PROF Ir Joni Hermana MSc ES PhD tidak lama lagi akan dilantik menjadi rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Dia akan menjadi orang nomor satu di civitas academica tersebut untuk periode 2015–2019.
———–
Laporan Dinda Lisna Amilia, Surabaya
———–
Ditemui di Laboratorium Pengendalian Pencemaran Udara dan Perubahan Iklim Rabu (18/2), Joni terlihat sedang rileks. Dia berbicara akrab dengan dua stafnya sembari mengerjakan sesuatu di laptop.
Beberapa kali ketiganya tertawa karena celetukan-celetukan yang mengalir dalam obrolan tersebut. ’’Ya beginilah saya, tetap seperti ini,’’ kata pria berusia 54 tahun itu lantas tersenyum.
Sosok Joni memang dikenal hangat dan akrab. Dia juga luwes dan bisa bergaul dengan lapisan mana pun di kampusnya. Itulah yang kemudian dipercaya menjadi salah satu kunci kemenangannya dalam pemilihan rektor lalu. Joni mendapat 483 suara dari karyawan ITS. Baru kemudian disusul Prof Eko Budi Djatmiko dengan perolehan 75 suara.
Sifatnya yang merangkul semua kalangan merupakan bawaan dari dulu. Sejak kecil, anak kedelapan di antara sebelas bersaudara itu memang dididik untuk berempati kepada orang lain.
Ayahnya, Soedarto Boedisunyoto, adalah mantan letnan TNI-AL yang beralih profesi menjadi PNS setelah kemerdekaan RI. Ibunya, Siti Aminah, adalah ibu rumah tangga yang fasih berbahasa Jawa halus karena pernah mengenyam pendidikan di Jogjakarta.
Salah satu kebiasaan keluarga Joni adalah makan di luar rumah saat hari libur. Namun, sang ibu sering memberikan pengertian kepada Joni dan saudaranya bahwa lebih baik uang mereka disumbangkan kepada orang tidak mampu daripada digunakan untuk makan di luar.
’’Zaman dulu itu susah. Jangankan cari makanan, bisa berpakaian dengan layak saja sudah bagus,’’ ujar suami Dewi Prasasti tersebut.
Hidup susah itu pula yang membuat hati Joni begitu lembut. Ketika menceritakan masa lalu, terutama tentang sang ibu, matanya basah. Banyak pelajaran dan kenangan sosok ibu yang membekas. Juga, penderitaan dan kesusahan orang lain.
Saat kelas satu SMP, Joni yang langganan juara kelas itu pernah mengarang sebuah cerpen yang dimuat majalah anak-anak Kuncung. Cerpen itu bercerita tentang pemulung yang saking lelahnya mencari barang bekas tertidur di pinggir jalan. Berselimut dinginnya malam Kota Bandung, si pemulung tersebut bermimpi didatangi malaikat.
’’Saat dunia terasa keras dan dingin, masih ada malaikat yang menghibur,’’ kenang Joni dengan mata yang tiba-tiba sudah basah.
Ending cerpen itu sederhana. Pemulung tersebut terbangun dari tidurnya dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Joni masih ingat, honor dari cerpen itu Rp 1.500.
SD hingga SMA diselesaikan di Bandung, saat kuliah, Joni pun memilih melanjutkan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Tahun pertama, seluruh mahasiswa belum menetapkan jurusan.
Namun, Joni sudah berangan-angan masuk teknik sipil. Apalagi idolanya, Sang Proklamator RI Bung Karno, adalah lulusan teknik sipil. Dengan nilainya yang bagus, hampir pasti Joni bisa mewujudkan keinginan itu.
Tetapi, takdir berbicara lain. Menjelang penentuan jurusan, Joni berjalan lewat jurusan teknik lingkungan yang sedang mengadakan open house. Dia pun tertarik hingga berkesimpulan bahwa teknik lingkungan akan menjadi ilmu masa depan.
Joni spontan memutuskan untuk memilih jurusan itu. ’’Banyak saudara saya yang ngeledek, nanti jadi sarjana got,’’ ucapnya lantas terkekeh.
Lulus ITB pada 1986, Joni melamar sebagai dosen di dua tempat, yaitu ITS dan Universitas Indonesia (UI). Dia diterima di keduanya. Namun, dia memutuskan untuk memilih Surabaya. Jakarta dianggap memiliki kehidupan yang terlalu keras. Joni merasa Surabaya lebih pas untuk dirinya. Yang paling disukai adalah gaya bicara orang Surabaya yang apa adanya.
’’Di Surabaya, everything is just so simple. Tidak berbelit, langsung ke maksud dan tujuan,’’ tegas penghobi main piano itu.
Kali pertama sampai di Surabaya, Joni naik bus dari Terminal Bratang dan turun di Jalan Arif Rahman Hakim. Dia hendak berjalan kaki menuju ITS. Di bawah panasnya matahari, dia ditawari diboncengkan sepeda motor oleh seseorang yang tidak dikenal.
’’Dia hanya mengaku karyawan ITS, tapi tidak menyebut identitasnya,’’ ucap ayah Shaffira Diraprana Gayatri, Indiraprana Katnia, Muhammad Java Budhi, dan Muhammad Salman Budhi tersebut.
Semakin lama di ITS, Joni paham bahwa budaya saling menolong seperti itu sejak lama ada di ITS. Dia merasa semakin nyaman. Tidak butuh waktu lama untuk memutuskan tinggal di Surabaya, walaupun harus berjauh-jauhan dengan pacar yang sekarang menjadi sang istri.
Sejak diterima di ITS, Joni menjalin hubungan asmara dengan Dewi Prasasti yang masih kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
Hingga pertengahan 1989, Joni melanjutkan pendidikan S-2 di Ghent University, Belgia. Maunya, saat itu berangkat sambil membawa istri. Joni pun memberanikan diri untuk meminang Dewi Prasasti. Namun, calon mertua tidak setuju lantaran Dewi masih mengerjakan skripsi.
Solusinya, Joni menikah ketika pulang ke Indonesia saat liburan akhir tahun. Ketika itu, Dewi sudah selesai kuliah. Rencana tersebut benar-benar terlaksana. Joni masih ingat, dia kembali ke Indonesia pada Rabu. Sesampai di Indonesia pada Kamis, dia ke penghulu untuk pembekalan akad nikah. Jumat siraman. Sabtu, 31 Desember 1989, Joni resmi menikah. Lalu, Rabu berikutnya, dia memboyong sang istri ke Belgia.
Awalnya, dia dan istri berencana menunda untuk mendapat momongan. Namun, mereka berubah pikiran saat mengetahui perempuan yang hamil dan melahirkan tidak dikenai biaya di negara itu.
Malahan, pemerintah Belgia akan memberikan tunjangan. Anak pertama Joni pun dilahirkan di Belgia. Selama di Belgia, dia menemukan salah satu idolanya, yaitu Professor Verstraete, yang menjadi pembimbingnya.
Bagi Joni, Verstraete adalah ilmuwan sejati yang mengabdikan kehidupannya secara penuh untuk penelitian serta pengembangan ilmu. Sampai saat ini, beliaulah yang menjadi idola keilmuan Joni. ’’Beliau itu helpful dan friendly. Saya pernah dibebaskan tidak ikut ujian karena menunggu istri melahirkan,’’ papar pria yang menjadi rektor menggantikan Prof Triyogi Yuwono tersebut.
Setelah S-2 selesai, Joni pulang. Dia baru melanjutkan S-3 di Newcastle University, Upon Tyne, Inggris, 1994. Masa-masa studi doktor adalah masa perjuangan yang sesungguhnya untuk Joni. Sebab, dia nekat memboyong istri dan dua anaknya hidup di sana. Padahal, insentif dari beasiswa yang didapat tidak cukup.
Konsekuensinya, dia dan sang istri bergantian bekerja. Mulai menjadi penerjemah, mengajar bahasa Indonesia, menjadi pelayan restoran dan tukang cuci piring, hingga menjadi pemetik stroberi. Sisi manisnya, Joni dan keluarga bisa traveling keliling Eropa. Berbekal mobil sewaan, Joni dan keluarga pergi ke Belanda, Luksemburg, Prancis, Swiss, Italia, Austria, dan Jerman. ’’Setidaknya pernah ke 29 negara di lima benua. Sebagian besar kelilingnya melalui beasiswa dan sponsor. Itu yang penting,’’ ungkapnya lalu tertawa.
Lulus S-3 pada 1997, Joni dan keluarga kembali ke Surabaya. Dia mulai mengajar dan tentu mengembangkan jurusan teknik lingkungan. Joni diberi kesempatan membuka S-2. Pada waktu yang sama, dia juga melirik program pengembangan S-1 teknik lingkungan. Bila lolos, S-1 Teknik Lingkungan ITS bisa mendapat dana pengembangan jurusan.
Pada waktu yang sama, ada kesempatan untuk membuka program S-1 extension. Joni mengerjakan semuanya bersamaan. ’’Ketiganya sukses dikerjakan. Secara otomatis, saya juga menjadi ketua jurusan S-2 teknik lingkungan,’’ katanya.
Karirnya terus melejit. Joni kemudian menjadi wakil dekan I pada 2003, lalu menjadi dekan fakultas teknik sipil dan perencanaan pada 2007. Sebelum itu, Joni ditunjuk Bambang D.H. yang masih menjabat wali kota untuk menjadi anggota Badan Pengawas PDAM dan fasilitator pelatihan bagi para pejabat Kementerian PU serta pemerintahan di daerah seluruh Indonesia.
Di tengah kesibukannya, Joni ditinggal sang ibu tercinta pada Juni 2006. Sebelum meninggal, ibunya ingin melihat Joni dikukuhkan sebagai guru besar. Sebelum itu, Joni tidak pernah mengurus pangkatnya. Dia bukan tipe orang yang telaten mengurusi berkas.
Namun, khusus untuk sang ibu, dia mulai mengurus semuanya. Belum sampai Joni dikukuhkan, sang ibu meninggal. Joni menjalani pengukuhan guru besar pada 26 Januari 2008, dua hari sebelum hari ulang tahun mendiang ibunda.
Akhir 2014, Joni maju sebagai salah satu calon dalam pemilihan rektor ITS. Dia didukung koleganya, Susi Wilujeng dan Dhani Soenyoto. ’’Banyak yang bilang mereka seperti tim sukses. Padahal, kami tidak merencanakan sampai ada tim sukses itu,’’ ucapnya.
Hingga terpilih, Joni merasa jabatannya ini hanyalah amanah yang harus diemban dengan baik dan penuh tanggung jawab.
Tanpa menunggu pelantikan yang berlangsung selambatnya 13 April nanti, dia pun mulai berkeliling kampus untuk mengajak semua kalangan bekerja bersama-sama. Salah satu angan-angan terdekat Joni adalah menyatukan semua kalangan di kampusnya. (*/c5/ayi)