30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

DPR Lumpuh

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dualisme kepemimpinan DPR yang muncul pasca fraksi-fraksi di Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bermanuver membentuk DPR tandingan, berpotensi memunculkan dampak serius. Jika berlarut-larut, bukan hanya berdampak sistematis dan melumpuhkan kinerja wakil rakyat, namun pemerintahan Jokowi-JK bisa ikut tersandera.

Pakar Hukum Tata Negara Jimly Ashiddiqie memastikan bahwa rapat-rapat di DPR nantinya tidak akan bisa mengambil keputusan jika peta politik parlemen masih seperti sekarang. Ada syarat kuorum yang harus dipenuhi ketika rapat-rapat di parlemen hendak mengambil sebuah keputusan tertentu.

“Dapat dipastikan semua rapat yang digelar DPR tidak bisa mengambil keputusan apapun,” kata Jimly dalam diskusi bertema Pasca Pemilu 2014, di gedung Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Jakarta, kemarin (30/10).

Lebih lanjut, macetnya proses pengambilan keputusan di parlemen itu lah yang otomatis bakal ikut menyandera pemerintahan Jokowi-JK. Pasalnya, sejumlah pengambilan kebijakan oleh pihak eksekutif tetap harus melalui persetujuan atau pembahasan bersama dengan DPR.

Berdasar Tata Tertib (Tatib) DPR, baik di Pasal 281 maupun 284 (1), pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat ataupun dengan suara terbanyak menjadi sah, kalau diambil lewat forum rapat yang sesuai dengan syarat kuorum. Syarat itu diatur di Pasal 251 (1). Bahwa, pertemuan harus dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi yang ada.

Jimly melanjutkan, bahwa jika mengingat di DPR saat ini ada 10 fraksi, maka pengambilan keputusan baru sah kalau dihadiri anggota dari minimal enam fraksi. Hal tersebut, kata dia, menjadi sulit tercapai karena komposisi keanggotaan KMP maupun KIH sama-sama memiliki lima fraksi.

KMP terdiri atas Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PAN, dan Fraksi PKS, dan Fraksi Partai Demokrat. Sedangkan KIH disokong oleh Fraksi PDIP, Fraksi PKB, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi PPP.

Menurut Jimly, drama politik PPP yang juga mengalami dualisme kepemimpinan bisa menjadi kuncinya. “Masalah PPP ini kini masuk ke proses hukum. Harus ditunggu bagaimana keputusannya nanti,” terangnya.

Posisi keputusan menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang telah dikeluarkan terhadap salah satu kubu di partai berlambang kabah itu, menurut dia, belum final. Dia memprediksi, keputusan pengadilan nantinya akan bisa membuat keadaan di DPR kembali ke komposisi 6 fraksi di KMP dan 4 fraksi di KIH. “Kalau kembali berbanding 6:4, maka memang akan sangat pahit untuk KIH. Namun, harus diterima karena ini demi lancarnya pemerintahan,” papar Jimly.

Jimly menambahkan, solusi untuk terbelahnya DPR ini sebenarnya ada. Yakni, keduanya saling berkomunikasi untuk mengambil jalan tengah. Misalnya, soal pimpinan komisi, tinggal keduanya saling mengerti. “Karena itu komunikasi elit politik, antara Jokowi dengan Prabowo, Abu Rizal Bakrie ini harusnya diikuti oleh politisi di DPR,” tegasnya.

Terkait adanya rencana pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), Jimly yang juga Ketua DKPP itu menilai perppu saat ini telah disalahgunakan. Perppu ditafsirkan sendiri oleh masing-masing pemerintahan, karena itu jumlah perppu itu cukup banyak.

“Dalam 32 tahun pemerintahan Soeharto ada 18 perppu, pemerintahan Habibie ada 3 perppu, pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gusdur) ada 2 perppu, Megawati ada 3 perppu, dan 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ada 18 perppu. Ini semua menafsirkan sendiri-sendiri,” tegasnya.

Karena itu, lanjut dia, perppu yang ada di Indonesia ini sebenarnya salah kaprah. Sebab, merupakan sebuah produk hukum yang belum selesai. Perppu itu undang-undang yang materinya peraturan pemerintah. “Ini perlu kebijakan tersendiri,” terangnya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dualisme kepemimpinan DPR yang muncul pasca fraksi-fraksi di Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bermanuver membentuk DPR tandingan, berpotensi memunculkan dampak serius. Jika berlarut-larut, bukan hanya berdampak sistematis dan melumpuhkan kinerja wakil rakyat, namun pemerintahan Jokowi-JK bisa ikut tersandera.

Pakar Hukum Tata Negara Jimly Ashiddiqie memastikan bahwa rapat-rapat di DPR nantinya tidak akan bisa mengambil keputusan jika peta politik parlemen masih seperti sekarang. Ada syarat kuorum yang harus dipenuhi ketika rapat-rapat di parlemen hendak mengambil sebuah keputusan tertentu.

“Dapat dipastikan semua rapat yang digelar DPR tidak bisa mengambil keputusan apapun,” kata Jimly dalam diskusi bertema Pasca Pemilu 2014, di gedung Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Jakarta, kemarin (30/10).

Lebih lanjut, macetnya proses pengambilan keputusan di parlemen itu lah yang otomatis bakal ikut menyandera pemerintahan Jokowi-JK. Pasalnya, sejumlah pengambilan kebijakan oleh pihak eksekutif tetap harus melalui persetujuan atau pembahasan bersama dengan DPR.

Berdasar Tata Tertib (Tatib) DPR, baik di Pasal 281 maupun 284 (1), pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat ataupun dengan suara terbanyak menjadi sah, kalau diambil lewat forum rapat yang sesuai dengan syarat kuorum. Syarat itu diatur di Pasal 251 (1). Bahwa, pertemuan harus dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi yang ada.

Jimly melanjutkan, bahwa jika mengingat di DPR saat ini ada 10 fraksi, maka pengambilan keputusan baru sah kalau dihadiri anggota dari minimal enam fraksi. Hal tersebut, kata dia, menjadi sulit tercapai karena komposisi keanggotaan KMP maupun KIH sama-sama memiliki lima fraksi.

KMP terdiri atas Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PAN, dan Fraksi PKS, dan Fraksi Partai Demokrat. Sedangkan KIH disokong oleh Fraksi PDIP, Fraksi PKB, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi PPP.

Menurut Jimly, drama politik PPP yang juga mengalami dualisme kepemimpinan bisa menjadi kuncinya. “Masalah PPP ini kini masuk ke proses hukum. Harus ditunggu bagaimana keputusannya nanti,” terangnya.

Posisi keputusan menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang telah dikeluarkan terhadap salah satu kubu di partai berlambang kabah itu, menurut dia, belum final. Dia memprediksi, keputusan pengadilan nantinya akan bisa membuat keadaan di DPR kembali ke komposisi 6 fraksi di KMP dan 4 fraksi di KIH. “Kalau kembali berbanding 6:4, maka memang akan sangat pahit untuk KIH. Namun, harus diterima karena ini demi lancarnya pemerintahan,” papar Jimly.

Jimly menambahkan, solusi untuk terbelahnya DPR ini sebenarnya ada. Yakni, keduanya saling berkomunikasi untuk mengambil jalan tengah. Misalnya, soal pimpinan komisi, tinggal keduanya saling mengerti. “Karena itu komunikasi elit politik, antara Jokowi dengan Prabowo, Abu Rizal Bakrie ini harusnya diikuti oleh politisi di DPR,” tegasnya.

Terkait adanya rencana pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), Jimly yang juga Ketua DKPP itu menilai perppu saat ini telah disalahgunakan. Perppu ditafsirkan sendiri oleh masing-masing pemerintahan, karena itu jumlah perppu itu cukup banyak.

“Dalam 32 tahun pemerintahan Soeharto ada 18 perppu, pemerintahan Habibie ada 3 perppu, pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gusdur) ada 2 perppu, Megawati ada 3 perppu, dan 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ada 18 perppu. Ini semua menafsirkan sendiri-sendiri,” tegasnya.

Karena itu, lanjut dia, perppu yang ada di Indonesia ini sebenarnya salah kaprah. Sebab, merupakan sebuah produk hukum yang belum selesai. Perppu itu undang-undang yang materinya peraturan pemerintah. “Ini perlu kebijakan tersendiri,” terangnya.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/