24 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Sahabatku Irfan Sulaiman

“Dik Sunaryono, barusan tadi  saya kontak telpon Suhaili, antara lain dia bilang bhw Irfantelah meninggal pd tgl  7 April yg lalu  pd usia 73 thn. Dik  Sunaryono  sendiri  sehat-sehat  saja ya Dik. Salam  sejahtera unk  sekeluarga  di sini. Tetap  saja  dr ST &J.”
Aku terhenyak  dari berbaringku sore itu. Innalilahi  wa Inailaihi rojiun, bisikku. Jadi  Mas  Irfan  telah meninggal dunia. Ini berita tentang  seseorang yang tinggal  di Banyuwangi,  datangnya melalui SMS  dari Jerman. Walau aku tahu  SMS ke Jerman  lebih mahal tarifnya  dari tarif  SMS  di dalam negeri,  aku jawab  pula  SMS itu  dengan “Innalilahi”. SMS  datang  dari Sas Soeprijadi Tomodihardjo yang dulu sering menelepon dari Jerman.

Cerpen   Sunaryono Basuki Ks

Hanya dua  orang yang pernah meneleponku  dari luar negeri, yang seorang  lagi  adalah  Made Widana  dari Paris. Bekas  mahasiswaku itu  sekarang  sudah kaya-raya,  dan  selalu bercerita mengenai sukses  bisnisnya. Celakanya,  kalau dia menelepon bisa  setengah  jam lebih, padahal aku  lekas merasa capek  bila  harus  duduk menerima telpon  selama itu. Kata  Widana,  dia  membeli kartu telepon  delapan puluh Euro. Entah  berapa  rupiahnya dan  walaupun  andaikata  di Indonesia  ada kartu “murah”  semacam itu, aku  takkan mampu membelinya apalagi aku  tidak punya  telepon yang bisa  aku  hubungi. Walau  Widana dan Pak Soeprijadi menelpon, aku  tidak tahu  berapa nomor telpon rumahnya. Tetapi sayangnya, setiap  saat  Widana  menelepon bukan menanyakan keadaanku tetapi malah  menyarankan  aku berbisnis  buku  lewat internet.
“Bisnis  konvensional sudah ketinggalan jaman.”

Tetapi dia  tidak  mau tahu bahwa ongkos  kirim buku per pos  sangat mahal di Indonesia, bisa-bisa  harga  per-eks  buku lebih  mahal dari harga  di toko buku. Padahal kalau aku  harus  menjual  buku-bukuku,  aku harus membeli  lebih dulu dari penerbit,  dan hal itu perlu modal besar.

Jadi  aku sudah tua. Aku  tidak  tahu kalau Irfan ternyata lebih tua  dariku. Usiaku  hampir  tujuh puluh tahun, dan  Irfan ternyata sudah berusia  tujuh puluh tiga tahun. Kami  bertiga  teman akrab: Hermanadi, Irfan  dan diriku. Kebetulan Hermanadi  tinggal di Jalan Kaliurang  Barat  di rumah pakdenya,  dan  aku di Jalan Lebaksari  yang hanya  selangkah  dari Kaliurang. Sedangkan Irfan  mondok  di Jalan Nongkojajar Gang III. Jalan  Nongkojajar merupakan  cabang  dari Jalan Lebaksari. Karena pondokannya paling dekat  dengan rumahku, maka  aku pun  paling sering  berkunjung  ke pondokannya.

Pondokannya  terletak di ujung gang  dengan sebatang pohon besar, kalau tidak  salah pohon mangga. Dan bila malam tiba, pohon mangga itu berbuah ayam. Ayam-ayam peliharaan induk semang Irfan  tidak  dikandangkan tetapi secara “tahu diri” menempatkan dirinya  di cabang-cabang pohon mangga itu.
“Banyak ayamnya, Fan?”  pernah  aku tanya.
“Wah. Ibu  saja tidak tahu.”

Yang membuatku dekat  dengan Irfan  mungkin  kegemarannya  menulis puisi. Aku juga  dan aku berhasil mengajaknya mengirim puisi  ke ruang remaja  Majalah Trio. Pengasuhnya mula-mula  Mbak Surtiningsih  WT, istri Pak  Sukanto SA  sastrawan terkenal. Namun  kemudian  ruang itu  diasuh oleh  seorang mahasiswi Fakultas  Sastra UI yang bernama Edi  Sedyawati. Kak Edi panggilannya.1

Dan   beberapa sajaknya  dimuat juga  di ruang remaja itu. Aku  sendiri menulis  cerita pendek,  yang kuingat berjudul “Jambangan Bunga  Anyelir”  dan  juga menulis  komentar pendek mengenai tukang catut karcis  bioskop  di Malang.  Mungkin karena  sama-sama  menyukai  dunia karang-mengarang kami  akrab,  lebih akrab dibanding dengan Hermanadi. Tetapi  kelebihan Hermanadi, dia pemain bulutangkis yang hebat. Ini mungkin gara-gara rumah pak de-nya  berhalaman luas  dan  tiap  sore dia  bisa berlatih  bulutangkis  bersama  para  sepupunya.
Tetapi kami bertiga  pernah  terlibat  di dalam  satu peristiwa  sastra.  Pada  suatu hari libur kami bertiga melancong  ke Surabaya, menginap  di rumah kakak Irfan di Jalan Raya Gubeng. Bukan rumah  sebenarnya, tetapi  sebuah garase  yang  diubah menjadi tempat tinggal.  Rumah kecil itu  terletak di bagian belakang  sebuah rumah besar  yang penghuninya  bermacam-macam.

“Di depan  situ tinggal Pak Soeprijadi,” kata kakak Irfan.
“Oh, sastrawan terkenal itu. Saya tahu namanya,” kataku.
“Ayo  ke sana  saja berkenalan,” katanya.
“Malu, Mas.”
Aku  kenal  dengan Pak Soeprijadi melalui  surat saja. Dia menjadi  redaktur ruang budaya  sebuah koran  dan aku mengirim  sajak  ke  ruang itu  dan dimuat. Beberapa yang dimuat,  walau aku menggunakan nama samaran yang kemudian ditandai  oleh Dr Uriel  Kratz  di dalam buku bibliografi  sastra  yang diterbitkan  oleh UGM Press. Kebetulan   waktu  buku itu  sedang  disusun,  aku berkunjung  ke kantor Pak Kratz  di School of Oriental  and African  Studies,  di London. Dengan menyodorkan  calon buku yang  tebal sampai dua  jilid, Pak Kratz bertanya: “Apa  Bapak menggunakan nama lain?”

Lalu  aku menuliskan  nama-nama  samaranku  di atas  kertas  yang disodorkan  padaku dan kemudian Pak Kratz mencari di  konsep bukunya  dan langsung menandainya.  Karena itu  dalam bukunya nanti,  di mana  namaku muncul  diberi tanda: “lihat nama ini”.

Di Surabaya  aku tetap tak  berani bertemu Pak Soeprijadi, namun  aku berkunjung ke rumah Pak Lutfie Rachman,  seniman  serba bisa.  Dia penyair, pelukis, dan  redaktur  sastra,  dan bahkan kelak menjadi pemain  sandiwara  tv. Ternyata  di rumahnya di  sebuah gang,  dia  sedang  sakit  namun  sangat senang akan kunjungan kami.
“Bisa  minta tolong, ya?” pintanya.
“Apa, Pak?”
“Siaran di  RRI.”

“Lho kan  biasanya Bapak yang siaran?”
“Saya  sakit begini, kepala  cekot-cekot. Nanti  saya  kasih   surat pengantar  dan ini naskahnya. Pelajari dulu. Datang ke  studio  setengah  jam  sebelumnya.”

Lelaki itu  dalam posisi  duduk  di atas tikar menyodorkan  ketikan  sejumlah  sajak,  lengkap  dengan komentar  kritisnya. Komentar itu  tentu  telah  disiapkan oleh Pak Lutfie.

“Nanti  Dik Bas jadi pembawa  acara dan pembaca kritik,  sedangkan  adik  membaca puisi.”
Kulihat  Hermanadi  senyum-senyum. Seumur-umur dia  tidak  pernah berhubungan  dengan  puisi  dan malam itu  dia harus  berdeklamasi  di radio, tidak tanggung-tanggung: di RRI Surabaya. Pendengarnya  bukan  saja penduduk  Surabaya  sebab jangkauan  siarannya sangat luas.

Siang itu  di tempat tinggal kakak Irfan  kami tidak tidur  tetapi berlatih menjadi pembaca puisi dan aku  menjadi pembaca  acara. Aku mengisap  rokok  Bantoel biru yang baru  saja  kubeli di Malang. Aku bukan perokok, tetapi ingin merasakan sendiri  apa enaknya merokok. Irfan  dan Hermanadi ikut-ikutan menghisap  rokok. Malam itu kami serasa menjadi bintang. Entah siapa  di antara teman-teman kami yang mendengar siaran itu. Pasti mereka gempar.

Celakanya, sesaat  sebelum  sajak  habis  dibacakan, teryata  masih  ada  sisa  sepuluh menit.  Aku  pada akhir acara  menambahkan sajakku  sendiri (sajakku  memang  sering  disiarkan  dalam siaran ini oleh Pak Lutfie. Tentu  saja  operator  yang memegang naskah  bingung. Lagu penutup sudah  disiapkan hendak diputar tetapi masih  ada  suara pembawa  acara. Begitu kami keluar dari studio, kami disambut dampratan. Kami  hanya  diam  saja  karena  merasa bersalah namun di dalam  hati  bangga  sebab sudah berhasil mengudara lewat RRI Surabaya. Saat melintas  di  jembatan  di atas Kali Mas,  aku menghisap  rokokku  dalam-dalam. Tak tanggung-tangung, rokok cap Bentoel  yang  selalu dikejar pecandu  rokok. Mulutku hanya mampu merasakan  pahit. Tidak  ada  secuil kenikmatan pun.  Lalu,  rokok yang masih menyala itu aku lempar ke sungai. Bungkus  rokok yang masih berisi  juga kulempar.
“Selamat tinggal rokok!” dengan  gaya  seorang  deklamator. Dan  semenjak  saat itu aku tidak lagi merokok. Kalau  temanku  menawariku rokok,  aku hanya  mengambil kotaknya dan mencium baunya. Cukup  begitu.

Sejak  kami berpisah, aku menempuh kuliah  di Jakarta, kami tak pernah  bersurat. Aku benar-benar kehilangan jejak Irfan. Apakah dia pulang kampung  atau masih tinggal di  Malang  dan  mungkin menempuh kuliah, aku tak tahu. Sampai aku  sudah menjadi  sarjana  dan bekerja  di Bali. Pada  suatu hari  bus  siang yang kutumpangi  dari Surabaya-Singaraja  berhenti mengisi  bensin  di sebuah  pompa bensin  sebelum bus  masuk ke terminal feri Ketapang. Aku kebetulan  duduk  di  dekat  pintu  depan kiri. Kulihat  lelaki yang melayani mengisi  bensin  mirip Irfan. Aku tidak  yakin  itu dia, dan aku juga tidak  turun menanyainya apa dia Irfan. Peristiwa tersebut berlalu  dan  sejak itu dengan  dibukanya trayek  bus malam Jayakatwang  aku tidak lagi  tahu  di mana  bus berhenti mengisi bensin. Rasanya  di  pompa bensin yang jauh  sebelum bus masuk ke  wilayah Banyuwangi.

Lalu aku bisa  berhubungan dengan mas Soeprijadi  yang alamat e-mail-nya  kuminta  dari redaktur  sebuah koran yang memuat cerpennya. Dari alamat e-mail itu dia mendapatkan  nomor telpon rumahku. Dan  dari hubungannya  dengan Suhaili Cordiaz, kakak Irfan, akupun mendapatkan nomor  telpon Irfan di Banyuwangi. Ketika kutelpon  dia,  kudengar suara  kegembiraan  yang luar biasa karena bertemu  dengan teman lama. Aku juga  bertanya apakah  dia pernah bekerja  di  pompa  bensin dekat terminal feri Ketapang. Ternyata memang demikian. Aku merasa  sangat menyesal  kenapa  saat itu aku tidak turun  dari bus  dan menyapanya. Kalau begitu, pasti  kami bisa  bertemu lebih lama, apalagi ketika  aku sering pulang ke Malang membawa mobil  sendiri, pasti aku bisa menengoknya  di Banyuwangi. Konon,  dia juga menjadi mubaligh.

Sekarang, kami sudah benar-benr berpisah  dan aku hanya mampu mendoakan agar arwahnya  diterima  di tempat  sebaik-baiknya  di sisi Allah. Amin.***

Singaraja, 25 Mei  2011
(Kado ulang tahun ke-68 untuk istriku: I Gusti Ayu Made Darika, tepat pada 5 Juni 2011)

“Dik Sunaryono, barusan tadi  saya kontak telpon Suhaili, antara lain dia bilang bhw Irfantelah meninggal pd tgl  7 April yg lalu  pd usia 73 thn. Dik  Sunaryono  sendiri  sehat-sehat  saja ya Dik. Salam  sejahtera unk  sekeluarga  di sini. Tetap  saja  dr ST &J.”
Aku terhenyak  dari berbaringku sore itu. Innalilahi  wa Inailaihi rojiun, bisikku. Jadi  Mas  Irfan  telah meninggal dunia. Ini berita tentang  seseorang yang tinggal  di Banyuwangi,  datangnya melalui SMS  dari Jerman. Walau aku tahu  SMS ke Jerman  lebih mahal tarifnya  dari tarif  SMS  di dalam negeri,  aku jawab  pula  SMS itu  dengan “Innalilahi”. SMS  datang  dari Sas Soeprijadi Tomodihardjo yang dulu sering menelepon dari Jerman.

Cerpen   Sunaryono Basuki Ks

Hanya dua  orang yang pernah meneleponku  dari luar negeri, yang seorang  lagi  adalah  Made Widana  dari Paris. Bekas  mahasiswaku itu  sekarang  sudah kaya-raya,  dan  selalu bercerita mengenai sukses  bisnisnya. Celakanya,  kalau dia menelepon bisa  setengah  jam lebih, padahal aku  lekas merasa capek  bila  harus  duduk menerima telpon  selama itu. Kata  Widana,  dia  membeli kartu telepon  delapan puluh Euro. Entah  berapa  rupiahnya dan  walaupun  andaikata  di Indonesia  ada kartu “murah”  semacam itu, aku  takkan mampu membelinya apalagi aku  tidak punya  telepon yang bisa  aku  hubungi. Walau  Widana dan Pak Soeprijadi menelpon, aku  tidak tahu  berapa nomor telpon rumahnya. Tetapi sayangnya, setiap  saat  Widana  menelepon bukan menanyakan keadaanku tetapi malah  menyarankan  aku berbisnis  buku  lewat internet.
“Bisnis  konvensional sudah ketinggalan jaman.”

Tetapi dia  tidak  mau tahu bahwa ongkos  kirim buku per pos  sangat mahal di Indonesia, bisa-bisa  harga  per-eks  buku lebih  mahal dari harga  di toko buku. Padahal kalau aku  harus  menjual  buku-bukuku,  aku harus membeli  lebih dulu dari penerbit,  dan hal itu perlu modal besar.

Jadi  aku sudah tua. Aku  tidak  tahu kalau Irfan ternyata lebih tua  dariku. Usiaku  hampir  tujuh puluh tahun, dan  Irfan ternyata sudah berusia  tujuh puluh tiga tahun. Kami  bertiga  teman akrab: Hermanadi, Irfan  dan diriku. Kebetulan Hermanadi  tinggal di Jalan Kaliurang  Barat  di rumah pakdenya,  dan  aku di Jalan Lebaksari  yang hanya  selangkah  dari Kaliurang. Sedangkan Irfan  mondok  di Jalan Nongkojajar Gang III. Jalan  Nongkojajar merupakan  cabang  dari Jalan Lebaksari. Karena pondokannya paling dekat  dengan rumahku, maka  aku pun  paling sering  berkunjung  ke pondokannya.

Pondokannya  terletak di ujung gang  dengan sebatang pohon besar, kalau tidak  salah pohon mangga. Dan bila malam tiba, pohon mangga itu berbuah ayam. Ayam-ayam peliharaan induk semang Irfan  tidak  dikandangkan tetapi secara “tahu diri” menempatkan dirinya  di cabang-cabang pohon mangga itu.
“Banyak ayamnya, Fan?”  pernah  aku tanya.
“Wah. Ibu  saja tidak tahu.”

Yang membuatku dekat  dengan Irfan  mungkin  kegemarannya  menulis puisi. Aku juga  dan aku berhasil mengajaknya mengirim puisi  ke ruang remaja  Majalah Trio. Pengasuhnya mula-mula  Mbak Surtiningsih  WT, istri Pak  Sukanto SA  sastrawan terkenal. Namun  kemudian  ruang itu  diasuh oleh  seorang mahasiswi Fakultas  Sastra UI yang bernama Edi  Sedyawati. Kak Edi panggilannya.1

Dan   beberapa sajaknya  dimuat juga  di ruang remaja itu. Aku  sendiri menulis  cerita pendek,  yang kuingat berjudul “Jambangan Bunga  Anyelir”  dan  juga menulis  komentar pendek mengenai tukang catut karcis  bioskop  di Malang.  Mungkin karena  sama-sama  menyukai  dunia karang-mengarang kami  akrab,  lebih akrab dibanding dengan Hermanadi. Tetapi  kelebihan Hermanadi, dia pemain bulutangkis yang hebat. Ini mungkin gara-gara rumah pak de-nya  berhalaman luas  dan  tiap  sore dia  bisa berlatih  bulutangkis  bersama  para  sepupunya.
Tetapi kami bertiga  pernah  terlibat  di dalam  satu peristiwa  sastra.  Pada  suatu hari libur kami bertiga melancong  ke Surabaya, menginap  di rumah kakak Irfan di Jalan Raya Gubeng. Bukan rumah  sebenarnya, tetapi  sebuah garase  yang  diubah menjadi tempat tinggal.  Rumah kecil itu  terletak di bagian belakang  sebuah rumah besar  yang penghuninya  bermacam-macam.

“Di depan  situ tinggal Pak Soeprijadi,” kata kakak Irfan.
“Oh, sastrawan terkenal itu. Saya tahu namanya,” kataku.
“Ayo  ke sana  saja berkenalan,” katanya.
“Malu, Mas.”
Aku  kenal  dengan Pak Soeprijadi melalui  surat saja. Dia menjadi  redaktur ruang budaya  sebuah koran  dan aku mengirim  sajak  ke  ruang itu  dan dimuat. Beberapa yang dimuat,  walau aku menggunakan nama samaran yang kemudian ditandai  oleh Dr Uriel  Kratz  di dalam buku bibliografi  sastra  yang diterbitkan  oleh UGM Press. Kebetulan   waktu  buku itu  sedang  disusun,  aku berkunjung  ke kantor Pak Kratz  di School of Oriental  and African  Studies,  di London. Dengan menyodorkan  calon buku yang  tebal sampai dua  jilid, Pak Kratz bertanya: “Apa  Bapak menggunakan nama lain?”

Lalu  aku menuliskan  nama-nama  samaranku  di atas  kertas  yang disodorkan  padaku dan kemudian Pak Kratz mencari di  konsep bukunya  dan langsung menandainya.  Karena itu  dalam bukunya nanti,  di mana  namaku muncul  diberi tanda: “lihat nama ini”.

Di Surabaya  aku tetap tak  berani bertemu Pak Soeprijadi, namun  aku berkunjung ke rumah Pak Lutfie Rachman,  seniman  serba bisa.  Dia penyair, pelukis, dan  redaktur  sastra,  dan bahkan kelak menjadi pemain  sandiwara  tv. Ternyata  di rumahnya di  sebuah gang,  dia  sedang  sakit  namun  sangat senang akan kunjungan kami.
“Bisa  minta tolong, ya?” pintanya.
“Apa, Pak?”
“Siaran di  RRI.”

“Lho kan  biasanya Bapak yang siaran?”
“Saya  sakit begini, kepala  cekot-cekot. Nanti  saya  kasih   surat pengantar  dan ini naskahnya. Pelajari dulu. Datang ke  studio  setengah  jam  sebelumnya.”

Lelaki itu  dalam posisi  duduk  di atas tikar menyodorkan  ketikan  sejumlah  sajak,  lengkap  dengan komentar  kritisnya. Komentar itu  tentu  telah  disiapkan oleh Pak Lutfie.

“Nanti  Dik Bas jadi pembawa  acara dan pembaca kritik,  sedangkan  adik  membaca puisi.”
Kulihat  Hermanadi  senyum-senyum. Seumur-umur dia  tidak  pernah berhubungan  dengan  puisi  dan malam itu  dia harus  berdeklamasi  di radio, tidak tanggung-tanggung: di RRI Surabaya. Pendengarnya  bukan  saja penduduk  Surabaya  sebab jangkauan  siarannya sangat luas.

Siang itu  di tempat tinggal kakak Irfan  kami tidak tidur  tetapi berlatih menjadi pembaca puisi dan aku  menjadi pembaca  acara. Aku mengisap  rokok  Bantoel biru yang baru  saja  kubeli di Malang. Aku bukan perokok, tetapi ingin merasakan sendiri  apa enaknya merokok. Irfan  dan Hermanadi ikut-ikutan menghisap  rokok. Malam itu kami serasa menjadi bintang. Entah siapa  di antara teman-teman kami yang mendengar siaran itu. Pasti mereka gempar.

Celakanya, sesaat  sebelum  sajak  habis  dibacakan, teryata  masih  ada  sisa  sepuluh menit.  Aku  pada akhir acara  menambahkan sajakku  sendiri (sajakku  memang  sering  disiarkan  dalam siaran ini oleh Pak Lutfie. Tentu  saja  operator  yang memegang naskah  bingung. Lagu penutup sudah  disiapkan hendak diputar tetapi masih  ada  suara pembawa  acara. Begitu kami keluar dari studio, kami disambut dampratan. Kami  hanya  diam  saja  karena  merasa bersalah namun di dalam  hati  bangga  sebab sudah berhasil mengudara lewat RRI Surabaya. Saat melintas  di  jembatan  di atas Kali Mas,  aku menghisap  rokokku  dalam-dalam. Tak tanggung-tangung, rokok cap Bentoel  yang  selalu dikejar pecandu  rokok. Mulutku hanya mampu merasakan  pahit. Tidak  ada  secuil kenikmatan pun.  Lalu,  rokok yang masih menyala itu aku lempar ke sungai. Bungkus  rokok yang masih berisi  juga kulempar.
“Selamat tinggal rokok!” dengan  gaya  seorang  deklamator. Dan  semenjak  saat itu aku tidak lagi merokok. Kalau  temanku  menawariku rokok,  aku hanya  mengambil kotaknya dan mencium baunya. Cukup  begitu.

Sejak  kami berpisah, aku menempuh kuliah  di Jakarta, kami tak pernah  bersurat. Aku benar-benar kehilangan jejak Irfan. Apakah dia pulang kampung  atau masih tinggal di  Malang  dan  mungkin menempuh kuliah, aku tak tahu. Sampai aku  sudah menjadi  sarjana  dan bekerja  di Bali. Pada  suatu hari  bus  siang yang kutumpangi  dari Surabaya-Singaraja  berhenti mengisi  bensin  di sebuah  pompa bensin  sebelum bus  masuk ke terminal feri Ketapang. Aku kebetulan  duduk  di  dekat  pintu  depan kiri. Kulihat  lelaki yang melayani mengisi  bensin  mirip Irfan. Aku tidak  yakin  itu dia, dan aku juga tidak  turun menanyainya apa dia Irfan. Peristiwa tersebut berlalu  dan  sejak itu dengan  dibukanya trayek  bus malam Jayakatwang  aku tidak lagi  tahu  di mana  bus berhenti mengisi bensin. Rasanya  di  pompa bensin yang jauh  sebelum bus masuk ke  wilayah Banyuwangi.

Lalu aku bisa  berhubungan dengan mas Soeprijadi  yang alamat e-mail-nya  kuminta  dari redaktur  sebuah koran yang memuat cerpennya. Dari alamat e-mail itu dia mendapatkan  nomor telpon rumahku. Dan  dari hubungannya  dengan Suhaili Cordiaz, kakak Irfan, akupun mendapatkan nomor  telpon Irfan di Banyuwangi. Ketika kutelpon  dia,  kudengar suara  kegembiraan  yang luar biasa karena bertemu  dengan teman lama. Aku juga  bertanya apakah  dia pernah bekerja  di  pompa  bensin dekat terminal feri Ketapang. Ternyata memang demikian. Aku merasa  sangat menyesal  kenapa  saat itu aku tidak turun  dari bus  dan menyapanya. Kalau begitu, pasti  kami bisa  bertemu lebih lama, apalagi ketika  aku sering pulang ke Malang membawa mobil  sendiri, pasti aku bisa menengoknya  di Banyuwangi. Konon,  dia juga menjadi mubaligh.

Sekarang, kami sudah benar-benr berpisah  dan aku hanya mampu mendoakan agar arwahnya  diterima  di tempat  sebaik-baiknya  di sisi Allah. Amin.***

Singaraja, 25 Mei  2011
(Kado ulang tahun ke-68 untuk istriku: I Gusti Ayu Made Darika, tepat pada 5 Juni 2011)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/