia memberanikan diri membuka gerai-gerai lain.

“Kalau satu cabang belum untung, jangan takut buka cabang lain. Satu cabang tidak untung, itu bisa disebabkan lokasi, orang-orang di cabang tersebut, dan lain sebagainya. Bisa jadi cabang yang rugi akan ditopang cabang lain,” beber dia.

Usaha Rangga mengalami titik balik. Sukses membenahi manajemen, keuntungan-keuntungan mulai diraup. Menurut Rangga, kunci membuka usaha adalah manajemen efektif. Banyak warung atau rumah makan yang kelihatannya ramai, tapi ternyata keuntungannya sedikit, bahkan uangnya tidak kelihatan. Mereka yang mengurusi manajemen harus orang yang paham tentang manajemen rumah makan.

Karena itu, Rangga merekrut sejumlah pegawai waralaba rumah makan untuk mengelola cabang-cabangnya. Dari 32 cabang yang dia miliki, 50 persen kepala cabang dijabat eks manajer waralaba terkenal tersebut. General manager operasional dan direktur operasional juga didatangkan dari waralaba itu. Memang ongkosnya lebih mahal. “Tapi, berbanding lurus dengan efisiensinya,” papar dia.

Rangga menuturkan, salah satu kuncinya adalah dream book. Itu adalah buku yang berisi tulisan tentang impian-impian yang dia raih. Di buku tersebut, dia tuliskan obsesi, ambisi, sampai capaian-capaian yang ingin diraih. “Saya menulis sejak kuliah,” ungkap dia.

Di buku itu, dia sebutkan apa pun keinginannya. Mulai ingin seperti apa usahanya di masa depan hingga target keuntungan. Dream book tersebut tidak kaku dipraktikkan, bahkan bisa selalu direvisi atau di-update sesuai dengan kondisi terkini. Yang penting, dream book harus konkret dan logis. “Jangan konyol-konyolan. Misalnya, ingin mobil Mercy, tapi tidak ditulis caranya bagaimana. Ingin usaha kayak apa atau income berapa,” ucap dia.

Rangga mengatakan, menulis dream book memang tampak sepele. Namun, itu justru sangat efektif untuk membentuk semangat dan menarik sinyal-sinyal positif di sekitarnya agar impiannya tercapai. “Dalam penelitian selama sepuluh tahun di Harvard University, mereka yang menulis keinginan dalam buku memiliki penghasilan sepuluh kali lebih besar daripada yang tidak,” terang dia.

Selain itu, imbuh Rangga, menulis keinginan memengaruhi otak bawah sadar untuk mewujudkannya. Syaratnya, tulisan tersebut harus tulisan tangan. Bukan ketikan di komputer atau laptop, kemudian dicetak. “Diketik boleh, tapi setelah itu harus ditulis ulang,” tegas dia. (c11/nw/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/