Oleh: Ramadhan Batubara
Lalu, bus itu menurun. Dakian berlumpur yang harusnya menghambat laju ban pun tak mampu menahan. Bus itu semakin tak terkendali; mengantarkan sembilan belas penumpangnya ke pemakaman.
Fiuh. Merinding bulu kuduk saya membaca kabar dari Aek Latong tersebut. Bukan untuk pura-pura bersimpati, namun beberapa bulan yang lalu, saya pun nyaris merasakan hal yang sama dengan kesembilan belas korban. Saat itu, ompung saya di Sipirok meninggal. Maka, saya dan ibu saya berangkat ke tanah kelahiran bapak saya tersebut. Nah, ke Sipirok pastinya melewati Aek Latong.
Kami tiba di Aek Latong ketika pagi menjemput. Setelah turunan tajam, bus Sipirok Nauli yang kami tumpangi berhenti. “Turunlah, tunggu di atas, tak sanggup kita mendaki,” kata sang supir.
Saya dan ibu pun langsung turun. Kami dan penumpang lainnya menjinjing alas kaki. Saat itu, dakian di Aek Latong memang sedang becek dan licin. Ibu saya yang berumur enam puluh tujuh tahun tampak kepayahan. Tapi, dia terus berjuang, tanpa ingin dibantu oleh tangan saya yang begitu ingin menggandengnya. Mungkin, bayangan jika mendaki dakian Aek Latong yang curam dan licin di dalam bus telah menambah kekuatannya.
Tak lama kemudian kami tiba di puncak. Ada mimik puas dari kami semua. Kami pun asyik menyaksikan bus yang kami tumpangi itu mendaki. Sementara dua kernetnya sibuk memegang kayu; bersiap mengganjal ban jika tiba-tiba tergelincir. Fiuh, tak terbayang jika saya berada dalam bus itu. Bayangkan saja, bus yang kosong itu saja nyaris tak sanggup mendaki. Apalagi, jalan itu tak begitu lebar, ada dua truk yang tersangkut di dua sisi jalan tersebut.
Tapi, sudahlah, kisah itu memang semakin berarti ketika ada kejadian yang lebih mengerikan. Ya, saya pun bangga menceritakan hal ini, seakan baru selamat dari medan perang saja. Yang jelas, saya berterima kasih pada supir yang tega menyuruh kami (tentunya ibu saya yang tua) untuk mendaki di jalan yang becek dan mendaki.
Memang, soal ajal, itu urusan Yang Maha Kuasa. Namun, seandainya saja supir ALS menyuruh penumpangnya turun sejak awal, mungkin kejadiannya akan lain. Kabarnya, penumpang baru diturunkan ketika bus tak yakin bisa mendaki dan itu setelah pendakian dilakukan. Pertanyaanya, kenapa tak sejak awal, ya, bukankah antara turunan dan dakian itu ada tanah yang datar? Hm, untuk mencari jawab dari pertanyaan itu tampaknya sulit, sang supir belum juga ditemukan setelah berhasil lari sejenak sebelum busnya masuk dalam kubangan.
Terlepas dari kisah menyedihkan tersebut, saya malah tergoda dengan sang supir. Begini, ketika kita menaiki sebuah bus, tentunya nasib kita serahkan pada supir. Ya, dialah sang pemegang kendali. Di tangannya nyawa kita berada (bukan mengecilkan arti Tuhan). Dan, saya rasa setiap supir menyadari hal itu. Maka, adalah wajar jika seorang supir bak raja dalam busnya itu. Siapa saja cenderung mengikuti perintah; dalam artian untuk keselamatan. Nah, pemikiran ini terbantahkan segera dengan supir ALS tersebut, ke mana tanggung jawab atau kode etik profesinya sebagai supir. Ukh, seandainya ada janji supir (seperti janji dokter), tentunya dia telah melanggar atau membuat kesalahan besar.
Penggambaran ini berkaitan dengan kepercayaan. Bagaimana pelanggan atau pengguna jasa bus bisa percaya dengan supir jika berkaca pada kasus di atas. Seandainya dia supir yang baik, tentunya dia tak akan melompat dari bus tersebut; apalagi sampai lari. Seorang supir tentunya paham dengan kekuatan bus yang sudah seperti dirinya sendiri, jadi kenapa harus berani bertaruh? Ayolah, apa yang dilakukan oleh supir ALS itu adalah sebuah perjudian. Dia berani naik, sementara kekuatan bus dan kondisi jalan tidak memungkinkan! Fiuh.
Kepercayaan yang telah diberikan orang yang percaya padanya hancur. Seperti pemimpin yang tetap saja tak melakukan hal terbaik untuk orang yang mempercayainya. Ah, saya teringat para TKI yang bangga menjadi warga Indonesia di luar negeri sana. Ah, saya teringat soal ketidakadilan yang masih diterima para pembayar pajak, sementara mereka yang tak bayar pajak malah bergelimang harta.
Soal ketidakadilan pun semakin mengganggu saya. Yang terbaru adalah usaha MUI untuk membuat sebuah keadilan di negeri ini. Atas nama subsidi yang disalahgunakan, MUI pun berencana membuat fatwa haram untuk orang kaya yang menikmati subsidi. Ah, usaha ini menjadi bumerang. Polemik merebak. Mereka yang percaya pada MUI pun terganggu. Padahal, seandainya MUI mau lebih bijak, kenapa harus turut campur dengan urusan pemerintah tersebut. Ayolah, pemerintah di negeri demokrasi kan terbagi atas tiga elemen saja. Yakni, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. MUI dimana?
Jika begitu, jangan terlalu terlibatlah. Imbauan itu seharusnya ditujukan untuk pemerintah yang mengatur negara, jangan pada rakyat yang tak tahu kepelikan itu secara detai. Tiba-tiba saya terpikir, hm, soal subsidi, sebagai orang yang tak kaya, saya lebih suka menyumbang untuk orang kaya asal bahan bakar minyak dan bahan lainnya tak naik daripada orang kaya tak disubsidi tapi harga melonjak. Bukankah begitu?
Sekali lagi sudahlah, semua ini kan masalah sesuatu yang ingin naik tapi tak berhasil dan terpaksa harus mundur. Masalahnya, sang supir terlalu percaya diri, hingga dia tidak memperhatikan efek dari keberaniannya itu. Ujungnya, orang lain pun jadi korban. Entahlah, jika supir saja sudah tak bisa dipercaya, mau percaya pada siapa kita? (*)
1 Juli 2011