28 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Penyelesaian Mirip Sandiwara

Foto: Dalil Harahap/Batam Pos Kapolri Sutarman menyalami personil Brimob Polda Kepri di Tembesi, Batuaji dalam kunjungannya pasca bentroknya TNI dan Polri, Jumat (21/11/2014).
Foto: Dalil Harahap/Batam Pos
Kapolri Sutarman menyalami personil Brimob Polda Kepri di Tembesi, Batuaji dalam kunjungannya pasca bentroknya TNI dan Polri, Jumat (21/11/2014).

SUMUTPOS.CO – Konflik TNI versus Brimob terulang lagi. Ini insiden kedua anggota TNI dari Yonif 134/Tuah Sakti bentrok dengan anggota Brimob Polda Kepri di Tembesi, Batam. Pertama pada 21 September 2014 dan kedua Rabu (19/11) lalu. Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar melihatnya bukan semata masalah dendam. Berikut wawancara wartawan Sumut Pos, Soetomo Samsu, dengan alumni Akpol 1971, yang juga pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini, Jumat (21/11). Petikannya,

Bagaimana pendapat Anda terkait kasus di Batam dan Binjai ini?

Saya melihat antara TNI dan Polri memang telah terjadi hubungan yang tidak baik yang berkepanjangan. Secara teoritis, ini bukan lagi masalah personal, tapi sudah menyangkut kelembagaan, soal kewenangan atau power.

 

Maksudnya bagaimana?

Ya, ini adalah konflik kewenangan. Ada yang merasa lebih dominan. Jika hal itu masih ada, maka tidak ada selesai konflik ini.

 

Apa yang harus dibenahi dalam hal pembagian kewenangan ini?

Pembagian kewenangannya sebenarnya sudah baik, dimana polisi bertanggung jawab untuk urusan keamanan dalam negeri, sedang TNI mengurusi pertahanan dan kedaulatan negara. Yang menjadi masalah, unsur-unsur atau aspek-aspek keamanan di dalam negeri itu cukup banyak dan belum terkonsepsi secara jelas. Ada polisi, ada Satpol PP, ada satpam, ada TNI AD, TNI AL, TNI AU, semua bisa masuk ke urusan keamanan. Di situ lah muncul persinggungan, muncul konflik. Mestinya dijabarkan secara detil urusan keamanan dalam negeri ini.

 

Apakah urusan kewenangan pengamanan yang belum jelas itu, lantas muncul beking-bekingan dan memicu konflik?

Iya. Tapi begini, untuk beking-bekingan oleh aparat tingkat bawah, baik itu oleh oknum TNI maupun polri, itu hanya menyangkut soal kesejahteraan. Mereka hanya mencari ceperan. Tapi yang gedhe-gedhe banyak. Mereka (oknum petinggi TNI/Polri), punya hubungan dengan perusahaan-perusahaan besar, ada beking di sana. Yang kecil-kecil itu hanya mencontoh yang gedhe-gedhe itu.

Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar
Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar

 

Apa solusi untuk beking-bekingan kelas kakap itu?

Ya harus ditindak tegas. Jangan didiamkan. Hukum harus ditegakkan. Untuk yang kecil-kecil, kalau pemerintahan Jokowi mau serius, ya tingkatkan kesejahteraan mereka. Aparat harus dilarang menjadi petugas pengamanan perusahaan. Di perusahaan itu sudah ada satpamnya, tidak perlu ada polisi atau anggota TNI.

 

Kembali ke kasus Batam dan Binjai, apakah ini ada kaitannya dengan kasus sebelumnya, pada 21 September?

Iya, ada kaitannya. Saya melihat pada cara penyelesaiannya. Cara penyelesainnya itu setengah-setengah, tidak serius, seperti sandiwara. Coba simak pengumuman tim penyelidik, masih pakai kata-kata Jiwa Korsa dan semacamnya. Kalau masih seperti itu, ya tidak akan tuntas.

 

Lantas, bagaimana cara penyelesaian agar tuntas?

Mestinya, hukum harus ditegakkan, salah ya bilang salah dan dihukum. Tim penyelidik mestinya independen, terdiri orang-orang independen, melibatkan Komnas HAM, LSM, dan pakar atau pengamat yang paham hukum. Jangan hanya diisi orang-orang dari kedua institusi yang bertikai. Boleh mereka menjadi anggotanya, tapi pimpinannya harus dari orang independen.

 

Selain proses hukum, apa lagi yang bisa menuntaskan konflik laten ini?

Saya lihat ada yang pakai olah raga bersama, itu hanya sandiwara. Upaya penyelesaian harus permanen. Kuncinya penegakkan hukum, siapa yang harus bertanggung jawab harus disanksi. Jangan hanya bawahan yang disanksi, tapi juga pimpinannya di tingkat daerah, termasuk kapolrinya juga harus dimintai pertanggungjawaban. (*)

 

Foto: Dalil Harahap/Batam Pos Kapolri Sutarman menyalami personil Brimob Polda Kepri di Tembesi, Batuaji dalam kunjungannya pasca bentroknya TNI dan Polri, Jumat (21/11/2014).
Foto: Dalil Harahap/Batam Pos
Kapolri Sutarman menyalami personil Brimob Polda Kepri di Tembesi, Batuaji dalam kunjungannya pasca bentroknya TNI dan Polri, Jumat (21/11/2014).

SUMUTPOS.CO – Konflik TNI versus Brimob terulang lagi. Ini insiden kedua anggota TNI dari Yonif 134/Tuah Sakti bentrok dengan anggota Brimob Polda Kepri di Tembesi, Batam. Pertama pada 21 September 2014 dan kedua Rabu (19/11) lalu. Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar melihatnya bukan semata masalah dendam. Berikut wawancara wartawan Sumut Pos, Soetomo Samsu, dengan alumni Akpol 1971, yang juga pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini, Jumat (21/11). Petikannya,

Bagaimana pendapat Anda terkait kasus di Batam dan Binjai ini?

Saya melihat antara TNI dan Polri memang telah terjadi hubungan yang tidak baik yang berkepanjangan. Secara teoritis, ini bukan lagi masalah personal, tapi sudah menyangkut kelembagaan, soal kewenangan atau power.

 

Maksudnya bagaimana?

Ya, ini adalah konflik kewenangan. Ada yang merasa lebih dominan. Jika hal itu masih ada, maka tidak ada selesai konflik ini.

 

Apa yang harus dibenahi dalam hal pembagian kewenangan ini?

Pembagian kewenangannya sebenarnya sudah baik, dimana polisi bertanggung jawab untuk urusan keamanan dalam negeri, sedang TNI mengurusi pertahanan dan kedaulatan negara. Yang menjadi masalah, unsur-unsur atau aspek-aspek keamanan di dalam negeri itu cukup banyak dan belum terkonsepsi secara jelas. Ada polisi, ada Satpol PP, ada satpam, ada TNI AD, TNI AL, TNI AU, semua bisa masuk ke urusan keamanan. Di situ lah muncul persinggungan, muncul konflik. Mestinya dijabarkan secara detil urusan keamanan dalam negeri ini.

 

Apakah urusan kewenangan pengamanan yang belum jelas itu, lantas muncul beking-bekingan dan memicu konflik?

Iya. Tapi begini, untuk beking-bekingan oleh aparat tingkat bawah, baik itu oleh oknum TNI maupun polri, itu hanya menyangkut soal kesejahteraan. Mereka hanya mencari ceperan. Tapi yang gedhe-gedhe banyak. Mereka (oknum petinggi TNI/Polri), punya hubungan dengan perusahaan-perusahaan besar, ada beking di sana. Yang kecil-kecil itu hanya mencontoh yang gedhe-gedhe itu.

Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar
Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar

 

Apa solusi untuk beking-bekingan kelas kakap itu?

Ya harus ditindak tegas. Jangan didiamkan. Hukum harus ditegakkan. Untuk yang kecil-kecil, kalau pemerintahan Jokowi mau serius, ya tingkatkan kesejahteraan mereka. Aparat harus dilarang menjadi petugas pengamanan perusahaan. Di perusahaan itu sudah ada satpamnya, tidak perlu ada polisi atau anggota TNI.

 

Kembali ke kasus Batam dan Binjai, apakah ini ada kaitannya dengan kasus sebelumnya, pada 21 September?

Iya, ada kaitannya. Saya melihat pada cara penyelesaiannya. Cara penyelesainnya itu setengah-setengah, tidak serius, seperti sandiwara. Coba simak pengumuman tim penyelidik, masih pakai kata-kata Jiwa Korsa dan semacamnya. Kalau masih seperti itu, ya tidak akan tuntas.

 

Lantas, bagaimana cara penyelesaian agar tuntas?

Mestinya, hukum harus ditegakkan, salah ya bilang salah dan dihukum. Tim penyelidik mestinya independen, terdiri orang-orang independen, melibatkan Komnas HAM, LSM, dan pakar atau pengamat yang paham hukum. Jangan hanya diisi orang-orang dari kedua institusi yang bertikai. Boleh mereka menjadi anggotanya, tapi pimpinannya harus dari orang independen.

 

Selain proses hukum, apa lagi yang bisa menuntaskan konflik laten ini?

Saya lihat ada yang pakai olah raga bersama, itu hanya sandiwara. Upaya penyelesaian harus permanen. Kuncinya penegakkan hukum, siapa yang harus bertanggung jawab harus disanksi. Jangan hanya bawahan yang disanksi, tapi juga pimpinannya di tingkat daerah, termasuk kapolrinya juga harus dimintai pertanggungjawaban. (*)

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/