MEDAN-Dengan alasan sudah dimasukkan dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) pengadaan pin atau lencana emas untuk anggota DPRD Sumut tetap dilaksanakan. Belum ada angota DPRD yang berusaha menolak, sebagian besar terlihat ‘ngotot’ mempertahankan keberadaan pin itu dan hanya mempermasalahkan kadar spesifikasi simbol yang akan mereka terima. Padahal, yang dipermasalahkan khalayak adalah soal pin yang dianggap mewah tersebut bisa mencederai rakyat.
“Saya pikir untuk membatalkannya itu sulit karena sudah dianggarkan. Kalau sudah dianggarkan kan berarti masuk APBD. Jika dibatalkan nanti seolah APBD itu tidak terencana dengan baik. Sekarang bagaimana kita mengawasi kesesuaia harganya supaya tidak ada upaya mark up atau bahkan terdengar saja kalau bisa jangan. Kita akan ingatkan itu pemenang tender nanti,” sebut Wakil Ketua DPRD Sumut, Chaidir Ritonga, kemarin.
Wakil Ketua DPRD Sumut dari PDIP, Muhammad Affan, setali tiga uang dengan koleganya dari Partai Golkar tersebut. “Nanti setelah ada lencananya, baru kita bisa lihat sesuai nggak antara berat, jenis dan harganya. Kalau tidak sesuai, baru kita evaluasi,” ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Sumut H Ajib Shah, mengatakan pengadaan dua buah pin emas tersebut kemungkinan besar akan mengalami penurunan seiring dibukanya tender dan penyesuaian antara standarisasi dan harga yang berlaku dipasaran. Sehingga jika ada indikasi terjadinya mark up di situ, bisa dilihat dan dibandingkan apakah benar dan sesuai dengan standarnya.
“Kita akan lihat nanti apakah standar yang ditetapkan itu sudah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Jika nanti tidak sesuai akan kita evaluasi. Tetapi kemungkinan harganya akan turun di bawah itu (Rp12 juta),” katanya.
Sementara saat dikofirmasi, Sekretaris DPRD Sumut Randiman Tarigan mengatakan kemungkinan penurunan harga pengadaan pin emas tersebut akan sampai pada angka Rp900 jutaan. Dengan demikian, harga dua lencana untuk satu anggota dewan menjadi Rp8 Juta-Rp9 Juta-an. Kelebihan anggaran tersebut kemudian akan dikembalikan ke kas Pemprov Sumut.
“Gambaran saya itu nanti turunnya ke Rp900 (juta) an. Kalau kita hitung harga emas sekarang itu, untuk 16 gram (dua pin) berkisar mencapai Rp8 Juta. Tetapi kan ada pajak dan upah untuk pemenang tender. Jadi pasti lebih lah dari situ. Mereka kan wajar dapat untung,” ujarnya.
Sedangkan ditanya soal dasar pengadaan pin dari emas tersebut, Randiman hanya mengatakan mereka mengajukan rencana itu karena kebiasaan di periode sebelumnya. Sedangkan untuk pemanfaatannya, pihaknya tidak memperhatikan itu sebab mereka tidak mau mengambil langkah di luar dari kebiasaan pemerintah selama ini kepada anggota parlemen.
“Kita tidak melihat itu, memang dari sononya begitu. Itu kan kebijakan yang lama (sebelumnya). Sudah seperti itu, saya cuma menjalankan seperti yang lalu saja,” kilahnya.
Sedangkan disinggung mengenai pembatalan lencana emas oleh Pemko Medan berdasarkan surat dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti diberitakan, Randiman mengaku akan menjalankan apa yang diperintahkan. Namun sampai saat ini diakuinya belum ada surat seperti yang dimaksud, sehingga proses tender yang sedang berjalan, tidak akan dihentikan.
“Belum ada surat dari KPK. Kalau ada nanti ya kita akan ikuti itu, bisa dibatalkan (tendernya),” tukasnya.
Ternyata hal itu dibernarkan Wali Kota Medan Dzulmi Eldin. Dia mengaku belum mendapat surat KPK, tapi mengganti emas menjadi kuningan adalah sebuah inisiatif Pemko Medan.
Ia mengaku, saat ini sedang mengikuti perkembangan pemberitaan yang menyebutkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk membelikan pin kepada anggota DPRD Sumut paling mahal dibandingkan provinsi lain yang ada di Indonesia. “Tidak ada surat dari KPK, saya hanya minta agar Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Kota Medan hati-hati dan mempertimbangkan kembali anggaran membeli pin berbahan dasar emas,”jelas Eldin kepada wartawan usai menghadiri kegiatan SMK Negeri 7 di Jalan STM, Kamis (28/8).
Dan, apa yang dilakukan Pemko Medan mendapat apresiasi dari KPK. Setidaknya, secara tidak langsung Deputi Pencegahan KPK Iswan Hilmi membenarkan langkah yang diambil Dzulmi Eldin. Iswan mengatakan, memang sudah semestinya penggunaan uang rakyat tidak sembarangan dan mengacu pada ketentuan yang berlaku.”Kalau mau menjadi bangsa yang beradab, ya harus sesuai aturan,” ujar Iswan di Jakarta.
Aturan yang dimaksud Iswan adalah ketentuan bahwa pin atau lencana emas sebenarnya bukan termasuk barang yang menjadi hak anggota DPRD. Hal ini berbeda dengan pakaian dinas, yang memang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2004 tentang kedudukan dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD.
Di PP tersebut, tak ada satu pun pasal yang mengatur mengenai pemberian pin emas. Sementara, untuk pakaian dinas, secara jelas diatur di pasal Pasal 21. Ayat (1) pasal 21 menyebutkan, “Pimpinan dan Anggota DPRD disediakan pakaian dinas.”
Berikutnya, pasal (2), bunyinya, “Standar satuan harga dan kualitas bahan pakaian dinas ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah.”
Direktur Eksekutif Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut Rurita Ningrum mengatakan pengadaan pin emas seharga Rp12 Juta ini merupakan bentuk sikap buruk berupa suap yang dibiasakan oleh pemerintah kepada parlemen.
“Inikan sifatnya seremonial, bukan kemanfaatan seperti fasilitas kendaraan dinas. Namun lebih menekankan kepada penghargaan yang tidak bisa diukur berdasarkan nilai berapa harganya. Jadi kalau sampai segitu besar harga yang harus dikeluarkan negara untuk simbol, maka tentu mencederai hati rakyat yang mereka wakili,” terangnya.
Rurita pun menyarankan agar pemberian lencana emas sebagai bentuk penghargaan ini diberikan setelah anggota dewan menunjukkan kinerja yang baik dan bermanfaat bagi rakyat. Sehingga tidak menimbulkan persepsi negatif. Karena hal yang wajar jika penghargaan itu diberikan setelah seseorang berjasa. “Kalau diberikan setelah dia berjasa, itu wajar. Tetapi belum bekerja sudah diberikan lencana emas yang harganya fantastis, ya itu namanya mengajari suap,” pungkasnya. (bal/sam/dik/rbb)