30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bicara Itu Gampang, Menulis Tunggu Dulu

Oleh: Ramadhan Batubara

Ada yang terhenyak begitu mengetahui banyak siswa SMP dan SMA tak lulus Ujian Nasional (UN) karena gagal di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sepertinya hal itu sangat lucu, pasalnya Bahasa Indonesia kan digunakan setiap hari. Bicara dengan Bahasa Indonesia kan gampang?

Nah, ini dia yang kurang dipahami. Ya, sudah pahamkah kita dengan bahasa yang kita gunakan setiap hari itu? Maksudnya, apakah yang kita gunakan setiap hari itu adalah Bahasa Indonesia yang benar?

Pertanyaan di atas tentunya memancing pertanyaan lain; Bahasa Indonesia yang benar itu seperti apa? Bukankah inti dari bahasa sebagai alat komunikasi adalah sebuah pengertian. Dengan kata lain, ketika kita menggunakan Bahasa Indonesia dan lawan bicara kita mengerti, maka kita sudah menggunakan bahasa tersebut dengan benar.

Sayangnya, hal soal bahasa tidak sesederhana itu. Sadar atau tidak sadar, ada dua varian Bahasa Indonesia yang berkembang. Bahasa cakapan dan bahasa ilmiah. Nah, bahasa cakapan adalah bahasa yang sehari-hari kita pakai. Varian ini pun ternyata tak sesederhana yang kita bayangkan. Pasalnya, dalam varian ini unsur latar belakang —sosial budaya— sangat berpengaruh, contohnya soal dialek. Bahasa Indonesia yang digunakan di wilayah Medan tentunya berbeda dengan yang berada di Papua. Selain soal irama, kata serapan dari bahasa daerah, pola bebrbahasa juga tidak sama. Misalnya dialek Medan, bahasa di wilayah ini cenderung mengarah pada penekanan. Contoh nyata perhatikan percakapan seorang ibu dengan anaknya berikut ini.

“Lena, cepat kau ambilkan minyak makan itu!” perintah sang ibu.

Lena yang sedang menyapu langsung menjawab, “Mamak suruh aku nyapu tapi….”
Ada yang aneh dengan percakapan di atas? Bagi orang Medan percakapan itu adalah hal yang wajar, tapi coba perhatikan polanya. Menurut Bahasa Indonesia yang benar, kata sambung ‘tapi’ letaknya tidak berada di akhir kalimat kan? Nah, ini dia pengaruh dari penekanan yang dimaksud di atas tadi. Selain itu, dari percakapan di atas juga tertangkap pengaruh penekanan yang lebih lokal. Contohnya pada kata  ‘minyak makan’. Sadarkah orang Medan kalau kata itu tidak dimengerti di belahan lain Indonesia? Tersinggungkah orang Medan ketika orang di Pulau Jawa sana mengerutkan dahi begitu mendengar kata ‘minyak makan’ itu. Ayolah, orang di Pulau Jawa tentunya tak habis pikir jika ada ‘minyak makan’; minyak kok dimakan atau kok ada minyak untuk makan. Bagi mereka, untuk maksud dari ‘minyak makan’ adalah minyak sayur. Nah, orang Medan tentunya akan tertawa; minyak kok dari sayur, minyak itu kan dari kelapa?

Varian bahasa kedua adalah bahasa ilmiah. Maksudnya, varian ini adalah bahasa yang digunakan untuk kepentingan ilmiah. Dia berbanding terbalik dengan bahasa cakapan yang cenderung bebas ke mana suka; jika kedua belah pihak mengerti, maka bahasa itu sudah sukses. Bahasa ini malah terikat dengan tatanan yang telah ditetapkan. Ikatan yang tegas terkait pola kalimat, pembentukan kata, dan segala hal lain yang memang telah disempurnakan. Maka, yang terjawab adalah bahasa itu menjadi kaku dan tidak lentur; jauh berbeda dengan apa yang sering digunakan sehari-hari. Untuk varian ini dapat dilihat pada karya ilmiah semacam makalah, skripsi, tesis, pidato resmi, dan sebagainya.

Masalahnya, dalam bahasa yang disempurnakan ini ternyata tidak begitu sempurna juga. Ada kebijakan yang kurang konsisten. Misalnya soal rumus KPST. Maksudnya, kata dasar yang hurup pertamanya K, P, S, dan T akan luluh ketika mendapat imbuhan ‘me-kan’. Contohnya kata ‘Kabar’, maka dia akan menjadi ‘mengabarkan’ atau ‘Puas’ menjadi ‘memuaskan’, dan sebagainya. Tidak konsisten ketika ada kata ‘Konsumsi’, apakah dia jadi ‘mengonsumsi’? Nah, untuk kata terakhir ini ada sedikit perdebatan di antara ahli bahasa. Satu pihak mengatakan kata itu menjadi ‘mengonsumsi’, tapi dipihak lain berubah menjadi ‘mengkonsumsi’. Alasannya, ‘Konsumsi’ merupakan kata serapan. Jadi, teorinya, rumus KPST itu tidak berlaku pada kata serapan. dari perdebatan ini saja muncul lagi perdebatan lainnya, yakni kata dalam Bahasa Indonesia mana yang tidak serapan? Buikankah Bahsa Indonesia berasal sedikitnya dari sembilan bahasa asing (Arab, Sansekerta, Belanda, Inggris, Perancis, China, Spanyol, Inggris, POrtugis) ditambah dengan bahasa daerah? Fiuh!

Disaat masih kurang tegasnya Bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahasa ilmiah inilah yang dipakai untuk jawaban dan soal dalam UN. Bisa bayangkan kerutan dahi siswa yang mengikuti ujian Bahasa Indonesia sementara dalam kehidupan sehari-hari mereka sangat jarang menggunakan bahasa itu? Hm, mungkin karena itulah Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh hanya bisa bercanda begitu mendapati kenyataan ini. “Kayaknya siswa ini baru pulang dari luar negeri,” katanya beberapa hari lalu di media massa.

Muhammad Nuh tampaknya tak bisa berkata-kata lagi. Pasalnya, data berbicara, untuk tingkat pesereta UN SMP/MTD, nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Indonesia 7,49. Nilai maksimum yang diraih siswa 9,90, sedangkan nilai terendah 0,80. Sementara bahasa Inggris dan IPA masing-masing bernilai minimum 0,9 dan 1,0. “Dibandingkan mata pelajaran lain, nilai rata-rata Bahasa Indonesia termasuk yang paling rendah,” tambah Nuh pula.

Dan, tidak itu saja, sebelumnya untuk tingkat SMA/MA, ada 1.786 siswa diganjar ketidaklulusan UN 2011, akibat mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang dari 4. Jumlah itu merupakan yang terbanyak kedua setelah Matematika.
Lalu, siapa yang mau disalahkan? Entahlah. Yang jelas, setiap tahunnya lahir ribuan sarjana sastra Indonesia. Kemanakah mereka? Tidak itu saja, Bahasa Indonesia pun menjadi mata kuliah wajib di nyaris semua jurusan yang ada di perguruan tinggi; baik universitas, institut, sekolah tinggi, dan akademi. Dan, bukankah negara ini memiliki Balai Bahasa di setiap provinsinya?

Tapi, sudahlah, soal bahasa yang digunakan dengan bahasa yang diilmukan memang sering menjadi masalah. Bukan hanya di Indonesia, di Inggris dan Amerika pun nyaris sama. Lihat saja di film-film, ketika menyebutkan nama, pasti lawan bicaranya bertanya, “Ejaannya seperti apa?” Dari kasus ini kan menggambarkan kalau tulisan dan ucapan masih juga bermasalah di sana.

Tak perlu jauh-jauh, liriklah surat kabar. Lucunya, mereka yang bekerja sebagai pekerja teks saja masih terus mengulang kesalahan; dalam berita masih dapat dilihat bagaimana ‘bahasa ibu’ mempengaruhi kalimat mereka. Selain itu, bahasa koran juga menjadi unik, dia menjadi sesuatu yang khas; berada di antara bahasa cakapan dengan ilmiah. Karena itu, ada yang mengatakan kalau bahasa koran atau media pada umumnya (media cetak dan elektronika) adalah perusak Bahasa Indonesia. Tapi, sekali lagi sudahlah, toh, saya juga bukan ahli bahasa.(*)
3 Jun 2011

Oleh: Ramadhan Batubara

Ada yang terhenyak begitu mengetahui banyak siswa SMP dan SMA tak lulus Ujian Nasional (UN) karena gagal di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sepertinya hal itu sangat lucu, pasalnya Bahasa Indonesia kan digunakan setiap hari. Bicara dengan Bahasa Indonesia kan gampang?

Nah, ini dia yang kurang dipahami. Ya, sudah pahamkah kita dengan bahasa yang kita gunakan setiap hari itu? Maksudnya, apakah yang kita gunakan setiap hari itu adalah Bahasa Indonesia yang benar?

Pertanyaan di atas tentunya memancing pertanyaan lain; Bahasa Indonesia yang benar itu seperti apa? Bukankah inti dari bahasa sebagai alat komunikasi adalah sebuah pengertian. Dengan kata lain, ketika kita menggunakan Bahasa Indonesia dan lawan bicara kita mengerti, maka kita sudah menggunakan bahasa tersebut dengan benar.

Sayangnya, hal soal bahasa tidak sesederhana itu. Sadar atau tidak sadar, ada dua varian Bahasa Indonesia yang berkembang. Bahasa cakapan dan bahasa ilmiah. Nah, bahasa cakapan adalah bahasa yang sehari-hari kita pakai. Varian ini pun ternyata tak sesederhana yang kita bayangkan. Pasalnya, dalam varian ini unsur latar belakang —sosial budaya— sangat berpengaruh, contohnya soal dialek. Bahasa Indonesia yang digunakan di wilayah Medan tentunya berbeda dengan yang berada di Papua. Selain soal irama, kata serapan dari bahasa daerah, pola bebrbahasa juga tidak sama. Misalnya dialek Medan, bahasa di wilayah ini cenderung mengarah pada penekanan. Contoh nyata perhatikan percakapan seorang ibu dengan anaknya berikut ini.

“Lena, cepat kau ambilkan minyak makan itu!” perintah sang ibu.

Lena yang sedang menyapu langsung menjawab, “Mamak suruh aku nyapu tapi….”
Ada yang aneh dengan percakapan di atas? Bagi orang Medan percakapan itu adalah hal yang wajar, tapi coba perhatikan polanya. Menurut Bahasa Indonesia yang benar, kata sambung ‘tapi’ letaknya tidak berada di akhir kalimat kan? Nah, ini dia pengaruh dari penekanan yang dimaksud di atas tadi. Selain itu, dari percakapan di atas juga tertangkap pengaruh penekanan yang lebih lokal. Contohnya pada kata  ‘minyak makan’. Sadarkah orang Medan kalau kata itu tidak dimengerti di belahan lain Indonesia? Tersinggungkah orang Medan ketika orang di Pulau Jawa sana mengerutkan dahi begitu mendengar kata ‘minyak makan’ itu. Ayolah, orang di Pulau Jawa tentunya tak habis pikir jika ada ‘minyak makan’; minyak kok dimakan atau kok ada minyak untuk makan. Bagi mereka, untuk maksud dari ‘minyak makan’ adalah minyak sayur. Nah, orang Medan tentunya akan tertawa; minyak kok dari sayur, minyak itu kan dari kelapa?

Varian bahasa kedua adalah bahasa ilmiah. Maksudnya, varian ini adalah bahasa yang digunakan untuk kepentingan ilmiah. Dia berbanding terbalik dengan bahasa cakapan yang cenderung bebas ke mana suka; jika kedua belah pihak mengerti, maka bahasa itu sudah sukses. Bahasa ini malah terikat dengan tatanan yang telah ditetapkan. Ikatan yang tegas terkait pola kalimat, pembentukan kata, dan segala hal lain yang memang telah disempurnakan. Maka, yang terjawab adalah bahasa itu menjadi kaku dan tidak lentur; jauh berbeda dengan apa yang sering digunakan sehari-hari. Untuk varian ini dapat dilihat pada karya ilmiah semacam makalah, skripsi, tesis, pidato resmi, dan sebagainya.

Masalahnya, dalam bahasa yang disempurnakan ini ternyata tidak begitu sempurna juga. Ada kebijakan yang kurang konsisten. Misalnya soal rumus KPST. Maksudnya, kata dasar yang hurup pertamanya K, P, S, dan T akan luluh ketika mendapat imbuhan ‘me-kan’. Contohnya kata ‘Kabar’, maka dia akan menjadi ‘mengabarkan’ atau ‘Puas’ menjadi ‘memuaskan’, dan sebagainya. Tidak konsisten ketika ada kata ‘Konsumsi’, apakah dia jadi ‘mengonsumsi’? Nah, untuk kata terakhir ini ada sedikit perdebatan di antara ahli bahasa. Satu pihak mengatakan kata itu menjadi ‘mengonsumsi’, tapi dipihak lain berubah menjadi ‘mengkonsumsi’. Alasannya, ‘Konsumsi’ merupakan kata serapan. Jadi, teorinya, rumus KPST itu tidak berlaku pada kata serapan. dari perdebatan ini saja muncul lagi perdebatan lainnya, yakni kata dalam Bahasa Indonesia mana yang tidak serapan? Buikankah Bahsa Indonesia berasal sedikitnya dari sembilan bahasa asing (Arab, Sansekerta, Belanda, Inggris, Perancis, China, Spanyol, Inggris, POrtugis) ditambah dengan bahasa daerah? Fiuh!

Disaat masih kurang tegasnya Bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahasa ilmiah inilah yang dipakai untuk jawaban dan soal dalam UN. Bisa bayangkan kerutan dahi siswa yang mengikuti ujian Bahasa Indonesia sementara dalam kehidupan sehari-hari mereka sangat jarang menggunakan bahasa itu? Hm, mungkin karena itulah Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh hanya bisa bercanda begitu mendapati kenyataan ini. “Kayaknya siswa ini baru pulang dari luar negeri,” katanya beberapa hari lalu di media massa.

Muhammad Nuh tampaknya tak bisa berkata-kata lagi. Pasalnya, data berbicara, untuk tingkat pesereta UN SMP/MTD, nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Indonesia 7,49. Nilai maksimum yang diraih siswa 9,90, sedangkan nilai terendah 0,80. Sementara bahasa Inggris dan IPA masing-masing bernilai minimum 0,9 dan 1,0. “Dibandingkan mata pelajaran lain, nilai rata-rata Bahasa Indonesia termasuk yang paling rendah,” tambah Nuh pula.

Dan, tidak itu saja, sebelumnya untuk tingkat SMA/MA, ada 1.786 siswa diganjar ketidaklulusan UN 2011, akibat mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang dari 4. Jumlah itu merupakan yang terbanyak kedua setelah Matematika.
Lalu, siapa yang mau disalahkan? Entahlah. Yang jelas, setiap tahunnya lahir ribuan sarjana sastra Indonesia. Kemanakah mereka? Tidak itu saja, Bahasa Indonesia pun menjadi mata kuliah wajib di nyaris semua jurusan yang ada di perguruan tinggi; baik universitas, institut, sekolah tinggi, dan akademi. Dan, bukankah negara ini memiliki Balai Bahasa di setiap provinsinya?

Tapi, sudahlah, soal bahasa yang digunakan dengan bahasa yang diilmukan memang sering menjadi masalah. Bukan hanya di Indonesia, di Inggris dan Amerika pun nyaris sama. Lihat saja di film-film, ketika menyebutkan nama, pasti lawan bicaranya bertanya, “Ejaannya seperti apa?” Dari kasus ini kan menggambarkan kalau tulisan dan ucapan masih juga bermasalah di sana.

Tak perlu jauh-jauh, liriklah surat kabar. Lucunya, mereka yang bekerja sebagai pekerja teks saja masih terus mengulang kesalahan; dalam berita masih dapat dilihat bagaimana ‘bahasa ibu’ mempengaruhi kalimat mereka. Selain itu, bahasa koran juga menjadi unik, dia menjadi sesuatu yang khas; berada di antara bahasa cakapan dengan ilmiah. Karena itu, ada yang mengatakan kalau bahasa koran atau media pada umumnya (media cetak dan elektronika) adalah perusak Bahasa Indonesia. Tapi, sekali lagi sudahlah, toh, saya juga bukan ahli bahasa.(*)
3 Jun 2011

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/