SUMUTPOS.CO- ANGGOTA Komisi D DPRD Medan Sahat Marulitua Tarigan dan Kepala Dinas Bina Marga Medan, Khairul Syahnan kompak menyalahkan Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) II mengenai persoalan banjir di Kota Medan. Pasalnya, meski sudah beberapa kali disurati oleh Pemko Medan untuk melakukan normalisasi sungai, namun BWSS II tak menggubris surat tersebut.
Akibatnya, saluran drainase yang mengalir ke sungai dan anak-anak sungai yang ada di Kota Medan, ketika hujan akan meluap dan menggenangi sejumlah ruas jalan dan pemukiman penduduk. Hal ini disebabkan pendangkalan sungai yang terjadi, terlebih banyak bangunan yang berdiri di daerah aliran sungai (DAS).
Khairul Syahnan menyatakan, pihaknya memiliki batasan atau kewenangan dalam mengatasi masalah banjir, yakni hanya sebatas menangani saluran drainase tersier. Sementara untuk pengerukan atau normalisasi sungai, itu merupakan tanggung jawab BWSS II.
Proses normalisasi induk sungai maupun anak sungai, kata Khairul, akan sangat banyak membantu khususnya ketika aliran air dari saluran drinase sekunder maupun primer. “Persoalannya, kami dibatasi oleh kewenangan. Bina Marga hanya bertanggung jawab atas drinase. Sedangkan persoalan penyempitan di hulu menjadi tugas dan tanggungjawab BWSS II,” terangnya.
Masyarakat Kota Medan, kata Khairul, tidak akan mengerti bahwa permasalahan itu bukanlah tanggungjawab Dinas Bina Marga Medan. Maka dari itu, ketika ada keluhan banjir akan langsung disampaikan kepada Wali Kota Medan.
“Masyarakat tahunya membayar Pajak Bumi Bangunan (PBB) kepada Pemko Medan, jadi persoalan infrastruktur dianggap masyarakat secara menyeluruh menjadi wewenang Dinas Bina Marga Medan. Pendapat masyarakat seperti itu tidak sepenuhnya bisa disalahkan, harusnya BWSS II mengerti dan tanggap akan hal itu,” paparnya.
Lebih lanjut diakuinya, geliat pembangunan di Kota Medan saat ini juga menjadi penyumbang masalah banjir. Sebab, pembangunan property tidak diikuti dengan pembuatan ruang terbuka hijau (RTH) sesuai amanat undang-undang.
“Daerah serapan air yang banyak berkurang juga menjadi penyebab. Selain itu air kiriman dari kawasan gunung juga menjadi factor lain. Coba perhatikan ketika ada genangan air yang begitu tinggi, padahal debit air hujan tidak terlalu besar, itu artinya banjir kiriman,” urainya.
Kurangnya kesadaran masyarakat, lanjut dia, juga menjadi faktor pendukung saluran drainase tidak berfungsi dengan baik. “Beberapa waktu lalu turun hujan, dan terjadi genangan air di seputaran titik nol atau kawasan Lapangan Merdeka. Setelah dicari tahu, ternyata ada dua buah ban bekas di saluran drainse di bawah Hotel Grand Aston, itu bukti kurangnya kesadasaran masyarakat,” akunya.
Sementara, Sahat Marulitua Tarigan juga menyampaikan pendapat yang tidak jauh berbeda. BWSS II juga dijadikannya kambing hitam, karena tidak mampu bekerjasama dengan Pemko Medan dalam upaya pengentasan banjir.
“Jangan karena instansi vertikal yang berada langsung di bawah Kementrian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (Kemen PU-Pera), bisa berbuat sesuka hati, kerja tanpa ada yang mengawasi,” sebutnya.
Sesama intansi pemerintah, seharusnya BWSS II dan Dinas Bina Marga Medan saling berkordinasi dan mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan permasalahan klasik ini. Dia juga sangat menyayangkan BWSS II tidak hadir dalam diskusi ini. Padahal, BWSS memiliki peran penting dalam penanggulangan banjir di Kota Medan.
“Harusnya BWSS juga hadir dalam diskusi ini biar semua bisa clear,” pungkasnya.(dik/adz)