SEBELUM ada peristiwa jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501, tak banyak yang tahu letak Kabupaten Kotawaringin Barat. Kini daerah itu menjadi perhatian banyak pihak karena menjelma sebagai pusat rescue. Upaya tanggap darurat oleh pemkab patut diacungi jempol.
Gunawan Sutanto, Pangkalan Bun
Sejak ada informasi pesawat AirAsia QZ8501 hilang di sekitar Teluk Kumai, sejumlah media mendatangi Pangkalan Bun. Bukan hanya media lokal, sejumlah jurnalis asing juga tumplek bleg di ibu kota Kabupaten Kotawaringin Barat tersebut. Tujuan mereka satu, meliput perkembangan penyelamatan dan evakuasi korban.
Penyelamatan dan evakuasi membuat kesibukan RSUD Sultan Imanudin bertambah berlipat-lipat. Apalagi sejak Selasa (30/12), ketika ada temuan jasad penumpang pesawat dan informasi awal bahwa jenazah akan dievakuasi dan diidentifikasi di rumah sakit yang berdiri sejak zaman kolonial tersebut.
“Setelah dipastikan ada jenazah yang ditemukan, saya menaikkan status menjadi hospital disaster plan,” ujar Direktur RSUD Sultan Imanudin dr Suyuti Syamsul.
Sejak itulah, seluruh pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Kotawaringin Barat disiagakan, termasuk pegawai yang berstatus libur ekstra.
“Kita butuhkan tenaga mereka untuk mengurus jenazah. Sebab, sehari-hari kita hanya ada tiga tenaga pengurus jenazah,” jelasnya.
Kini total ada seratus pegawai yang disiapkan untuk membantu anggota DVI (disaster victim identification) Polri guna mengurus jenazah. Perinciannya, 80 pegawai di lingkungan dinas kesehatan dan 20 relawan.
“Kenapa kami siapkan begitu banyak, karena saat itu kami khawatir jenazah yang datang langsung dalam jumlah banyak,” ujar Suyuti.
Hingga berita ini diturunkan, jenazah korban jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 yang keluar masuk RSUD Sultan Imanudin sebanyak 34. Total korban AirAsia 162 orang. Sebagai kota kecil, tentu kesiapan Kotawaringin Barat jauh berbeda jika dibandingkan dengan Surabaya atau Sidoarjo, dua kota yang juga berkaitan dengan kejadian memilukan tersebut.
Berdasar status rumah sakit saja, RSUD Sultan Imanudin hanya masuk golongan C. Kalau di Surabaya, itu sama dengan RSUD Bhakti Dharma Husada (BDH). Namun, jangan dibayangkan bangunan RSUD Sultan Imanudin seperti RSUD BDH yang begitu megah.
Jangankan fasilitas identifikasi jenazah, kamar jenazah saja hanya muat tiga jasad. Nah, gerak cepat untuk membantu proses evakuasi jenazah membuat rumah sakit itu berubah 180 derajat. Hanya dalam waktu empat hari, rumah sakit tersebut telah memiliki fasilitas identifikasi jenazah seperti yang diisyaratkan DVI.
Jawa Pos (Induk JPNN.com) sempat memantau kondisi rumah sakit sejak Selasa (30/12). Ketika itu, jenazah yang datang hanya ditempatkan di ruang kecil. Kini mereka telah membangun tenda-tenda di halaman belakang rumah sakit untuk proses identifikasi. Itu persis lokasi identifikasi di RS Bhayangkara di Polda Jatim.
“Tenda-tenda ini kami bangun setelah mendengar masukan dari tim DVI,” ujar Bupati Kotawaringin Barat Ujang Iskandar.
Kemarin (4/1), Ujang menunjukkan tenda yang sudah dilengkapi sistem pembuangan limbah tersebut.
“Kalau tenda dan saluran limbah ini kami bangun hanya dalam sehari,” kata pejabat 53 tahun itu.
Keluhan tidak adanya lemari pendingin juga langsung ditindaklanjuti Ujang. Sabtu malam, dia mendatangkan peti kemas yang sudah didesain sebagai lemari pendingin untuk jenazah.
Bentuk lemari pendingin itu persis kontainer jenazah yang ada di Rumah Sakit Pusat Polri Raden Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur. Lemari pendingin tersebut bisa mengatur suhu hingga -20 derajat Celsius.
Ujang juga memerintahkan dinas pekerjaan umum untuk membangun akses menuju tempat identifikasi jenazah itu dengan mamasang paving block.
“Saya siapkan seperti ini agar sewaktu-waktu proses identifikasi dialihkan di sini kami sudah siap,” papar bupati yang telah terpilih dua periode tersebut.
Ujang pun berharap identifikasi jenazah yang tak lagi utuh bisa dilakukan di kotanya. Sebab, kondisi jenazah yang sudah lebih dari seminggu rentan bertambah parah jika dibawa dengan pesawat ke Surabaya.
“Perjalanannya kan beberapa jam, belum lagi pasti ada goncangan,” katanya.
Yang patut diapresiasi lainnya adalah kemampuan pemkab menyiapkan 162 peti jenazah dalam waktu singkat. Berbeda dengan Surabaya atau kota besar lainnya, di kota tersebut tak banyak bisnis jasa pemakaman yang biasanya juga menyediakan peti jenazah.
Solusinya, pemkab harus membuat sendiri peti jenazah untuk 162 korban. Ujang memerintah kepala dinas pekerjaan umum untuk mengerahkan personelnya.
“Saat itu hari Selasa jenazah pertama dikabarkan ketemu. Saya deadline Rabu harus selesai, akhirnya bisa selesai sehari semalam. Ya seperti cerita Bandung Bondowoso lah,” ujar pria yang beristri perempuan Salatiga itu.
Sebelum bertemu Ujang, Rabu (31/12) koran ini sempat melihat sendiri pengerjaan peti. Peti itu memang tidak sebagus yang dijual kebanyakan. Sebagian dibuat dari tripleks setebal 10 mm, bagian dalam dilapisi aluminium dan kain terpal. Sebagai hiasan, tetap dipasang bunga di atas peti.
Yusuf, salah satu pekerja, mengatakan bahwa peti tersebut dibuat dengan ukuran panjang 244 cm, tinggi 40 cm, dan lebar 80 cm. Satu peti bisa dibuat selama satu jam dengan tenaga tiga orang. Kepala Bidang Bina Marga Joni Gultom mengatakan, lima kelompok dikerahkan untuk membuat peti tersebut.
“Semuanya warga. Mereka kompak meski dibayar belakangan,” ujarnya.
Suyuti mengatakan, tragedi AirAsia menjadi pelajaran bagi para staf kesehatan di Kabupaten Kotawaringin Barat.
“Ini bencana terbesar yang pernah kami tangani. Saya bilang ke teman-teman, kejadian ini pembelajaran berharga. Meskipun tentu kami tidak berharap terjadi lagi,” ujar Suyuti.(*/c10/kim)