25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Senandung Swarnadwipa

Konon Nusantara dianggap kawasan paling menggiurkan di dunia karena memiliki dua pula yang kaya raya. Pulau yang dimaksud adalah Swarnadwipa dan Jawadwipa. Pulau yang pertama adalah Sumatera dan pulau kedua adalah Jawa. Dua pulau ini dianggap menggoda hingga menjadi tujuan bangsa asing.

Soal Sumatera, dalam berbagai prasasti, disebut dengan nama Sansekerta: Swarnadwipa (pulau emas) atau Swarnabhumi (tanah emas). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi; Sumatera juga dikenal sebagai Pulau Andalas. Penyebutan kata ‘emas’ untuk Sumatera bukan tanpa sebab. Berbagai sumber mengatakan Sumatera memang mengandung banyak emas dan barang tambang lainnya.

Sedangkan Jawa, dahulu dikenal dengan nama Jawadwipa. Jawadwipa berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pulau padi. Menurut banyak pakar, pulau tersubur di dunia adalah Pulau Jawa. Hal ini masuk akal, karena Pulau Jawa mempunyai konsentrasi gunung berapi yang sangat tinggi. Banyak gunung berapi aktif di Pulau Jawa. Gunung inilah yang menyebabkan tanah Pulau Jawa sangat subur dengan kandungan nutrisi yang di perlukan oleh tanaman. Nah, menyebutkan ‘padi’ bagi Jawa jelas tidak sembarangan. Pertanian padi banyak terdapat di Pulau Jawa karena memiliki kesuburan yang luar biasa. Pulau Jawa dikatakan sebagai lumbung beras Indonesia.

Sayangnya, ketika Nusantara menjelma menjadi Indonesia, sang pulau emas seakan tertinggal. Pulau padi terus bersolek, meninggalkan kemilau emas yang sebelumnya lebih diperhitungkan. Senandung Jawadwipa pun begitu merdu terdengar.

Perbedaan dua pulau itu begitu mencolok dan itu adalah sesuatu yang nyata. Dari segala sisi, jika ingin dihitung-hitung, Sumatera memang masih tertinggal dengan Jawa bukan?

Nah, perbedaan kedua pulau yang terkenal sejak zaman dahulu ini tidak mungkin dibiarkan saja bukan? Mungkin itulah sebab pemerintah seakan ingin menggabungkan dua pulau ini. Maka, program pun dirancang. Selat Sunda yang memisahkan dua pulau ini — yang selama ini sering dijadikan kambing hitam karena komiditi tak bisa menyeberang — akan ditutupi dengan sebuah jembatan. Tidak itu saja, perbedaan sarana jalan raya antara Jawa dan Sumatera pun akan diseragamkan. Maka, rencana pembangunan jalan tol dari Aceh hingga Lampung digagas. Kereta api ‘yang tidak begitu dikenal’ di Sumatera pun akan dipopulerkan lagi dengan membangun rel sepanjang 2.168 kilometer dari Aceh hingga ke Lampung dengan biaya sekitar Rp70 triliun.

Jika mau dihitung, sebelumnya juga sudah ada rencana sejenis untuk membangkitkan lagi Swarnadwipa. Pertama, proyek Koridor Trans Sumatera yang ingin menyambungkan jalan dari Bakeheuni (Lampung)-Aceh dan berbiaya Rp150 triliun. Ada juga mega proyek trans Sumatera High Garde Highway (HGH) yang mengkoneksi jalan tol Sumut-Sumbar- Riau. Dan biayanya, Rp60 triliun. Setelah itu, ada juga HGH Trans Sumatera  yang terdiri atas Koridor Bakauheni–Banda Aceh sepanjang Lintas Timur Sumatera (2.014 km) yang disertai jalan penghubung (feeder) sepanjang 720 km; menghubungkan 8 pusat kegiatan nasional, 6 pelabuhan udara, dan 7 pelabuhan utama. Proyek ini menghabiskan Rp99,88 triliun. Menariknya, hingga kini jalan di Aek Latong  atau di pesisir selatan Sumatera Barat pun belum beres; bandingkan dengan jalan mulus ala Pantai Utara Jawa.

Tapi begitulah, namanya rencana patut didukung apalagi berkaitan dengan kebutuhan orang banyak. Soal senandung Swarnadwipa akan sedih atau bahagia, itu belum bisa ditentukan. Pun, senandung Swarnadwipa akan serupa dengan Jawadwipa, semuanya masih belum bisa dipastikan. Ya, segala megaproyek itu membutuhkan waktu tak sedikit. Untuk kereta api saja baru bisa beroperasi pada 2030 mendatang. Jadi, mari berharap sebelum emas di pulau ini habis terkuras. (*)

Konon Nusantara dianggap kawasan paling menggiurkan di dunia karena memiliki dua pula yang kaya raya. Pulau yang dimaksud adalah Swarnadwipa dan Jawadwipa. Pulau yang pertama adalah Sumatera dan pulau kedua adalah Jawa. Dua pulau ini dianggap menggoda hingga menjadi tujuan bangsa asing.

Soal Sumatera, dalam berbagai prasasti, disebut dengan nama Sansekerta: Swarnadwipa (pulau emas) atau Swarnabhumi (tanah emas). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi; Sumatera juga dikenal sebagai Pulau Andalas. Penyebutan kata ‘emas’ untuk Sumatera bukan tanpa sebab. Berbagai sumber mengatakan Sumatera memang mengandung banyak emas dan barang tambang lainnya.

Sedangkan Jawa, dahulu dikenal dengan nama Jawadwipa. Jawadwipa berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pulau padi. Menurut banyak pakar, pulau tersubur di dunia adalah Pulau Jawa. Hal ini masuk akal, karena Pulau Jawa mempunyai konsentrasi gunung berapi yang sangat tinggi. Banyak gunung berapi aktif di Pulau Jawa. Gunung inilah yang menyebabkan tanah Pulau Jawa sangat subur dengan kandungan nutrisi yang di perlukan oleh tanaman. Nah, menyebutkan ‘padi’ bagi Jawa jelas tidak sembarangan. Pertanian padi banyak terdapat di Pulau Jawa karena memiliki kesuburan yang luar biasa. Pulau Jawa dikatakan sebagai lumbung beras Indonesia.

Sayangnya, ketika Nusantara menjelma menjadi Indonesia, sang pulau emas seakan tertinggal. Pulau padi terus bersolek, meninggalkan kemilau emas yang sebelumnya lebih diperhitungkan. Senandung Jawadwipa pun begitu merdu terdengar.

Perbedaan dua pulau itu begitu mencolok dan itu adalah sesuatu yang nyata. Dari segala sisi, jika ingin dihitung-hitung, Sumatera memang masih tertinggal dengan Jawa bukan?

Nah, perbedaan kedua pulau yang terkenal sejak zaman dahulu ini tidak mungkin dibiarkan saja bukan? Mungkin itulah sebab pemerintah seakan ingin menggabungkan dua pulau ini. Maka, program pun dirancang. Selat Sunda yang memisahkan dua pulau ini — yang selama ini sering dijadikan kambing hitam karena komiditi tak bisa menyeberang — akan ditutupi dengan sebuah jembatan. Tidak itu saja, perbedaan sarana jalan raya antara Jawa dan Sumatera pun akan diseragamkan. Maka, rencana pembangunan jalan tol dari Aceh hingga Lampung digagas. Kereta api ‘yang tidak begitu dikenal’ di Sumatera pun akan dipopulerkan lagi dengan membangun rel sepanjang 2.168 kilometer dari Aceh hingga ke Lampung dengan biaya sekitar Rp70 triliun.

Jika mau dihitung, sebelumnya juga sudah ada rencana sejenis untuk membangkitkan lagi Swarnadwipa. Pertama, proyek Koridor Trans Sumatera yang ingin menyambungkan jalan dari Bakeheuni (Lampung)-Aceh dan berbiaya Rp150 triliun. Ada juga mega proyek trans Sumatera High Garde Highway (HGH) yang mengkoneksi jalan tol Sumut-Sumbar- Riau. Dan biayanya, Rp60 triliun. Setelah itu, ada juga HGH Trans Sumatera  yang terdiri atas Koridor Bakauheni–Banda Aceh sepanjang Lintas Timur Sumatera (2.014 km) yang disertai jalan penghubung (feeder) sepanjang 720 km; menghubungkan 8 pusat kegiatan nasional, 6 pelabuhan udara, dan 7 pelabuhan utama. Proyek ini menghabiskan Rp99,88 triliun. Menariknya, hingga kini jalan di Aek Latong  atau di pesisir selatan Sumatera Barat pun belum beres; bandingkan dengan jalan mulus ala Pantai Utara Jawa.

Tapi begitulah, namanya rencana patut didukung apalagi berkaitan dengan kebutuhan orang banyak. Soal senandung Swarnadwipa akan sedih atau bahagia, itu belum bisa ditentukan. Pun, senandung Swarnadwipa akan serupa dengan Jawadwipa, semuanya masih belum bisa dipastikan. Ya, segala megaproyek itu membutuhkan waktu tak sedikit. Untuk kereta api saja baru bisa beroperasi pada 2030 mendatang. Jadi, mari berharap sebelum emas di pulau ini habis terkuras. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/