JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri tidak ingin ikut terbawa arus perubahan sikap sejumlah fraksi yang mendukung opsi pemilihan kepala daerah oleh DPRD dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Pilkada. Meski Fraksi Partai Demokrat selaku partai pemerintah menyatakan sikap memilih opsi pemilihan tidak langsung, Kemendagri menyatakan pilihan yang diambil pemerintah sampai saat ini adalah pilkada dengan pemilihan langsung.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan menyatakan, pihaknya telah mendengar sejumlah perubahan pandangan fraksi terkait RUU Pilkada. Perubahan itu belum membuat pemerintah untuk mengubah keputusannya terkait mekanisme pemilihan dalam pilkada.
“Pemerintah sampai saat ini masih pilkada langsung, baik kabupaten/kota dan provinsi,” ujar Djohermansyah dalam rapat panitia kerja (panja) RUU Pilkada di gedung parlemen, Jakarta, Selasa (9/9).
Djohermansyah menilai, sejatinya ada harapan besar sebelum rapat konsinyering panitia khusus (pansus) RUU Pilkada digelar di Kopo, Jawa Barat, pada 2 September lalu. Pandangan sembilan fraksi di DPR bersama dengan pemerintah relatif seragam, yakni menghendaki pilkada tetap digelar langsung, dengan dilakukan penyempurnaan di sejumlah aspek.
“Sesuai kesepakatan rapat 14 Mei, sejatinya tidak ada (fraksi) yang berbeda, semua (pilkada) langsung,” ujarnya.
Pemerintah yang awalnya mengusulkan sistem pemilihan DPRD, dalam rapat 14 Mei itu memutuskan mendekat dengan menyepakati sistem pemilihan langsung. Salah satu pertimbangannya adalah adanya pasal terkait pilkada serentak yang akan digelar pada 2015 mendatang. Namun, hasil rapat pada 2 September memunculkan perubahan pandangan, terutama dari fraksi partai pendukung Koalisi Merah Putih.
“Pemerintah mendekat, tapi fraksi-fraksi menjauh. Kami mengharapkan kembalilah ke pangkuan ibu pertiwi,” ujarnya.
Menurut Djohermansyah, pemerintah memiliki harapan ada sejumlah perbaikan untuk kelangsungan pilkada mendatang. Pemerintah menginginkan agar 204 daerah yang digelar pilkada mulai 2015 mendatang tidak bernasib seperti pilkada sebelumnya. Seperti ratusan kepala daerah masuk penjara akibat kasus hukum dan korupsi, mayoritas pasangan calon yang memenangi pilkada pecah kongsi, munculnya biaya tinggi pilkada yang berujung pada penyalahgunaan wewenang, belum lagi politisasi jabatan birokrasi.
“Pemerintah tetap menginginkan pemilihan langsung, dengan perbaikan-perbaikan,” ujarnya.
Salah satu solusi yang muncul dalam RUU Pilkada saat ini adalah pilkada serentak. Menurut Djohermansyah, pilkada serentak bisa memberikan efisiensi anggaran dari total biaya pilkada mencapai 50 persen anggaran. Jika diasumsikan biaya pilkada adalah Rp70 triliun, dengan pilkada serentak, biaya bisa ditekan menjadi Rp35 triliun.
“Kita memang harus membayar mahal untuk biaya demokrasi, tapi yang bisa diefisienkan, tentu kita efisienkan,” ujar mantan Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Politik itu.
Tidak hanya sebatas efisiensi anggaran, pilkada serentak sebagian daerah yang digelar 2015 dan 2018, akan mempermudah koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah di masa mendatang. Setelah pilkada 2015 dan 2018 digelar, rencananya seluruh daerah akan digabung pelaksanaannya dalam pilkada serentak pada 2020 atau 2021. “Pilkada serentak akan menciptakan kesinambungan perencanaan pembangunan,” ujarnya.
Djohermansyah menilai, sistem pemilihan melalui DPRD bukanlah opsi yang tidak disetujui. Namun, pemerintah sampai saat ini telah mengambil keputusan agar pilkada tetap dilakukan dengan pemilihan langsung. “Keputusan ini tidak hanya berdasar pandangan fraksi-fraksi, tapi saat ini banyak masukan masyarakat yang menginginkan pilkada langsung,” ujarnya.
Sebagai usulan pemerintah, RUU Pilkada bisa saja ditarik pembahasannya oleh Kemendagri. Hal ini bisa saja terjadi jika pembahasan tetap berujung deadlock, dimana pandangan terkait pilkada langsung atau tidak langsung tidak menemui solusi. Namun, Djohermansyah menegaskan bahwa pemerintah belum mengambil keputusan tersebut.
“Sampai saat ini pemerintah masih ingin melanjutkan. Kita akan coba lobi fraksi-fraksi di DPR supaya berubah pandangan,” ujarnya.
Dalam pandangan fraksi terkait RUU Pilkada kemarin, tidak ada perubahan dari komposisi pendukung pilkada dipilih DPRD dengan pilkada langsung. Fraksi pendukung Koalisi Merah Putih yang terdiri dari Partai Golongan Karya, Partai Demokrat, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera tetap meminta pilkada dipilih DPRD. Sementara Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hati Nurani Rakyat tetap mendukung pilkada dengan pemilihan langsung.
Perbedaan terjadi di sejumlah pembahasan isu RUU Pilkada lainnya. Di isu terkait pemilihan kepala daerah dengan sistem paket atau non paket, terjadi keberagaman. Pemerintah bersama Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar. Fraksi PDIP mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dilakukan dengan non paket, atau memilih calon kepala daerah saja. Sementara Wakil Kepala Daerah ditentukan setelah calon kepala daerah terpilih ditetapkan sebagai pemenang pilkada.
Sementara fraksi lainnya meminta agar pilkada tetap dilakukan dengan sistem paket, alias memilih calon kepala daerah sekaligus calon wakil kepala daerah seperti yang berlaku saat ini.
Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja yang memimpin panja kemarin menyampaikan, perbedaan pandangan dari sembilan fraksi akan tetap ditampung dan diakomodasi. Usulan yang masuk dalam panja akan dibahas secara lebih substantif dalam tim perumus RUU Pilkada.
“Yang menghendaki pilkada langsung, bagaimana rumusannya. Lalu yang menghendaki pilkada DPRD, silahkan buat juga rumusannya,” kata Hakam. Kedua konsep itu, kata Hakam, nantinya akan disandingkan bersama untuk dibahas, hingga pengambilan keputusan akhir. (bay/idr/jpnn/rbb)
Demokrat Paling Disalahkan
Rencana pengesahan rancangan undang-undang (RUU) Pilkada mulai dilawan. Selain berbagai tokoh yang berkomentar miring pada RUU tersebut, ternyata sesuai survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), sebagian besar masyarakat Indonesia menolak pilkada dipilih DPRD. Bahkan, diprediksi akan muncul perlawanan terhadap partai pendukung RUU tersebut.
Menutur data LSI, dari 1.200 responden sekitar 81,25 persen publik setuju dengan kepala daerah yang dipilih langsung. Hanya ada 10,71 persen publik yang setuju dengan kepala daerah dipilih DPRD. Lalu, 4,91 persen publik setuju dengan sistem kepala daerah ditunjuk oleh presiden. Sisanya, ada 3,13 persen publik yang tidak mengetauhi atau tidak menjawab soal RUU pilkada tersebut.
Peneliti LSI Adjie Alfarabi menuturkan, publik yang menerima pemilihan kepala daerah dilakukan DPRD hanya sekitar 10,71 persen. Artinya, sebagian besar masyarakat Indonesia sebenarnya lebih menginginkan pilkada secara langsung. “Ini yang terlihat dalam data tersebut,” jelasnya.
Dengan kecilnya dukungan masyarakat untuk pilkada dipilih DPRD. Maka, dapat diartikan jika RUU Pilkada tersebut sangat tidak memiliki legitimasi publik. Padahal, dalam membuat RUU harusnya dipertimbangkan rasionalitas dan legitimasi-nya. “Kalau soal resionalitas sudah banyak yang membahas, tapi soal sikap publik baru sekarang ini,” jelasnya.
Dalam survei yang dilakukan pada 5 hingga 7 September tersebut juga diketahui jika partai yang tergabung dalam KMP akan disalahkan dalam masalah tersebut. Partai yang paling dinilai bersalah adalah Partai Demokrat, diikuti partai Golkar dan disusul Gerindra. Adjie menjelaskan, Partai Demokrat menjadi yang paling dibenci karena partai ini yang mengajukan usulan pildaka oleh DPRD tersebut. “Karena itu diharapkan Presiden SBY membuat kebijakan pro rakyat mendekati penghujung masa kepemimpinannya,” jelasnya.Bahkan, lanjut dia, perlawanan masayarakat pada RUU pilkada tersebut diprediksi akan muncul. Misalnya, melalui media sosial dan masyarakat yang melakukan demonstrasi. “Perlawanan masyarakat akan cukup sengit untuk menggagalkan pengesahan RUU ini,” ujarnya.
Perlawanan masyarakat ini akan menjadi sanksi sosial pada partai-partai pendukung RUU pilkada. Dampaknya, dalam jangka panjang, maka partai-partai tersebut akan kehilangan pendukungnya. “Ini yang akan menjadi masalah tersendiri untuk partai KMP,” tuturnya.
Sementara itu Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menuturkan, sebenarnya MK telah memiliki keputusan soal pemilihan langsung dan tidak langsung. Kedua cara pemilihan itu tetap sah secara konstitusional. “Cuma harus dipilih yang sesuai dengan kondisi yang ada, ini pilihan politik,” tuturnya.
Tapi, pemilihan antara keduanya juga jangan ekstrem. Sebab, bisa membuat suasana menjadi tidak kondusif. Harusnya, jangan bolak-balik lagi dari pemilihan tidak langsung, lalu pada 2005 dijadikan pemilihan langsung. “Sekarang balik lagi, masak dari angka 0 ke 100, sekarang balik ke 0 lagi,” ujarnya.
Harusnya ada rasionalitas yang kuat untuk bangsa ini, bukan hanya karena kepentingan politik atau haus kekuasaan saja. Dia menuturkan, jadi membuat regulasi itu untuk kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan politik. “Ini yang membuat tidak kondusif,” jelasnya.
Bagian lain, Pengamat Politik Muhammad Qodari menuturkan, ada berbagai risiko yang akan kembali muncul jika kembali pada pilkada dipilih DPRD. Yakni, kepala daerah tidak akan dikenal rakyat, tingginya money politic, dan tunduknya kepala daerah ke DPRD. “Yang paling merugikan, nantinya tidak akan ada program yang pro rakyat,” jelasnya.
Hal tersebut dikarenakan kepala daerah tidak akan berupaya mengambil simpati masyarakat. Sebab, mereka dipilih DPRD. “Padahal, pada masa pemilihan kepala daerah secara langsung, banyak program yang pro rakyat muncul. Seperti, pendidikan gratis. Sebelum pilkada langsung, program pendidikan gratis ini seperti mimpi,” tuturnya. (bay/idr/jpnn/rbb)