JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Desakan PDIP, NasDem, dan hasil paripurna DPR pada Kamis (15/1) yang menyetujui Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri menjadi ajang pembuktian Jokowi apakah Presiden rakyat atau hanya petugas partai. Jika Jokowi melantik tersangka KPK atas kasus rekening gendut itu menjadi pucuk pimpinan Kepolisian, mantan Gubernur DKI ini tengah melakukan praktik politik bunuh diri atas amanah dan jabatan yang diembannya.
WAKIL Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Benny K. Harman, menyatakan pelantikan tersangka kasus rekening gendut Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri dapat menjadi pintu masuk bagi upaya pemakzukan (impeachment) terhadap Presiden Jokowi.
“Kalau Presiden lantik Komjen Budi Gunawan, itu jadi pintu masuk impeachment terhadap Presiden,” kata Benny usai rapat paripurna DPR yang menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, Kamis (15/1).
“Bila paripurna mengesahkan (Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri), artinya memberikan karpet merah bagi Presiden untuk dimakzulkan karena tak taat pada konstitusi. Apakah kita mau seperti ini?” ujar Benny.
Dalam sumpah jabatannya, kata Ketua DPP Demokrat itu, seorang presiden akan menegakkan hukum setegak-tegaknya dan seadil-adilnya. Benny tak memungkiri penunjukan Kapolri sepenuhnya merupakan hak prerogatif Presiden. Namun ia menyesalkan apabila hak tersebut digunakan tanpa batasan.
Demokrat sebelumnya meminta pimpinan DPR untuk menunda pengambilan keputusan soal Budi di paripurna. Keputusan diminta tak diambil sebelum DPR berkonsultasi dengan Presiden, mengingat keputusan mengesahkan seseorang tersangka sebagai Kapolri membuat kepercayaan publik terhadap negara luntur.
“Apabila Komjen Budi Gunawan dipaksakan menjadi Kapolri, maka dia tidak akan mendapat kepercayaan rakyat,” ujar Benny.
Di sisi lain, interpelasi juga akan diusung oleh komisi III yang lain jika Jokowi tidak melantik Budi sebagai kapolri. “Kalau ke depan ada indikasi permainan dan konspirasi politik dalam pengajuan Budi Gunawan sebagai kapolri, maka kita akan mengajukan hak interpelasi kepada Presiden RI. Di mana kegaduhan politik ini dari presiden akibat selalu menari-nari di atas pencitraan. Seperti di waktu berkampanye. Kalau ini diteruskan berbahaya dan sama saja dengan SBY. Hanya gayanya yang berbeda,” tegas politisi Gerindra yang juga Wakil Ketua Komisi III Desmond J Mahesa dalam diskusi ‘Ada Apa Dibalik Putusan Tersangka Budi Gunawan oleh KPK’ di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (15/1).
Apalagi lanjut Desmon, KPK sudah menyatakan kalau sudah berstatus tersangka, Jokowi diminta untuk tidak melantik Budi Gunawan. Karena itu, keputusan KPK kali ini dianggap aneh karena bersifat ujug-ujug, tiba-tiba, mendadak setelah Budi Gunawan menjadi calon Kapolri dan sedang mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI.
“Apalagi kasus yang disangkakan itu peristiwa lama. Harusnya sejak lama kasus itu disangkakan atau diselesaikan oleh KPK sendiri,” ujarnya.
Maka keputusan itu kata Desmon, jelas mengganggu sistem ketatanegaraan (trias politica), di mana dalam konteks apapun KPK akan selalu berkedudukan sama dengan pemerintahan.
“KPK ingin mendeklarasikan diri ada di atas semua lembaga negara. Itulah yang tadinya kita mau kritisi ada apa dengan putusan KPK? Apa ada persekongkolan di internal kepolisian yang tidak suka dengan BG?” katanya mempertanyakan.
Padahal menurut Desmon, Budi Gunawan itu orangnya cerdas, tenang, dan jauh lebih baik dibanding Jenderal Sutarman, sehingga tidak ada alasan bagi Gerindra untuk menolaknya. Di mana dalam sangkaan itu belum tentu yang bersangkutan menjadi terpidana. Tapi, itu prosesnya di KPK. Sementara proses politik itu ada di DPR RI.
Kemarin siang, setelah melewati lobi cukup lama, DPR melalui rapat paripurna akhirnya menyetujui Komjen Budi Gunawan untuk dilantik Presiden sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman.
“Setelah melakukan rapat konsultasi pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi, akhirnya disepakati untuk menyetujui laporan Komisi III untuk mengangkat Komisaris Jenderal Budi Gunawan menjadi Kapolri,” kata pimpinan rapat paripurna, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan, di hadapan paripurna.
Dalam putusan tersebut, ada dua catatan diberikan, yakni terkait perbedaan pendapat Fraksi Demokrat dan PAN. ” Demokrat meminta menunda, dan Partai Amanat Nasional meminta untuk melakukan konsultasi dengan Presiden,” ujar Taufik. (bbs/val/rbb)