SUMUTPOS.CO- Hari ini, Rabu (28/01), merupakan 100 hari pemerintahan Jokowi di tengah belum meredanya konflik antara KPK dan polisi, yang diawali dengan pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri oleh Jokowi.
Mungkin itu yang membuat beberapa pihak menilai 100 hari Jokowi sebagai “bulan muda terburuk” walau politikus PDI-P melihatnya sebagai pijakan untuk masa lima tahun mendatang.
Abas, seorang warga Jakarta yang berjualan batu akik dengan cepat mengatakan “kurang senang” ketika dimintai komentarnya tentang 100 hari pemerintahan Jokowi.
Ia menganggap terlihat dari berbagai peristiwa, “Jokowi itu wayang dan ada dalangnya.”
Lain dengan Geri, seorang mahasiswa Universitas Atmajaya, yang mengaku, terlepas dari berbagai kekisruhan, ia tak terlalu kecewa.
Adapun Olga Ocha, warga Belitung yang bekerja di bidang pertambangan, yang sedang berada di Jakarta untuk urusan kerja, mengatakan, sebetulnya awalnya ia menaruh harapan besar pada Jokowi.
Namun berbagai kebijakan, dan akhirnya masalah KPK-Polri, membuatnya kebingungan, dan berpikir lain.
Ini memang suasana umum, terkait 100 hari pemerintahan Jokowi, yang merupakan “bulan madu yang buruk” untuk waktu singkat, kata peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti.
“Bulan madu yang sangat singkat, bukan karena waktunya semata, tapi juga karena ekspektasi kita begitu besar. Efek dan tingkat keterkejutan kita (atas kebijakan-kebihjakan Jokowi) yang begitu dahsyat, dan efeknya besar,” ungkap Bivitri Susanti.
‘Ekspektasi tinggi’
Ia mencontohkan berbagai kebijakan Jokowi tak sesuai dengan harapan, dan janjinya sendiri, seperti eksekusi hukuman mati, pemilihan kabinet, pembunuhan di Papua, dan yang masih terus berlangsung, kemelut KPK-pencalonan Kapolri.
“Padahal ekspektasi terhadap Jokowi begitu tinggi, selain karena sosoknya, juga saat pilpres lalu ia mengkomunikasikan Nawacita dengan begitu indah: penegakkan hukum, perlindungan HAM, pemberantasan dan lain-lain.”
“Selain itu, yang jadi masalah adalah efek dari sejumlah kebijakan kontroversial Jokowi itu sangat besar. Eksekusi terhadap sejumlah terpidana mati, padahal pendahulunya justru melakukan moratorium hukuman mati. Kemudian pengajuan calon Kapolri bermasalah disusul kekisruhan politik dan hukum sampai sekarang ini. Efeknya sangat basar.”
Bivitri menambahkan berbagai kebijakan dan keputusan Jokowi bukan hanya melampaui tingkat mengecewakan, tapi sampai membangkitkan kemarahan.
Itu tercermin dari perlawanan besar dari berbagai kalangan di berbagai kota, terkait pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, disusul penangkapan terhadap Bambang Widjajanto, wakil ketua KPK, yang berbuntut pada kisruh tak berkesudahan.
Dukungan
Kritik keras publik yang pertama yang sangat dini atas Presiden Jokowi di masa lima tahun jabatannya ini juga ramai di media sosial.
Sebagian mengeluhkan situasi ekonomi keseharian dan tak sedikit yang mempermasalahkan ketidakberdayaan Jokowi terhadap tekanan partai-partai pendukungnya.
Bagaimanapun hal itu tidak perlu dirisaukan, paling tidak menurut politikus PDIP, Rieke Diah Pitaloka, yang justru melihat sisi positifnya.
“Justru mendingan kita berantem, kisruh di 100 hari pertama, tapi setelah itu dilakukan evaluasi. Ini menjadi pijakan yang penting, dipetik pelajaran-pelajaran berharga. Tentu bukan untuk secara tergesa-gesa menyebut pemerintah Jokowi-JK telah gagal, masih jauh,” kata Rieke yang merupakan anggota DPR di Komisi IX.
“Justru 100 hari kemarin, bertempurlah kalau perlu, dan selanjutnya kelihatan mana yang betul-betul bekerja, dan mana yang tidak. Mana lawan, mana kawan, yang mana penjilat. Justru di 100 hari yang berdarah-darah kemarin itu bisa menjadi pihjakan kuat, agar ke depannya bisa ‘membasuh luka rakyat’, begitu istilahnya,” kata Rieke pula.
Namun anehnya, seperti diamati Bivitri Susanti, para politikus PDIP di parlemen, selain dalam soal pencalonan Kapolri, justru tidak tampak memberi dukungan yang diperlukan pemerintahan Jokowi.
BBC berusaha meminta komentar para pejabat pemerintah, namun sebagian besar tak mengangkat teleponnya.
Satu-satunya yang mengangkat telepon, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, mengaku sedang rapat bersama Presiden Jokowi dan tak bersedia berkomentar. (BBC)