Dame Ambarita
Pemimpin Redaksi Sumut Pos
Hari ini, puluhan pengusaha barangkali lagi deg-degan. Betapa tidak, 1 Mei alias May Day (bukan May Day yang menjadi sinyal tanda bahaya standar internasional, Red), adalah hari buruh sedunia yang kerap ditandai dengan aksi demo besar-besaran.
Kaum pengusaha deg-degan, takut kalau-kalau buruh bersikap anarkis dan merugikan perusahaan, atau berhasil memperjuangkan kenaikan upah hak cuti ini itu, hak memperoleh bonus ini itu yang semuanya menjadi mimpi buruk bagi pengusaha.
Masyarakat umum juga deg-degan. Takut fasilitas umum dirusak atau terganggu, takut jalanan jadi macet akibat arak-arakan buruh yang berjejalan naik truk lengkap dengan yel-yelnya, takut bersenggolan dengan iring-iringan sepeda motor yang dikendarai tanpa helm lengkap dengan ikat kepala atau ikat lengan, yang semuanya menyiratkan kesan: kami siap melawan!
Barangkali, kaum buruh awalnya tidak berniat mengedepankan image negatif dalam aksi-aksi mereka. Namun harus diakui, beberapa kali aksi buruh dalam memperjuangkan hak-hak mereka kerap diwarnai aksi yang mengganggu kenyamanan masyarakat umum. Salahsatu contoh nyata adalah kemacetan lalu-lintas yang acap terjadi saat buruh arak-arakan di jalan raya.
Di balik seluruh aksi kaum buruh yang membuat pengusaha dan masyarakat umum deg-degan tersebut, sebenarnya terselip sebuah pesan humanis dan politik: Buruh juga manusia dan memiliki kekuatan.”
Buruh juga adalah manusia yang berhak untuk hidup sejahtera. Meski hanya kelas pekerja, buruh juga ikut memajukan perekonomian sebuah bangsa, sekaligus mampu melumpuhkan ekonomi bangsa jika melakukan pemogokan. Karena itu, jangan sepelekan buruh.
Awalnya, May Day lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Pada perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat, terjadi pengintensifan jam kerja ayng tidak manusiawi, upah yang minim, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik.
Diperlakukan tidak manusiawi seperti itu, kalangan kelas pekerja pun melawan. Muncullah pemogokan pertama kelas pekerja Amerika Serikat pada tahun 1806. Pemogokan ini membawa para pengorganisirnya ke meja pengadilan dan juga mengangkat fakta bahwa kelas pekerja di era tersebut bekerja dari 19 sampai 20 jam seharinya. Sejak saat itu, perjuangan menuntut pengurangan jam kerja menjadi agenda bersama kelas pekerja di Amerika Serikat.
Pada bulan Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai hari buruh sedunia dan mengeluarkan resolusi berisi:: “Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu di mana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis.”
Resolusi ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai negara dan sejak tahun 1890, tanggal 1 Mei, yang diistilahkan dengan “’May Day”’, diperingati oleh kaum buruh di berbagai Negara.
Di Indonesia sendiri, hari Buruh mulai diperingati tahun 1920. Namun pada masa pemerintahan Orde Baru, gerakan Buruh dilarang di Indonesia, karena dihubungkan dengan paham komunis.
Setelah era Orde Baru berakhir, walaupun bukan hari libur, setiap tanggal 1 Mei kembali marak dirayakan oleh buruh di Indonesia dengan demonstrasi di berbagai kota. Dari sekedar menuntut pengurangan jam kerja dan kenaikan upah, tuntutan buruh berkembang seiring kebutuhan zaman. Beragam tuntutan menjadi agenda gerakan buruh. Namun intinya adalah peningkatan kesejahteraan. Karena buruh juga manusia. Dan memiliki kekuatan. Karena itu, jangan pernah anggap enteng kekuatan buruh. (*)