26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Menyekolahkan Dua Keponakan, Berharap Ada yang Jadi Menteri dari Hasil Tuak

ORANG Batak dikenal pekerja keras dan dengan segala daya berupaya menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang tertinggi. Misdiana Manik (45) juga punya semangat seperti itu. Wanita hebat warga Nagori Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun itu menyekolahkan dua keponakannya dari hasil tuak.

———–

Rano K Hutasoit-Dolok Panribuan, Simalungun

———–

Berbekal puluhan tahun meracik tuak (nira), selalu masuk hutan setiap pukul delapan pagi dan pukul empat sore untuk mengumpul hasil sadapan, Misdiana Manik akhirnya terpercaya menjadi seorang yang bertalenta dalam meracik tuak.

Semua talenta dan keahlian berawal dari kemauan mencoba dan bekerja keras. Sejak SMP, Misdiana Manik sudah memulai belajar menyadap tuak. Awalnya, hanya coba-coba  menyadap nira di tempat yang bisa dijangkau dengan hanya mengandalkan bantuan sebatang dahan.

“Pertama menyadap tuak, aku mendapat hasil lima liter nira. Kuberitahu pada ayahku dan disambutnya dengan bahagia,” ujar Misdiana.

Tuak yang langsung bisa jadi uang saat itu membuatnya semakin tertarik menggeleuti profesi itu.

“Tak perlu malu pada teman-teman sebaya yang juga sekolah,” jelas Misdiana di bawah pohon aren di perladangannya. Sewaktu masih SMP itu, Misdiana sudah mendapat uang saku Rp 5 ribu setiap hari dari hasil menyadap tuak.  “Rp 5ribu di tahun 1988 sudah sangat banyak,” terang Misdiana.

Awalnya, Misdiana tidak memberitahu bahwa dia menyambi maragat sebelum berangkat dan sepulang sekolah. Tahun 1988, keluarga Misdiana tinggal sekitar 3 kilometer dari tepian jalan besar yang saat ini adalah Jalinsum Siantar-Parapat.

Misdiana sengaja memarkirkan sepedanya di tengah perjalanan menuju sekolah. Kalau ditanya teman-temannya, Misdiana mengatakan dia hanya hendak menggeser patok kerbau yang diikat dengan tali panjang agar bisa mencari makan sendiri.

“Resikonya, kalau berangkat sekolah harus lebih awal dari teman sekolah lainnya. Aku cukup bangga karena masih duduk di bangku SMP, tapi sudah berpenghasilan Rp 5 ribu per hari. Tahun 1988, nilai Rp 5 ribu sudah tergolong besar,” katanya lagi.

Setelah memutuskan tidak bersekolah, teman sebaya Misdiana akhirnya mengetahui Misdiana menjadi penyadap tuak.  “Biarlah, mana tahu itu talentanya,” ujar Misdiana menirukan tanggapan ayahnya sekitar 27 tahun lalu.

Selain menyadap tuak, untuk membantu biaya sekolah saudaranya, Misdiana juga ikut mengantar tuak dari lokasi menuju persimpangan jalan. Saat itu, jasa mengantar tuak dari areal perladangan menuju jalan raya dihargai Rp 300 per jerigen.

“Tarurupi ma omak on (terbantulah ibuku). Saat itulah ekonomi orangtuaku terbantu dan seluruh saudaraku tamat SMA sederajat,” ujarnya sembari menyatakan hal itu yang membuatnya semakin yakin melanjutkan profesi sebagai paragat.

Setelah delapan saudaranya tamat, Misdiana tidak berhenti membantu keluarga. Belakangan, dia menyekolahkan dua keponakannya hingga tamat STM. Dia berharap dua keponakannya itu bisa melanjutkan ke pendidikan tinggi.

Melihat sejumlah tetangganya berhasil menguliahkan anaknya dari hasil tuak, semangatnya makin terlecut.

“Sudah banyak yang jadi sarjana atau insinyiur dari hasil tuak. Saya berharap nantinya ada menteri yang berhasil dari tuak, sehingga pekerjaan maragat ini semakin dikenal,” jelasnya.

Ditanya hasil tuak yang paling banyak dihasilkan, Misdiana mengatakan pernah menghasilkan tuak hingga 6 jerigen atau sama dengan 6 kaleng atau setara dengan 120 liter. Hasil itu disadap dari 8 pohon aren.

Untuk mendapatkan 120 liter, Misdiana harus memberikan seluruh waktu dan perhatiannya pada pohon aren tersebut.  Sedangkan penghasilannya saat ini berkisar 35 liter tuak atau sekitar 1,5 kaleng. Atau jika dirupiahkan, Misdiana berpenghasilan sekitar Rp 70 ribu per hari.

“Keluarga dan ayahku tidak pernah menolak kehidupanku saat ini. Mereka beranggapan kalau hidupku sama persis dengan salah seorang bibi kami terdahulu, yang juga menyadap tuak dan tidak menikah. Hingga akhir hayatnya hanya bekerja sebagai penyadap tuak,” jelas Misdiana.

“Huhokkop do sude. Dang tersisa waktukku di luar (semua kuperjuangkan. Tidak ada waktu tersisa di luar sana). Memang kesannya seolah ada anak yang kuperjuangkan. Aku hanya berharap kejadian yang menimpa keluargaku puluhan tahun lalu tidak terjadi pada seluruh keponakanku. Kalau hanya untuk sekedar makan, tidak harus ngotot kerja seperti ini,” jelasnya.

“Kalau masalah tuak sudah hafal. Hanya dengan mencium aroma saja, sudah dapat ditebak seperti apa rasa tuak itu. Atau hanya dari warna, juga sudah dapat ditebak jenis tuak itu,” terang Misdiana melanjutkan ceritanya di perladangan itu. 

Ditanya mitos seorang paragat yang tidak boleh menggunakan pakaian cantik dan harus menggunakan seragam yang biasa dipakai untuk memanen air nira, Misdiana percaya bahwa dengan memakai pakaian yang itu-itu saja, pohon tersebut akan mengenal pemiliknya dan akan mengeluarkan air nira lebih banyak.

Misidiana berprinsip, bagaimana dirinya tetap dikasihi dan dihargai keluarga hingga akhir hayatnya.

“Boha iba asa dihaholongi ro di ujung ni ngolu (supaya keluarga menghargai aku hingga akhir hayatku),” ujarnya. (***)

ORANG Batak dikenal pekerja keras dan dengan segala daya berupaya menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang tertinggi. Misdiana Manik (45) juga punya semangat seperti itu. Wanita hebat warga Nagori Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun itu menyekolahkan dua keponakannya dari hasil tuak.

———–

Rano K Hutasoit-Dolok Panribuan, Simalungun

———–

Berbekal puluhan tahun meracik tuak (nira), selalu masuk hutan setiap pukul delapan pagi dan pukul empat sore untuk mengumpul hasil sadapan, Misdiana Manik akhirnya terpercaya menjadi seorang yang bertalenta dalam meracik tuak.

Semua talenta dan keahlian berawal dari kemauan mencoba dan bekerja keras. Sejak SMP, Misdiana Manik sudah memulai belajar menyadap tuak. Awalnya, hanya coba-coba  menyadap nira di tempat yang bisa dijangkau dengan hanya mengandalkan bantuan sebatang dahan.

“Pertama menyadap tuak, aku mendapat hasil lima liter nira. Kuberitahu pada ayahku dan disambutnya dengan bahagia,” ujar Misdiana.

Tuak yang langsung bisa jadi uang saat itu membuatnya semakin tertarik menggeleuti profesi itu.

“Tak perlu malu pada teman-teman sebaya yang juga sekolah,” jelas Misdiana di bawah pohon aren di perladangannya. Sewaktu masih SMP itu, Misdiana sudah mendapat uang saku Rp 5 ribu setiap hari dari hasil menyadap tuak.  “Rp 5ribu di tahun 1988 sudah sangat banyak,” terang Misdiana.

Awalnya, Misdiana tidak memberitahu bahwa dia menyambi maragat sebelum berangkat dan sepulang sekolah. Tahun 1988, keluarga Misdiana tinggal sekitar 3 kilometer dari tepian jalan besar yang saat ini adalah Jalinsum Siantar-Parapat.

Misdiana sengaja memarkirkan sepedanya di tengah perjalanan menuju sekolah. Kalau ditanya teman-temannya, Misdiana mengatakan dia hanya hendak menggeser patok kerbau yang diikat dengan tali panjang agar bisa mencari makan sendiri.

“Resikonya, kalau berangkat sekolah harus lebih awal dari teman sekolah lainnya. Aku cukup bangga karena masih duduk di bangku SMP, tapi sudah berpenghasilan Rp 5 ribu per hari. Tahun 1988, nilai Rp 5 ribu sudah tergolong besar,” katanya lagi.

Setelah memutuskan tidak bersekolah, teman sebaya Misdiana akhirnya mengetahui Misdiana menjadi penyadap tuak.  “Biarlah, mana tahu itu talentanya,” ujar Misdiana menirukan tanggapan ayahnya sekitar 27 tahun lalu.

Selain menyadap tuak, untuk membantu biaya sekolah saudaranya, Misdiana juga ikut mengantar tuak dari lokasi menuju persimpangan jalan. Saat itu, jasa mengantar tuak dari areal perladangan menuju jalan raya dihargai Rp 300 per jerigen.

“Tarurupi ma omak on (terbantulah ibuku). Saat itulah ekonomi orangtuaku terbantu dan seluruh saudaraku tamat SMA sederajat,” ujarnya sembari menyatakan hal itu yang membuatnya semakin yakin melanjutkan profesi sebagai paragat.

Setelah delapan saudaranya tamat, Misdiana tidak berhenti membantu keluarga. Belakangan, dia menyekolahkan dua keponakannya hingga tamat STM. Dia berharap dua keponakannya itu bisa melanjutkan ke pendidikan tinggi.

Melihat sejumlah tetangganya berhasil menguliahkan anaknya dari hasil tuak, semangatnya makin terlecut.

“Sudah banyak yang jadi sarjana atau insinyiur dari hasil tuak. Saya berharap nantinya ada menteri yang berhasil dari tuak, sehingga pekerjaan maragat ini semakin dikenal,” jelasnya.

Ditanya hasil tuak yang paling banyak dihasilkan, Misdiana mengatakan pernah menghasilkan tuak hingga 6 jerigen atau sama dengan 6 kaleng atau setara dengan 120 liter. Hasil itu disadap dari 8 pohon aren.

Untuk mendapatkan 120 liter, Misdiana harus memberikan seluruh waktu dan perhatiannya pada pohon aren tersebut.  Sedangkan penghasilannya saat ini berkisar 35 liter tuak atau sekitar 1,5 kaleng. Atau jika dirupiahkan, Misdiana berpenghasilan sekitar Rp 70 ribu per hari.

“Keluarga dan ayahku tidak pernah menolak kehidupanku saat ini. Mereka beranggapan kalau hidupku sama persis dengan salah seorang bibi kami terdahulu, yang juga menyadap tuak dan tidak menikah. Hingga akhir hayatnya hanya bekerja sebagai penyadap tuak,” jelas Misdiana.

“Huhokkop do sude. Dang tersisa waktukku di luar (semua kuperjuangkan. Tidak ada waktu tersisa di luar sana). Memang kesannya seolah ada anak yang kuperjuangkan. Aku hanya berharap kejadian yang menimpa keluargaku puluhan tahun lalu tidak terjadi pada seluruh keponakanku. Kalau hanya untuk sekedar makan, tidak harus ngotot kerja seperti ini,” jelasnya.

“Kalau masalah tuak sudah hafal. Hanya dengan mencium aroma saja, sudah dapat ditebak seperti apa rasa tuak itu. Atau hanya dari warna, juga sudah dapat ditebak jenis tuak itu,” terang Misdiana melanjutkan ceritanya di perladangan itu. 

Ditanya mitos seorang paragat yang tidak boleh menggunakan pakaian cantik dan harus menggunakan seragam yang biasa dipakai untuk memanen air nira, Misdiana percaya bahwa dengan memakai pakaian yang itu-itu saja, pohon tersebut akan mengenal pemiliknya dan akan mengeluarkan air nira lebih banyak.

Misidiana berprinsip, bagaimana dirinya tetap dikasihi dan dihargai keluarga hingga akhir hayatnya.

“Boha iba asa dihaholongi ro di ujung ni ngolu (supaya keluarga menghargai aku hingga akhir hayatku),” ujarnya. (***)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/