JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pelan namun pasti, investigasi detail penyebab jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 di Selat Karimata, Kalimantan Tengah, bakal segera dimulai. Hal ini menyusul sudah terangkatnya salah satu bagian Black Box, yakni Flight Data Recorder (FDR), pada Senin (12/1) pagi.
Untuk menyelidikinya, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) sudah mempersiapkan diri sejak pesawat nahas ini jatuh. Menurut pihak KNKT, dengan sumber daya manusia dan ketersediaan teknologi, Indonesia sudah bisa mengungkap sendiri penyebab kecelakaan pesawat secara rinci. Namun dengan aturan internasional, tetap saja penyelidikan harus mengikutsertakan pihak asing, seperti pihak pembuat Airbus (Prancis).
Secara tak langsung, KNKT ‘negara musibah’ juga punya kewajiban menjelaskan hasil investigasi kepada ‘KNKT’ negara lain, saat ditanya. Nah, terkait hal ini, hubungan KNKT Indonesia dengan Amerika Serikat disebut tak mesra.
Dilansir dari The Wall Street Journal, sejarah hubungan penyelidikan kecelakaan pesawat Amerika Serikat (AS) dan Indonesia pernah renggang terkait beberapa peristiwa pada akhir 1990an. Menurut pejabat di AS, hal ini dapat memengaruhi penyelidikan terhadap kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501.
Sengketa masa lalu ini, juga menjadi alasan kedua pihak masih membahas rencana keterlibatan AS dalam penyelidikan jatuhnya QZ8501. Di Washington, juru bicara Badan Keselamatan Transportasi Nasional AS (National Transportation Safety Board/NTSB) mengatakan mereka masih menunggu ajakan bergabung dalam penyelidikan multi nasional atas jatuhnya QZ8501.
Kontrasnya, pemerintah mengaku akan menyambut partisipasi AS. Washington hanya tinggal bertanya dan Indonesia berharap NTSB pada akhirnya akan terlibat dalam penyelidikan. Namun, pemerintah menambahkan hal ini baru akan terjadi setelah bangkai pesawat yang jatuh di dasar Laut Jawa diangkat ke permukaan.
Seorang mantan petinggi NTSB mengatakan, ketidaksepakatan antar KNKT dan NTSB pernah terjadi dipicu oleh dua kecelakaan fatal pesawat maskapai Indonesia, yakni SilkAir di Sungai Musi, Palembang 1997, dan Adam Air di Majene 2007.
Pada ‘kasus; SilkAir 1997, ahli AS dan Indonesia bekerja sama untuk mengetahui penyebab tragedi yang menewaskan 104 orang tersebut. Kedua pihak gagal menemukan kesepakatan soal laporan final insiden itu.
Ahli aviasi Indonesia akhirnya menyimpulkan tidak ada cara untuk menentukan mengapa panel kendali pesawat tertentu di ekor dipasang dalam konfigurasi selam. Mereka juga tidak tahu mengapa perekam data penerbangan dan percakapan awak kokpit berhenti beroperasi sebelum pesawat jatuh.
Namun, ahli NTSB menyimpulkan bukti fisik dan data lainnya menunjuk ke motif pilot untuk bunuh diri. Pada 2000, komisaris NTSB terang-terangan mengindikasikan bahwa kecelakaan itu tidak disebabkan oleh kegagalan mesin pesawat dan satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah, niat pilot.
Pada kasus Adam Air 2007, AS-Indonesia kembali tidak sepakat setelah pesawat maskapai tarif rendah itu jatuh dan menewaskan 102 orang. Mengutip dari berbagai sumber termasuk wikipedia Adam Air Flight 574, NTSB sangat mendesak Indonesia menemukan Black Box dengan cepat karena pada saat itu daya tahan baterai (30 hari) akan berakhir, yang kemudian benar-benar terjadi.
AS sendiri memang punya kepentingan di kasus ini karena pesawat yang jatuh adalah pesawat buatan Amerika. Investigasi menunjukkan bahwa komponen pesawat yang bernama IRS (Inertial Refference Systems) mengalami kerusakan. IRS berfungsi sebagai sistem navigasi pesawat, yang menghitung posisi koordinat pesawat ketika terbang. IRS bekerja bersama dengan sistem auto-pilot, sehingga pesawat dapat terbang menuju koordinat yang ditentukan tanpa kendali pilot. Namun, IRS rusak sehingga pesawat keluar dari jalur aslinya dan kehilangan arah.
Pilot baru mengetahui bahwa pesawatnya keluar dari jalur ketika diberitahu oleh petugas Air Traffic Controller Makassar. Karena itu, pilot mematikan auto-pilot dan mengendalikan pesawat secara manual. Namun, ia tidak mengetahui bahwa selama pergantian sistem auto-pilot ke manual, sistem elektronik pesawat akan mati selama 30 detik. Ketika sistem elektronik pesawat mati, semua indikator di cockpit pesawat mati. Hal ini mengejutkan pilot dan co-pilot sehingga mereka mencari tahu mengapa sistem mati.
Selama pilot dan co-pilot mencari tahu penyebab kerusakan sistem elektronik dan IRS, pesawat sudah tidak lagi dalam kondisi auto-pilot. Maka pesawat harus dikendalikan secara manual. Namun, pilot maupun co-pilot tidak memegang kendali pesawat, keduanya sibuk membuka buku manual pesawat dan mencari solusi kerusakan sistem. Hal inilah yang menyebabkan kecelakaan tidak dapat dihindari.
Ketika pilot dan co-pilot sibuk sendiri, pesawat ternyata secara perlahan berguling ke kanan (miring ke kanan). Karena tidak ada krew yang memegang kendali, pesawat terus berguling ke kanan hingga pada kemiringan yang tidak aman. Akhirnya, pilot terlambat mengembalikan pesawat ke posisi semula sehingga pesawat menukik jatuh ke laut.
Walaupun penyebab jatuhnya pesawat sudah diketahui, pihak penyelidik masih ingin mengetahui mengapa komponen pesawat rusak dan mengapa pilot kurang memiliki pengetahuan terhadap pesawatnya. Setelah diusut lebih lanjut, ternyata perangkat IRS sudah mengalami kerusakan selama 3 bulan terakhir. Perangkat tersebut tidak dibetulkan, hanya dibersihkan saja komponennya lalu dipasang kembali. Selain itu, pilot tidak memperoleh training yang cukup dari Adam Air. Hal inilah yang menyebabkan pilot kurang mengerti sistem pesawat yang dipakai.
Kini, dengan tragedi AirAsia QZ8501, KNKT dan Indonesia kembali diuji dan menjadi sorotan mata lebar dunia internasional. Banyak analis sudah memaparkan kemungkinan, di sisi lain masih banyak keluarga korban juga ingin tahu detail penyebab kecelakaan.
Dalam sebuah wawancara yang dikutip New York Times, Senin (12/1), Presiden Joko Widodo juga meminta semua pihak terkait untuk melakukan seluruh perbaikan usai tragedi ini. “Negara akan melakukan perbaikan yang diperlukan untuk industri (penerbangan). Ini adalah saat untuk benar-benar mereformasi transportasi udara kita,” katanya. (adk/jpnn)