27 C
Medan
Monday, October 21, 2024
spot_img

Anak Priyayi yang Pakai Sepatu Lars Loak

Foto: RADAR JEMBER  H Samin dan Hj Siam tetangga Badrodin Haiti di Jember.
Foto: RADAR JEMBER
H Samin dan Hj Siam tetangga Badrodin Haiti di Jember.

HARI SETIAWAN, Jember

AZAN Magrib kurang 10 menit lagi ketika Jawa Pos (grup Sumut Pos) tiba di sebuah rumah sederhana di pertigaan yang menghubungkan Desa Gambirono, Bangsalsari, dengan Desa Paleran, Umbulsari, Jember, kemarin (18/2). Rumah model kuno dan bercat kuning itu tampak tertutup rapat. Hanya ada seorang perempuan yang tengah mengepel teras musala di samping rumah itu.

Rumah tersebut memiliki halaman yang tidak terlalu luas. Tanpa pagar, di depan rumah itu terpasang papan nama Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Umbulsari. Ya, di rumah itulah Badrodin lahir dan menjalani masa-masa kecil hingga memasuki usia remaja.

Perempuan yang tengah mengepel teras musala tersebut bernama Solihatun. Dia adalah keponakan ibunda Badrodin. “Sepeninggal Haji Ahmad Haiti (ayah Badrodin), yang tinggal di rumah ini sekarang Pak Haji Lukman (Lukman Haiti, kakak nomor dua Badrodin), istri, menantu, dan Bu Sunar (kerabat keluarga Badrodin),” kata Solihatun.

Petang itu, rumah keluarga Badrodin memang kosong. Sebab, Lukman dan istrinya tengah menunggui menantunya yang diopname di sebuah rumah sakit di Jember. Tetapi, Solihatun sempat menemui dan mempersilakan wartawan koran ini untuk masuk ke ruang tamu.

Rumah orangtua Badrodin tergolong cukup sederhana. Bentuk pintu dan jendelanya khas arsitektur lama. Lantainya terbuat dari teraso kuning. Meja dan kursi ruang tamunya juga model lama. Di atas meja itu terdapat tumpukan buku serta majalah. Beberapa di antaranya majalah Suara Muhammadiyah.

Ayah Badrodin, Ahmad Haiti, memang tokoh Muhammadiyah yang disegani di Kecamatan Umbulsari dan sekitarnya. Begitu pula kakak Badrodin, Lukman Haiti, yang kini menjabat ketua PCM Umbulsari.

Meski berasal dari keluarga priayi, Badrodin kecil tetap bergaul dengan teman serta tetangga tanpa melihat status sosial. Samin, tetangga yang tinggal sekitar 50 meter dari rumah Badrodin, punya kenangan khusus dengan anak keempat di antara delapan bersaudara itu.

“Waktu kecil, Din (panggilan Badrodin di keluarga, Red) suka wayang. Kalau nonton wayang, sering sama saya. Dia senang duduk di dekat dalangnya,” ujar Samin.

Badrodin menghabiskan masa kecil dan remaja di Jember. Dia mengenyam pendidikan kelas 1-5 SD di Paleran. Saat kelas 6, dia melanjutkan sekolah di Wlingi, Blitar, tempat tinggal kakaknya yang pertama. Lulus SD, dia meneruskan SMP di Pondok Pesantren Baitul Arqom, Kecamatan Balung, Jember, yang berjarak sekitar 8 km dari rumahnya.

Kelas 1 SMA, Badrodin bersekolah di SMA Muhammadiyah Rambipuji yang berlokasi sekitar 15 km dari rumah orangtuanya. Untuk menuju ke sekolah, dia rela mengayuh sepeda sejauh 30 km pergi pulang.

Namun, memasuki kelas 2 dan 3, Badrodin dipindah orangtuanya ke SMA FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan) Universitas Jember (Unej) di Kecamatan Tanggul yang saat ini berubah menjadi SMAN 2 Tanggul, Jember.

Menurut Lukman Haiti, kakak Badrodin, adiknya itu tergolong anak rajin dan pintar. “Kerjaannya hanya belajar terus kalau di rumah,” ungkapnya ketika ditemui di rumah sakit tempat menantunya diopname.

Teman-teman Badrodin di SMP juga mengakui bahwa Badrodin termasuk anak yang menonjol di kelas. “Dia termasuk kelompok anak-anak pandai, sedangkan saya termasuk yang kelompok bawah,” kata Mastur, kawan kecil calon Kapolri itu.

Meski saat SMA keduanya berbeda sekolah — Badrodin di SMA FIP Tanggul, sedangkan Mastur di SMA FIP Ambulu — keduanya tetap akrab.

“Lulus SMA, kami mendaftar Akpol bareng. Kami berangkat ke Surabaya juga bersama untuk tes. Bahkan, lantaran tidak punya saudara di Surabaya, kami tidur di musala,” ujar Mastur yang kini menjadi Kapolsek Pakusari, Jember.

Tekad Badrodin untuk menjadi polisi terlihat sejak SMA. Saking terobsesinya menjadi polisi, Lukman sampai membelikan adiknya itu sepatu lars seperti yang biasa dipakai tentara. “Sepatu itu saya beli di pasar loak seharga Rp1.500,” ungkap Lukman.

Walaupun berbeda jauh pangkat dan jabatan, Mastur menegaskan, Badrodin tidak pernah melupakan dirinya. Saat Badrodin menjabat Kapolda Sumut, Mastur sempat ditawari untuk pindah ke Medan. “Waktu itu, saya menjadi Kapolsek Ledokombo (Jember). Saat ditawari itu, saya jawab, wah kok adoh tenan (kok jauh sekali, Red),” ujarnya.

Ketika Badrodin menjadi Kapolda Jatim, Mastur juga pernah ditelepon teman dekatnya tersebut. Saat itu, Mastur bertugas di Polsek Sukowono, Jember. “Dia sempat tanya, Sukowono itu sepi atau ramai? Ya saya jawab biasa saja, Jenderal,” kata Mastur yang saat itu mengaku kikuk untuk memanggil atasannya dengan panggilan Din seperti waktu SMP dulu.

Rasa bangga atas pencalonan Badrodin Haiti sebagai Kapolri juga menyelimuti para tetangga keluarga Badrodin di Paleran. Pasalnya, jenderal bintang tiga yang berasal dari desa itu kini akan menjadi orang nomor satu di korps baju cokelat tersebut.

Menurut Siam, salah seorang tetangga, hingga saat ini Badrodin tetap menjadi orang yang rendah hati dan tidak lupa akan kulitnya. “Kalau pulang kampung dan ketemu tetangga, dia tidak pernah menolak diajak foto bareng. Orang sekitar sini hampir semua pernah foto bareng dengan Din (Badrodin),” katanya.

Badrodin juga meminta para tetangga tetap memanggilnya dengan nama panggilan saat kecil tersebut. “Dia lebih senang dipanggil Din saja daripada diberi embel-embel jenderal,” sambung Siam.

Tapi, sejak menjadi orang penting di Polri, Badrodin jarang pulang kampung. “Waktu bapak dan ibunya masih ada, setiap Lebaran dia pasti pulang kampung. Tapi sekarang agak jarang. Kalau toh pulang hanya sebentar. Tiba magrib, subuh sudah balik lagi ke Jakarta,” ungkap Siam.

Sementara itu, pihak keluarga di Jember baru tahu Badrodin ditunjuk Presiden Jokowi sebagai calon Kapolri saat ditelepon seorang kerabat di Probolinggo. “Saudara dari Probolinggo menyuruh saya nonton breaking news di TV. Ada berita Badrodin ditunjuk menjadi calon Kapolri oleh presiden,” cerita Lukman.

Mendengar kabar itu, Lukman mengucap rasa syukur adiknya mendapat kepercayaan dari presiden. Tapi, tantangan yang dihadapi sang adik memang sangat berat. Terutama mengatasi gesekan antara Polri dan KPK serta potensi konflik internal di Polri setelah Komjen Pol Budi Gunawan batal dilantik sebagai Kapolri. “Kelompok BG (Budi Gunawan) di dalam Polri pasti tidak diam,” tuturnya.

Badrodin menamatkan pendidikan di Akpol pada 1982 sebagai lulusan terbaik. Dia pun mendapat penghargaan Adhi Makayasa dari Presiden Soeharto. Pada awal karirnya, Badrodin lebih banyak bertugas di jajaran Polda Metro Jaya meski sempat digeser ke Timor Timur (sekarang Timor Leste) pada 1985. Dia kemudian menjadi Kapolres Probolinggo dan Kapoltabes Medan.

Karirnya mulai menanjak saat berdinas sebagai Direskrim Polda Jatim pada 2003. Dia lalu menjabat Kapolwiltabes Semarang sebelum mendapat promosi perwira tinggi sebagai Kapolda Banten. Tercatat, Badrodin pernah menduduki jabatan empat Kapolda. Dua di antaranya merupakan polda tipe A, yakni Sumut (2009-2010) dan Jatim (2010-2011). Dua lainnya polda tipe B, yakni Banten (2004) dan Sulteng (2006).

Apabila ditotal, Badrodin berpengalaman menjadi kepala satuan wilayah sebanyak sembilan kali. Mulai Kapolsek (2), Kapolres/Kapoltabes (2), Kapolwiltabes (1), dan Kapolda (4). Setelah menjadi Kapolda, Badrodin ditarik menjadi staf ahli Kapolri, dilanjutkan promosi eselon I-b menjadi asisten operasi Kapolri. Dia lalu promosi lagi ke eselon I-a menjadi Kabaharkam dan sempat masuk bursa calon Kapolri pengganti Timur Pradopo. Di era Sutarman, Badrodin dipromosikan menjadi Wakapolri menggantikan Komjen Oegroseno yang pensiun.

Badrodin juga sempat diisukan memiliki rekening gendut. Tepatnya saat menjabat kepala divisi hukum Polri pada 2010. Harta kekayaannya pada 2008 dilaporkan senilai Rp2,09 miliar plus USD 4.000. Namun, Badrodin sudah mengklarifikasi hal tersebut kepada PPATK.

Badrodin juga terbilang rajin melaporkan harta kekayaannya. Tercatat, ayah dua anak itu enam kali melaporkan harta kekayaannya. Kali pertama dia melapor pada 31 Mei 2001, saat menjadi Kapoltabes Medan, dengan nilai harta Rp 1.187.000.000 dan USD 4.000. Terakhir pada 2 Mei 2014 kala menjadi Wakapolri dengan total harta senilai Rp 8.290.211.160 dan USD 4.000. (byu/c5/c9/ari/jpnn/rbb)

Foto: RADAR JEMBER  H Samin dan Hj Siam tetangga Badrodin Haiti di Jember.
Foto: RADAR JEMBER
H Samin dan Hj Siam tetangga Badrodin Haiti di Jember.

HARI SETIAWAN, Jember

AZAN Magrib kurang 10 menit lagi ketika Jawa Pos (grup Sumut Pos) tiba di sebuah rumah sederhana di pertigaan yang menghubungkan Desa Gambirono, Bangsalsari, dengan Desa Paleran, Umbulsari, Jember, kemarin (18/2). Rumah model kuno dan bercat kuning itu tampak tertutup rapat. Hanya ada seorang perempuan yang tengah mengepel teras musala di samping rumah itu.

Rumah tersebut memiliki halaman yang tidak terlalu luas. Tanpa pagar, di depan rumah itu terpasang papan nama Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Umbulsari. Ya, di rumah itulah Badrodin lahir dan menjalani masa-masa kecil hingga memasuki usia remaja.

Perempuan yang tengah mengepel teras musala tersebut bernama Solihatun. Dia adalah keponakan ibunda Badrodin. “Sepeninggal Haji Ahmad Haiti (ayah Badrodin), yang tinggal di rumah ini sekarang Pak Haji Lukman (Lukman Haiti, kakak nomor dua Badrodin), istri, menantu, dan Bu Sunar (kerabat keluarga Badrodin),” kata Solihatun.

Petang itu, rumah keluarga Badrodin memang kosong. Sebab, Lukman dan istrinya tengah menunggui menantunya yang diopname di sebuah rumah sakit di Jember. Tetapi, Solihatun sempat menemui dan mempersilakan wartawan koran ini untuk masuk ke ruang tamu.

Rumah orangtua Badrodin tergolong cukup sederhana. Bentuk pintu dan jendelanya khas arsitektur lama. Lantainya terbuat dari teraso kuning. Meja dan kursi ruang tamunya juga model lama. Di atas meja itu terdapat tumpukan buku serta majalah. Beberapa di antaranya majalah Suara Muhammadiyah.

Ayah Badrodin, Ahmad Haiti, memang tokoh Muhammadiyah yang disegani di Kecamatan Umbulsari dan sekitarnya. Begitu pula kakak Badrodin, Lukman Haiti, yang kini menjabat ketua PCM Umbulsari.

Meski berasal dari keluarga priayi, Badrodin kecil tetap bergaul dengan teman serta tetangga tanpa melihat status sosial. Samin, tetangga yang tinggal sekitar 50 meter dari rumah Badrodin, punya kenangan khusus dengan anak keempat di antara delapan bersaudara itu.

“Waktu kecil, Din (panggilan Badrodin di keluarga, Red) suka wayang. Kalau nonton wayang, sering sama saya. Dia senang duduk di dekat dalangnya,” ujar Samin.

Badrodin menghabiskan masa kecil dan remaja di Jember. Dia mengenyam pendidikan kelas 1-5 SD di Paleran. Saat kelas 6, dia melanjutkan sekolah di Wlingi, Blitar, tempat tinggal kakaknya yang pertama. Lulus SD, dia meneruskan SMP di Pondok Pesantren Baitul Arqom, Kecamatan Balung, Jember, yang berjarak sekitar 8 km dari rumahnya.

Kelas 1 SMA, Badrodin bersekolah di SMA Muhammadiyah Rambipuji yang berlokasi sekitar 15 km dari rumah orangtuanya. Untuk menuju ke sekolah, dia rela mengayuh sepeda sejauh 30 km pergi pulang.

Namun, memasuki kelas 2 dan 3, Badrodin dipindah orangtuanya ke SMA FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan) Universitas Jember (Unej) di Kecamatan Tanggul yang saat ini berubah menjadi SMAN 2 Tanggul, Jember.

Menurut Lukman Haiti, kakak Badrodin, adiknya itu tergolong anak rajin dan pintar. “Kerjaannya hanya belajar terus kalau di rumah,” ungkapnya ketika ditemui di rumah sakit tempat menantunya diopname.

Teman-teman Badrodin di SMP juga mengakui bahwa Badrodin termasuk anak yang menonjol di kelas. “Dia termasuk kelompok anak-anak pandai, sedangkan saya termasuk yang kelompok bawah,” kata Mastur, kawan kecil calon Kapolri itu.

Meski saat SMA keduanya berbeda sekolah — Badrodin di SMA FIP Tanggul, sedangkan Mastur di SMA FIP Ambulu — keduanya tetap akrab.

“Lulus SMA, kami mendaftar Akpol bareng. Kami berangkat ke Surabaya juga bersama untuk tes. Bahkan, lantaran tidak punya saudara di Surabaya, kami tidur di musala,” ujar Mastur yang kini menjadi Kapolsek Pakusari, Jember.

Tekad Badrodin untuk menjadi polisi terlihat sejak SMA. Saking terobsesinya menjadi polisi, Lukman sampai membelikan adiknya itu sepatu lars seperti yang biasa dipakai tentara. “Sepatu itu saya beli di pasar loak seharga Rp1.500,” ungkap Lukman.

Walaupun berbeda jauh pangkat dan jabatan, Mastur menegaskan, Badrodin tidak pernah melupakan dirinya. Saat Badrodin menjabat Kapolda Sumut, Mastur sempat ditawari untuk pindah ke Medan. “Waktu itu, saya menjadi Kapolsek Ledokombo (Jember). Saat ditawari itu, saya jawab, wah kok adoh tenan (kok jauh sekali, Red),” ujarnya.

Ketika Badrodin menjadi Kapolda Jatim, Mastur juga pernah ditelepon teman dekatnya tersebut. Saat itu, Mastur bertugas di Polsek Sukowono, Jember. “Dia sempat tanya, Sukowono itu sepi atau ramai? Ya saya jawab biasa saja, Jenderal,” kata Mastur yang saat itu mengaku kikuk untuk memanggil atasannya dengan panggilan Din seperti waktu SMP dulu.

Rasa bangga atas pencalonan Badrodin Haiti sebagai Kapolri juga menyelimuti para tetangga keluarga Badrodin di Paleran. Pasalnya, jenderal bintang tiga yang berasal dari desa itu kini akan menjadi orang nomor satu di korps baju cokelat tersebut.

Menurut Siam, salah seorang tetangga, hingga saat ini Badrodin tetap menjadi orang yang rendah hati dan tidak lupa akan kulitnya. “Kalau pulang kampung dan ketemu tetangga, dia tidak pernah menolak diajak foto bareng. Orang sekitar sini hampir semua pernah foto bareng dengan Din (Badrodin),” katanya.

Badrodin juga meminta para tetangga tetap memanggilnya dengan nama panggilan saat kecil tersebut. “Dia lebih senang dipanggil Din saja daripada diberi embel-embel jenderal,” sambung Siam.

Tapi, sejak menjadi orang penting di Polri, Badrodin jarang pulang kampung. “Waktu bapak dan ibunya masih ada, setiap Lebaran dia pasti pulang kampung. Tapi sekarang agak jarang. Kalau toh pulang hanya sebentar. Tiba magrib, subuh sudah balik lagi ke Jakarta,” ungkap Siam.

Sementara itu, pihak keluarga di Jember baru tahu Badrodin ditunjuk Presiden Jokowi sebagai calon Kapolri saat ditelepon seorang kerabat di Probolinggo. “Saudara dari Probolinggo menyuruh saya nonton breaking news di TV. Ada berita Badrodin ditunjuk menjadi calon Kapolri oleh presiden,” cerita Lukman.

Mendengar kabar itu, Lukman mengucap rasa syukur adiknya mendapat kepercayaan dari presiden. Tapi, tantangan yang dihadapi sang adik memang sangat berat. Terutama mengatasi gesekan antara Polri dan KPK serta potensi konflik internal di Polri setelah Komjen Pol Budi Gunawan batal dilantik sebagai Kapolri. “Kelompok BG (Budi Gunawan) di dalam Polri pasti tidak diam,” tuturnya.

Badrodin menamatkan pendidikan di Akpol pada 1982 sebagai lulusan terbaik. Dia pun mendapat penghargaan Adhi Makayasa dari Presiden Soeharto. Pada awal karirnya, Badrodin lebih banyak bertugas di jajaran Polda Metro Jaya meski sempat digeser ke Timor Timur (sekarang Timor Leste) pada 1985. Dia kemudian menjadi Kapolres Probolinggo dan Kapoltabes Medan.

Karirnya mulai menanjak saat berdinas sebagai Direskrim Polda Jatim pada 2003. Dia lalu menjabat Kapolwiltabes Semarang sebelum mendapat promosi perwira tinggi sebagai Kapolda Banten. Tercatat, Badrodin pernah menduduki jabatan empat Kapolda. Dua di antaranya merupakan polda tipe A, yakni Sumut (2009-2010) dan Jatim (2010-2011). Dua lainnya polda tipe B, yakni Banten (2004) dan Sulteng (2006).

Apabila ditotal, Badrodin berpengalaman menjadi kepala satuan wilayah sebanyak sembilan kali. Mulai Kapolsek (2), Kapolres/Kapoltabes (2), Kapolwiltabes (1), dan Kapolda (4). Setelah menjadi Kapolda, Badrodin ditarik menjadi staf ahli Kapolri, dilanjutkan promosi eselon I-b menjadi asisten operasi Kapolri. Dia lalu promosi lagi ke eselon I-a menjadi Kabaharkam dan sempat masuk bursa calon Kapolri pengganti Timur Pradopo. Di era Sutarman, Badrodin dipromosikan menjadi Wakapolri menggantikan Komjen Oegroseno yang pensiun.

Badrodin juga sempat diisukan memiliki rekening gendut. Tepatnya saat menjabat kepala divisi hukum Polri pada 2010. Harta kekayaannya pada 2008 dilaporkan senilai Rp2,09 miliar plus USD 4.000. Namun, Badrodin sudah mengklarifikasi hal tersebut kepada PPATK.

Badrodin juga terbilang rajin melaporkan harta kekayaannya. Tercatat, ayah dua anak itu enam kali melaporkan harta kekayaannya. Kali pertama dia melapor pada 31 Mei 2001, saat menjadi Kapoltabes Medan, dengan nilai harta Rp 1.187.000.000 dan USD 4.000. Terakhir pada 2 Mei 2014 kala menjadi Wakapolri dengan total harta senilai Rp 8.290.211.160 dan USD 4.000. (byu/c5/c9/ari/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/